Bengawan Solo Kritis: Pemerintah Harus Sinkron, Tegas, dan Bertindak Nyata

Surabaya, 29 September 2025 – Lima Daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas nasional—Citarum, Ciliwung, Cisadane, Bengawan Solo, dan Brantas—menunjukkan tren pencemaran yang semakin serius. Data terbaru Stasiun Onlimo KLH di Padangan, Bojonegoro, mencatat kualitas air Bengawan Solo pada periode 16–22 September 2025 berstatus tidak memenuhi baku mutu dan masuk kategori tercemar.

Sungai yang panjangnya lebih dari 600 km ini mengalir dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur dan menjadi penopang hidup sekitar 17 juta penduduk di kedua provinsi. Namun kini, limbah industri, limbah rumah tangga, serta aktivitas tambang di badan sungai memperparah pencemaran, menjadikan Bengawan Solo semakin jauh dari fungsi ekologisnya sebagai sumber kehidupan.

Kondisi kritis ini menuntut tindakan serius dari pemerintah, bukan sekadar rutinitas administratif. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) memberi mandat jelas: negara wajib mencegah, menanggulangi, serta memulihkan pencemaran lingkungan.

Pelaku pencemar harus dikenai sanksi administratif, perdata, hingga pidana, dan diwajibkan melakukan pemulihan sungai. Tanpa penegakan hukum yang nyata, pencemaran hanya akan berulang, sementara masyarakat terus menanggung beban air kotor, kesehatan yang terancam, dan hilangnya sumber penghidupan.

Pencemaran Bengawan Solo juga memicu kerugian ekonomi serius: potensi kerugian sektor pertanian dan perikanan air tawar diperkirakan mencapai lebih dari Rp1,2 triliun per tahun, ditambah biaya kesehatan masyarakat akibat penyakit berbasis air yang mencapai ratusan miliar rupiah.

Pemerintah kabupaten, provinsi, hingga KLH memiliki tanggung jawab yang tidak bisa dipisahkan. Sinkronisasi kebijakan dan implementasi menjadi kunci. KLH wajib menetapkan daya tampung beban pencemaran dan memastikan penegakan hukum nasional.

Sementara itu, pemerintah Provinsi Jawa Timur harus mengkoordinasikan lintas wilayah, mengendalikan industri besar, serta merumuskan kebijakan pengendalian limbah yang terukur.

Lalu kami menegaskan bahwa, pemerintah kabupaten harus melakukan pengawasan langsung di lapangan, penindakan terhadap pelanggar, serta program pemulihan kawasan secara nyata. Tanpa koordinasi yang jelas, Bengawan Solo akan terus menjadi korban kebijakan yang saling tumpang tindih.

Atas uraian tersebut Walhi Jawa Timur menuntut:

  1. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) segera menetapkan daya tampung beban pencemaran Bengawan Solo, mengidentifikasi seluruh sumber limbah, dan menegakkan hukum terhadap pencemar lintas wilayah.
  2. Pemerintah Provinsi Jawa Timur memperketat izin dan pengawasan industri, memastikan baku mutu dipatuhi, serta mengoordinasikan pemulihan ekologis di seluruh daerah aliran sungai.
  3. Pemerintah kabupaten/kota di sepanjang Bengawan Solo melakukan pengawasan langsung, menghentikan aktivitas tambang di badan dan sempadan sungai, serta menjalankan program pengelolaan limbah domestik berbasis masyarakat.
  4. Seluruh level pemerintah menyusun kebijakan pemulihan Bengawan Solo secara terintegrasi dari hulu, tengah, hingga hilir, dengan target pemulihan yang terukur dan transparan bagi publik.

Narahubung:
Wahyu Eka Styawan
Direktur WALHI Jawa Timur
+6287870534304