Komentar WALHI Jatim: Co-firing di PLTU Paiton sebagai Solusi Palsu dalam Transisi Energi

Pendahuluan

Praktik co-firing biomassa, yang menggabungkan biomassa dengan batu bara untuk digunakan dalam boiler pembangkit listrik, telah menjadi teknologi matang yang diterapkan di puluhan pembangkit listrik di seluruh dunia (IRENA, Biomass for Power Generation, 2012). Co-firing dengan biomassa menawarkan pengurangan emisi karena berkurangnya penggunaan batu bara, sementara tetap memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada, menjadikannya opsi yang menarik bagi negara-negara dengan armada pembangkit batu bara yang besar dan sumber daya biomassa yang melimpah (IEA-ETSAP & IRENA, Biomass Co-Firing Technology Brief, 2013).

Co-firing biomassa dipromosikan sebagai solusi untuk mengurangi penggunaan batu bara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang merupakan salah satu produsen dan konsumen batu bara terbesar. Indonesia memiliki cadangan batu bara terbukti sebesar 15.719 juta ton dan menghasilkan 687 juta ton batu bara pada tahun 2022, menjadikannya produsen ketiga terbesar di dunia (ESDM, 2022).

Konsumsi batu bara di Indonesia terus meningkat, terutama digunakan untuk pembangkit listrik dan sektor industri. Indonesia memiliki salah satu armada pembangkit batu bara terbesar dan termuda di dunia, dengan sebagian besar pembangkitnya berusia kurang dari 20 tahun (Dahl et al., 2023). Pada tahun 2023, kapasitas operasional Indonesia mencapai 43,4 gigawatt (GW), dengan 65,6% berada di wilayah Jawa–Bali. Pembangkit captive, yang tidak terhubung ke jaringan dan digunakan untuk industri, akan meningkat dua kali lipat menjadi 17,7 GW pada tahun 2030 (Global Energy Monitor, 2023).

Sekilas Co-firing di Indonesia

Kebijakan Energi Nasional Indonesia menargetkan bahwa 23% dari konsumsi energi berasal dari energi terbarukan pada tahun 2025, namun Indonesia tertinggal dalam mencapai target tersebut (Peraturan Pemerintah No. 79/2014). Kebijakan terbaru justru menurunkan target energi terbarukan menjadi 17–19% pada 2025, menunjukkan lambatnya adopsi energi terbarukan, terutama dari sumber-sumber terbarukan seperti angin dan surya (Justika, 2024).

Co-firing biomassa muncul sebagai solusi palsu untuk mengurangi emisi dari pembangkit batu bara Indonesia. Jika melihat pertumbuhan industri biomassa di Indonesia berisiko memperburuk deforestasi akibat perubahan penggunaan lahan untuk menanam tanaman biomassa, yang mengancam komunitas lokal, keanekaragaman hayati, dan target emisi (Baral et al., 2023).

Saat ini, 32 pembangkit yang terlibat dalam co-firing menggunakan produk limbah pertanian atau industri, tetapi rencana masa depan menunjukkan bahwa setengah dari semua bahan baku biomassa akan bersumber dari hutan tanaman energi yang didedikasikan untuk co-firing (PLN, 2022). Tantangan utama dalam skenario ini adalah pasokan biomassa yang memadai untuk memenuhi kebutuhan industri energi.

Sekilas Co-firing di Jawa Timur

Di Jawa Timur, co-firing telah diuji coba di PLTU Paiton, menggunakan serbuk kayu (sawdust) sebagai bahan baku biomassa yang rencananya dipatok mencapai 800 MW. Klain PLN yang patut diuji yakni, Paiton Unit 1 memerlukan sekitar 10.000 ton batu bara per hari, sementara Unit 2 membutuhkan 8.000 ton. Dengan penggunaan biomassa, PLTU Paiton mengurangi konsumsi batu bara setidaknya sebesar 325.500 ton per tahun, menghasilkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 471.500 ton CO2 (PLN, 2022).

Selain Unit 1 dan 2, PLTU Paiton juga memiliki Unit 9 yang mengimplementasikan co-firing. Total kapasitas terpasang di kompleks PLTU Paiton adalah 4.700 MW, dengan PLN menyumbang 1460 MW untuk sistem jaringan tegangan tinggi Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) (PLN, 2022). Untuk bahan baku biomassa, PLN bekerja sama dengan PT. Raja Muda Gemilang, sebuah perusahaan lokal di Probolinggo dan Situbondo, serta melibatkan masyarakat sekitar dalam penyediaan biomassa, mereka bekerja sama dengan industri kayu lokal di Banyulugur, Situbondo untuk menyediakan sekitar 5% co-firing biomassa di PLTU Paiton.

Perhutani juga sedang mempersiapkan bahan baku berupa wood pellet untuk program uji coba co-firing yang menggabungkan suplai batu bara dan biomassa di PLTU Paiton. Merujuk statemen Perhutani tentang hutan tanaman energi di Bojonegoro, Mojokerto, Jember, dan Probolinggo, menurut mereka memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut, dengan jenis tanaman seperti Kaliandra Merah, Akasia dan Lamtoro Gung yang dapat diproses menjadi bahan bakar biomassa berbentuk wood pellet untuk pembangkit listrik. 

Kami menemukan indikasi pengembangan hutan tanaman energi melalui kemitraan dengan masyarakat. Di Probolinggo, Perhutani dan Paiton Energy telah mendorong kerja sama melalui CSR untuk beberapa KUPS atau Kelompok Usaha Perhutanan Sosial dengan melibatkan total lahan perhutanan sosial seluas 750 hektar. Ada dugaan bahwa kerjasama tersebut dapat mengarah ke Hutan Tanaman Energi. Selain di Probolinggo, kami juga menemukan ada potensi kerjasama swasta dengan KUPS di Mojokerto untuk hutan tanaman energi terutama bisnis wood pellet.

Komentar

Meskipun co-firing dengan biomassa dipromosikan sebagai solusi transisi energi, implementasinya di Indonesia menimbulkan masalah lingkungan dan sosial yang serius. Proyek biomassa sering kali memicu perubahan penggunaan lahan dan deforestasi, yang justru menambah emisi GRK dan mengganggu ekosistem lokal. Penebangan hutan untuk hutan tanaman energi dan risiko ekspansi lahan untuk produksi bioenergi dapat membahayakan upaya mitigasi perubahan iklim (Casson et al., 2014).

Selain itu, target pengurangan emisi dari co-firing sering kali tidak tercapai, dan proyek ini sebagian besar dipengaruhi oleh kepentingan bisnis daripada perlindungan lingkungan yang sejati. Ada risiko bahwa peningkatan besar-besaran dalam industri biomassa di Indonesia dapat mengarah pada peningkatan emisi dari perubahan penggunaan lahan, bertentangan dengan tujuan pengurangan emisi yang diharapkan (Muhajir et al., 2022).

Co-firing biomassa di Indonesia, terutama di PLTU Paiton, lebih merupakan solusi sementara yang berisiko memperburuk masalah lingkungan. Meskipun menawarkan potensi pengurangan emisi, dampak negatif terhadap hutan dan komunitas lokal membuatnya bukanlah solusi yang ideal dalam transisi energi Indonesia. Pemerintah dan pemangku kepentingan harus mempertimbangkan kembali prioritas ini dan lebih berfokus pada sumber energi terbarukan yang lebih bersih dan berkelanjutan, seperti energi surya, angin dan mikrohidro.

 

Referensi

IRENA. (2012). Biomass for Power Generation. https://www.irena.org/publications/2012/Jun/Renewable-Energy-Cost-Analysis—Biomass-for-Power-Generation

IEA-ETSAP & IRENA. (2013). Biomass Co-Firing Technology Brief. https://www.irena.org/publications/2013/Jan/Biomass-co-firing

ESDM. (2022). Indonesian Minerals, Coal, and Geothermal Resources and Reserves 2021. https://geologi.esdm.go.id/storage/publikasi/BZndhEYcRYSGJHh3XKSnEVsrE3HwbzDohxcs3veV.pdf

PLN. (2022).Sustainability Report 2022. https://web.pln.co.id/statics/uploads/2023/08/SR-PLN-2022_0706_230802_202929.pdf

Baral, H., Shin, S., & Murdiyarso, D. (2023). The Critical Nexus Between Bioenergy and Land Use. Cent. Glob. Sustain. Cent. Int. For. Res.-World Agrofor. CIFOR-ICRAF.

Casson, A., Muliastra, Y. I. K. D., & Obidzinski, K. (2014). Large-Scale Plantations, Bioenergy Developments and Land Use Change in Indonesia. https://citeseerx.ist.psu.edu/document?repid=rep1&type=pdf&doi=b6fa94e10e8f1e67cf9f52be9573160c04dec700

Global Energy Monitor. Global Coal Plant Tracker. (2023).