Dwi adalah seorang pekerja perempuan yang bekerja sebagai staf accounting di PT. Mentari Nawa Satria dengan status kontrak. Selama bekerja di perusahaan tersebut, ia tidak dibayar selama 3 (tiga) bulan, akta kelahirannya ditahan oleh perusahaan, dan ia tidak diregistrasikan dalam BPJS Ketenagakerajaan.

Karena haknya selama bekerja tidak diberikan oleh perusahaan, maka Dwi mencoba melapor ke Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur. Selain itu, ia juga mencoba melakukan perundingan bilateral dan tripartit untuk mendapatkan hak-haknya selama bekerja.

Apa yang dilakukan Dwi tidak menjadi pelajaran bagi perusahaan tempatnya bekerja, minimal mengevaluasi sistemnya. Justru perusahannya melaporkan Dwi, melalui orang bernamaEko Purnomo, SE yang mengaku sebagai perwakilan dari PT. Mentari Nawa Satria di Kepolisian Sektor Genteng. Laporan tersebut terbit sebagaimana dalam laporan nomor: LP/ 83/ VI/ 2023/ SPKT/ POLSEK GENTENG/ POLRESTABES SURABAYA/ POLDA JATIM tertanggal 10 Juni 2023. Dalam laporan tersebut dwi dituduh  melakukan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam pasal 263 KUHP.

Selama proses hukum berlangsung, objek surat yang dianggap palsu oleh pihak pelapor adalah surat referensi kerja dari Koperasi Karyawan Sejahtera RS. William Booth Surabaya, yang merupakan tempat Dwi bekerja sebelum bekerja di PT. Mentari Nawa Satria.

Pada 5 Maret 2024, Dwi ditahan oleh Kejaksaan Negeri Surabaya atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat 2 KUHP. Padahal, dalam setiap proses pemanggilan baik yang dilakukan oleh pihak kepolisian maupun kejaksaan, ia selalu menghadiri undangan panggilan tersebut dan kooperatif.

Kasus yang menimpa Dwi adalah satu dari sekian kasus bagaimana pelanggaran hak dilakukan. Perusahaan melakukan tindakan semena-mena dengan melakukan pembungkaman pada suara Dwi yang menagih hak-haknya sesuai dengan UU Ketenagakerjaan.

Hak Dwi seharusnya dilindungi, upaya hukum yang dilakukan oleh perusahaan adalah bukti bagaimana pelanggaran hak dilakukan. Dan, seharusnya Kejaksaan dan Kepolisian tidak memproses laporan tersebut, karena sebelumnya Dwi telah melapor ke Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur. Sehingga pelaporan ke ranah hukum oleh perusahaan adalah upaya membungkam suara Dwi, atau dikenal sebagai Strategic Lawsuit Agaisnt Public Participation (SLAPP).

Kasus ini membuktikan bahwa aparat dan penegak hukum tidak pernah mempertimbangkan persoalan perburuhan. Bahkan pada kasus lain tidak pernah mempertimbangkan hal lain yang menjadi akar pelaporan. Sebagai contoh kasus hukum warga penolak pembangunan perumahan Waduk Sepat, tiga petani Pakel yang memperjuangkan hak atas tanah, lalu tiga warga Bojonegoro dan Wongsorejo, Banyuwangi yang menyuarakan kerusakan lingkungan.

Mereka menjadi korban tidak jelinya aparat dan penegak hukum. Memang seharusnya minimal mau mendengarkan dan menyelidiki lebih lanjut sebelum bertindak. Memahami konteks persoalan adalah kunci dari penegakkan keadilan. Oleh karena itu kami dari WALHI Jawa Timur, bersolidaritas dan menyerukan:
1. Bebaskan Dwi Kurniawati dan hentikan kasus hukum tersebut, karena bagian dari pemberangusan hak-hak pekerja, sehingga inkonstitusional.
2. Segera penuhi dan pulihkan hak-hak Dwi Kurniawati.
3. Hentikan segala kriminalisasi pada rakyat yang menyuarakan dan memperjuangkan hak-haknya.

Surabaya 20 Maret 2024

Wahyu Eka Styawan
Direktur ED WALHI Jatim

 

 


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *