Co-Firing: Solusi Palsu dan Ilusi Hijau

Beberapa tahun terakhir, istilah transisi energi menjadi semacam mantra baru dalam wacana pembangunan Indonesia. Pemerintah menargetkan penurunan emisi, mengumumkan rencana menuju net-zero, dan menggembar-gemborkan komitmen terhadap energi terbarukan. Di berbagai forum, jargon seperti “hijau”, “ramah lingkungan”, dan “berkelanjutan” diulang dengan penuh keyakinan. Namun di balik kemasan itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah yang disebut “transisi” ini benar-benar membawa kita keluar dari ketergantungan terhadap energi fosil, atau justru memperpanjang umur sistem yang sama dengan wajah baru?

Salah satu proyek yang kerap dijadikan contoh kemajuan transisi energi di Indonesia adalah praktik co-firing biomassa di PLTU Paiton, Probolinggo. Program ini disebut-sebut sebagai solusi yang mampu menekan emisi tanpa menutup pembangkit batu bara. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, skema ini lebih menyerupai kosmetika hijau: memperindah citra energi kotor tanpa menyentuh akar masalahnya. Di balik klaim ramah lingkungan itu, tersimpan persoalan besar yang menyangkut keadilan ekologis, hak masyarakat lokal, dan bahkan masa depan hutan.

Dalam praktiknya, co-firing di PLTU Paiton justru menunjukkan bahwa yang disebut sebagai transisi energi bisa menjadi bentuk baru dari penundaan—penundaan untuk beranjak dari batu bara; penundaan untuk beralih ke energi bersih; dan penundaan untuk menegakkan keadilan sosial bagi masyarakat yang sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang industri energi kotor.

Panjang Umur PLTU, Panjang Umur Penderitaan

Praktik transisi energi di Jawa Timur menunjukkan arah yang masih semu. Berdasarkan data Rencana Umum Energi Daerah (RUED), target bauran energi terbarukan Jawa Timur sebesar 12,15 persen pada 2025 dan 23,76 persen pada 2050 masih jauh dari tercapai—realisasi hingga 2022 baru mencapai 9,36 persen. Kondisi ini memperlihatkan ketergantungan yang masih besar terhadap energi fosil. Di sisi lain, akses terhadap energi bersih belum merata; masyarakat di kawasan selatan dan kepulauan seperti Madura masih menghadapi ketimpangan energi.

Di tengah klaim pengurangan emisi dan pergeseran menuju energi bersih, berbagai proyek seperti co-firing biomassa di PLTU Paiton dan penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) justru memperpanjang ketergantungan terhadap batu bara. Alih-alih mengubah sistem energi menuju keberlanjutan, praktik-praktik ini memunculkan ilusi solusi hijau yang menyembunyikan masalah baru di baliknya.

Secara teknis, co-firing berarti mencampurkan bahan biomassa—seperti serbuk kayu, pelet, sekam padi, atau limbah pertanian—ke dalam bahan bakar batu bara di PLTU. Tujuannya diklaim mulia: mengurangi porsi batubara, menurunkan emisi, dan menciptakan lapangan kerja baru. PLN bahkan menargetkan implementasi skema ini di 52 PLTU di seluruh Indonesia, dengan bahan baku biomassa yang disediakan melalui Hutan Tanaman Energi (HTE) di berbagai wilayah.

Namun, logika co-firing tidak menyentuh akar masalah. Ia hanya mengganti sebagian kecil bahan bakar tanpa mengubah struktur ekonomi dan politik energi yang tetap bergantung pada batu bara. Dalam praktiknya, porsi biomassa yang digunakan hanya 1-5 persen, yang artinya 95 persen energi masih berasal dari sumber yang sama. Alih-alih mengurangi ketergantungan terhadap batu bara, co-firing justru memberi “nafas panjang” bagi PLTU yang seharusnya sudah mulai dipensiunkan.

PLTU Paiton adalah bukti paling telanjang dari ilusi hijau dan solusi semu tersebut. Beroperasi sejak 1994, produsen listrik yang berdiri di atas lahan seluas 400 hektar itu menyumbang emisi besar sekaligus menimbulkan dampak bagi masyarakat pesisir dan petani di Kecamatan Paiton dan Kotaanyar—mulai dari udara panas, abu batu bara (fly ash), hingga turunnya hasil panen. Di titik itu PLTU Paiton merupakan salah satu pemangkit yang harus dipensiunkan.

Namun, pada 2023, PLTU Paiton mulai menerapkan co-firing 5% dengan kapasitas 2×400 MW dan 1×600 MW. PLN mengklaim pengurangan emisi sebesar 471.500 ton CO₂ per tahun. Klaim menyesatkan ini dibungkus retorika konservasi—penanaman di hutan gundul—dan partisipasi masyarakat: petani dibujuk menanam Kaliandra, Lamtoro, atau Gamal untuk memenuhi kebutuhan HTE.

Pembakaran biomassa memang mengurangi sedikit batu bara, tetapi menghasilkan polutan baru. Partikel PM10 dari biomassa sama berbahayanya dengan PM2.5 dari batu bara—keduanya menjadi penyebab penyakit pernapasan dan memperburuk kualitas udara di sekitar PLTU.

Klaim tersebut hanya menghitung emisi dari pembakaran, bukan dari seluruh siklus hidup bahan bakar. Padahal, setiap tahap dalam rantai pasok biomassa—mulai dari pembukaan lahan, penanaman, penebangan, pengeringan, hingga transportasi—semuanya menghasilkan emisi karbon tambahan. Artinya, proyek ini tidak hanya tidak efektif secara ekologis, tetapi juga mahal secara ekonomi. 

Di titik itu, skema co-firing hanyalah alibi untuk memperpanjang usia PLTU. PLTU Paiton seolah menjadi miniatur kontradiksi transisi energi kita: listriknya menerangi kota-kota besar dan kawasan industri, tetapi desa-desa di sekitarnya berjuang untuk mendapatkan air bersih dan udara sehat. Ia menempatkan rakyat kecil sebagai korban ganda: korban polusi dan korban kebijakan palsu yang mengatasnamakan “transisi”.

Bagi masyarakat Paiton, istilah “transisi energi” terasa jauh dari kehidupan sehari-hari. Di Kecamatan Paiton dan Kotaanyar, debu batu bara dari PLTU menempel di daun tembakau, menurunkan hasil panen dan kualitas tanaman. Para petani kini menghadapi biaya produksi yang tinggi, harga jual yang tak stabil, dan musim yang kian sulit diprediksi akibat perubahan iklim. Banyak dari mereka akhirnya berhutang ke bank lokal hanya untuk menanam lagi di musim berikutnya.

Di wilayah pesisir, nelayan menghadapi masalah serupa. Terumbu karang yang rusak akibat pencemaran dan lalu lintas tongkang batu bara membuat ikan semakin langka. Mereka harus melaut lebih jauh dengan risiko keselamatan lebih besar dan biaya bahan bakar yang tinggi. Sebagian akhirnya berhenti melaut, menjadi buruh di tambak atau pekerja harian di sekitar PLTU.

Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa co-firing tidak hanya gagal mengatasi polusi, tetapi juga memperpanjang kontrak penderitaan sosial-ekonomi di sekitar pembangkit. Selama PLTU tetap beroperasi, selama itu pula masyarakat harus hidup di bawah bayang asap yang menghitamkan langit dan menipiskan harapan.

Hutan Tanaman Energi dan Ancaman Deforestasi

Masalah terbesar dari co-firing bukan hanya di PLTU, tetapi di rantai pasok yang menopangnya. Untuk memenuhi kebutuhan nasional sekitar 9 juta ton biomassa per tahun, dibutuhkan jutaan hektar lahan HTE baru. Di balik jargon “energi hijau”, kebutuhan bahan bakar biomassa justru membuka pintu deforestasi besar-besaran.

TrendAsia memperkirakan bahwa skema co-firing di 52 PLTU akan memerlukan sedikitnya 2,33 juta hektar hutan tanaman energi—setara 35 kali luas daratan DKI Jakarta. Sementara data Forest Watch Indonesia (2023) menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan itu, sekitar 4,65 juta hektar hutan alam berpotensi dikonversi menjadi HTE oleh 43 perusahaan HPH, 147 perusahaan HTI, dan 1.124 konsesi perhutanan sosial.

Hutan tanaman energi bukanlah hutan dalam arti ekologis. Ia adalah kebun energi monokultur yang miskin keanekaragaman hayati, tidak memiliki kemampuan serapan karbon sebaik hutan alam, dan rentan terhadap kekeringan serta kebakaran. Dalam upaya mengurangi emisi di satu sisi, kita justru menciptakan sumber emisi baru di sisi lain.

Di Jawa Timur, kebutuhan biomassa untuk PLTU seperti Paiton terancam mendorong ekspansi lahan tanaman energi hingga menekan kawasan hutan rakyat dan perhutanan sosial. Kelak, energi “hijau” yang dihasilkan PLTU—bukan muskil terjadi—bersumber dari pengorbanan ruang hidup masyarakat di tempat lain. Pada akhirnya, pengurangan emisi di satu wilayah akan dibayar dengan deforestasi di wilayah lain. Co-firing di Paiton mungkin mengurangi sedikit batu bara, tetapi ia menambah luka di hutan, tanah, dan udara.

Di sisi lain, terdapat perusahaan-perusahaan pemasok biomassa yang memegang kendali utama. Setidaknya, tercatat tiga perusahaan pemasok serbuk kayu (sawdust) di Kecamatan Paiton dan Kecamatan Banyuglugur untuk PLTU Paiton, yakni PT Raja Muda Gemilang (Banyuglugur), PT Eksekutif (Banyuglugur), dan PT Sarana Tanjung Tembaga (Paiton).

Perusahaan ini memasok biomassa dari sejumlah daerah di Jawa Timur seperti Bondowoso, Situbondo, Jember, dan Lumajang, yang menjadi sentra penggilingan kayu dan produksi limbah serbuk gergaji. Daerah-daerah ini kini mulai terintegrasi dalam rantai pasok biomassa untuk kebutuhan co-firing, meskipun belum ada kebijakan yang jelas mengenai perlindungan tenaga kerja, mekanisme harga, ataupun dampak ekologis dari pengumpulan bahan baku secara besar-besaran.

Jejak Jepang dan Politik Energi Global

Co-firing tidak lebih dari ilusi hijau: ia menciptakan kesan bahwa Indonesia sedang melakukan transisi energi, padahal yang terjadi hanyalah perpanjangan umur batu bara dengan metode yang dibungkus narasi ramah lingkungan. Klaim pengurangan emisi, penciptaan lapangan kerja hijau, dan partisipasi masyarakat hanyalah retorika yang menutupi kenyataan bahwa sistem energi kita masih dikendalikan oleh oligarki korporasi besar.

Lebih jauh, co-firing juga memperkuat ketimpangan spasial: polusi dan beban ekologis ditanggung oleh masyarakat di wilayah sumber energi, sementara manfaat listriknya dinikmati oleh kawasan industri dan kota-kota besar. Inilah bentuk paling telanjang dari transisi yang tidak adil—ketika “energi bersih” dibangun di atas penderitaan rakyat kecil.

Pada saat yang sama, keterlibatan perusahaan seperti Mitsubishi Heavy Industries (MHI), Sumitomo Heavy Industries (SHI), Toshiba Energy System and Solution, dan lembaga keuangan Jepang dalam pembiayaan proyek co-firing dan Carbon Capture and Storage (CCS) di Paiton seakan memperjelas arah transisi belum sepenuhnya bersih.

Pemerintah Jepang mempromosikan ini sebagai bagian dari strategi Asia Zero Emission Community (AZEC), yang diklaim mendukung dekarbonisasi di Asia Tenggara. Teknologi CCS, yang digadang-gadang bisa “menyimpan” karbon di bawah tanah, masih penuh tanda tanya. Biayanya mahal, resikonya tinggi, dan efektivitasnya belum terbukti. Banyak pihak hawatir bahwa proyek-proyek semacam itu hanya menjadi cara baru untuk mempertahankan bisnis batu bara dengan wajah “modern”.  

Sebagaimana dikritik oleh banyak kalangan, dukungan Jepang terhadap proyek ini hanyalah bentuk baru dari kolonialisme energi—green colonialism. Jepang menutup PLTU di dalam negerinya, tapi membiayai proyek serupa di Indonesia dengan alasan “transisi energi”. Dalam praktiknya, Jepang dan korporasi transnasional hanya memindahkan polusi ke Selatan Dunia, sementara citra “hijau” mereka tetap terjaga.

Mengakhiri Ilusi, Memulai Perubahan

Krisis iklim tak bisa disembunyikan di balik statistik pengurangan emisi atau warna hijau pada laporan korporasi. Co-firing biomassa di Paiton membuktikan bahwa solusi yang tampak hijau bisa menyembunyikan luka ekologis dan sosial yang dalam. Sudah saatnya kita mengakhiri ilusi bahwa mencampur serbuk kayu ke dalam batu bara adalah jalan keluar dari krisis.

Kiwari, yang dibutuhkan bukan kosmetik hijau, melainkan keberanian untuk memutus ketergantungan pada energi fosil dan menata ulang sistem energi agar berpihak pada kehidupan. Transisi energi sejati bukan tentang mengganti bahan bakar, tetapi mengganti arah—dari kerakusan menuju keberlanjutan, dari polusi menuju keadilan, dari ilusi menuju masa depan yang benar-benar bersih.

Kita perlu menyebut co-firing apa adanya: solusi palsu. Ia bukan langkah maju menuju energi bersih, melainkan jalan berputar yang menunda perubahan sejati. Ia menipu publik dengan jargon hijau, menipu kebijakan dengan data separuh, dan menipu masa depan dengan menganggap pembakaran biomassa bisa menebus dosa batu bara.

Transisi energi sejati membutuhkan keberanian politik, bukan sekadar inovasi teknologi. Keberanian untuk memensiunkan PLTU lebih awal, keberanian untuk menolak investasi hijau semu, dan keberanian untuk menempatkan masyarakat serta lingkungan sebagai pusat arah pembangunan.

Kita tidak butuh transisi yang menipu; kita butuh transformasi yang adil. Energi bersih bukan hanya tentang panel surya atau biomassa, tetapi tentang pembebasan manusia dari ketimpangan, polusi, dan eksploitasi yang diwariskan sistem energi fosil. Co-firing di Paiton adalah cermin dari pilihan yang keliru—dan dari sanalah, seharusnya, kesadaran baru dimulai.

 

Referensi:

  1. Komentar WALHI Jatim: Co-firing di PLTU Paiton sebagai Solusi Palsu dalam Transisi Energi. https://walhijatim.org/2024/09/30/komentar-walhi-jatim-co-firing-di-pltu-paiton-sebagai-solusi-palsu-dalam-transisi-energi/
  2. Remidi Transisi Energi di Jawa Timur. https://walhijatim.org/2025/06/10/remidi-transisi-energi-di-jawa-timur/
  3. Komentar Kritis: Pemerintah Jepang Harus Menghentikan Pembiayaan dan Praktik Solusi Palsu di PLTU Paiton. https://www.walhi.or.id/komentar-kritis-walhi-jawa-timur-pemerintah-jepang-harus-menghentikan-pembiayaan-dan-praktik-solusi-palsu-di-pltu-paiton
  4. Laporan Riset Co-firing Biomassa di PLTU Paiton: Solusi Palsu Mengatasi Krisis Lingkungan, (2025). WALHI Jawa Timur.