PROBOLINGGO, 24 September 2025–Peringatan Hari Tani Nasional 2025 di Kabupaten Probolinggo menjadi momentum penting untuk merefleksikan berbagai persoalan serius yang dihadapi petani. Alih-alih hadir dengan kebijakan yang memihak, pemerintah justru semakin memperlihatkan nihilnya keberpihakan terhadap nasib petani.
Mayoritas petani di Kabupaten Probolinggo menanam tiga komoditas yakni jagung, padi, dan tembakau. Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo mencatat pada semester pertama tahun 2025, luas panen padi di Probolinggo mencapai sekitar 43.726 hektare dengan produksi gabah kering panen (GKP) sebesar 285.823 ton.
Secara angka, ini meningkat signifikan dibandingkan tahun 2024 yang hanya 199.824 ton dari 37.144 hektare. Meski demikian, kenaikan produksi belum otomatis meningkatkan kesejahteraan petani karena harga jual sering kali tidak stabil, sementara biaya produksi terus meningkat.
Sebaliknya, komoditas jagung justru mengalami penurunan. Hingga Juni 2025, luas panen hanya 25.387 hektare dengan produksi 110.186 ton pipil kering, turun dari 29.122 hektare dan 126.863 ton pada semester pertama 2024. Penurunan ini salah satunya dipicu pergeseran lahan ke padi karena harga yang lebih menarik.
Sementara itu, tembakau sebagai komoditas unggulan, terutama varietas Paiton VO, menunjukkan luas tanam sekitar 11.524 hektare dengan potensi produksi ±13.829 ton. Namun realisasi tahun 2024 jauh di bawah target, hanya 9.172 hektare, meski produksi sempat melebihi ekspektasi yaitu ±14.737 ton.
Kemandirian Petani
Kemandirian petani di Kabupaten Probolinggo hari ini pada dasarnya semakin hilang. Hampir semua kebutuhan produksi harus dibeli: mulai dari benih yang didominasi perusahaan besar, pupuk kimia yang langka sekaligus mahal, hingga air untuk mengairi sawah yang semakin sulit karena irigasi tidak terkelola baik.
Praktik pertanian yang seharusnya bisa berbasis kearifan lokal dan mandiri justru tergantikan oleh ketergantungan pada input eksternal, seperti hilangnya tradisi kajegen (membantu secara sukarela) dan otosan (barter tenaga) yang merupakan tradisi gotong-royong saat masa tanam hingga panen.
Kebiasaan itu telah hilang dan berganti dengan membayar buruh tani sekitar Rp50.000 – Rp100.000 per orang. Ilustrasinya, pada masa panen tembakau saja, membutuhkan sedikitnya 3 orang. Padahal mulanya, petani cukup menyediakan konsumsi dan berbagi tenaga antar sesama.
Selain itu, dulu petani di Kabupaten Probolinggo mencukupi kebutuhan pupuk dengan menggunakan pupuk organik seperti menggunakan kotoran sapi atau membuat produk pestisida alami. Namun, kini petani harus menebus pupuk kimia dengan harga Rp.350.000 – Rp600.000 per kuintal. Sementara itu, pada saat tanam tembakau dalam sepetak lahan petani membutuhkan 3 kuintal pupuk kimia.
Situasi ini menambah beban biaya produksi, sementara kontrol atas proses produksi justru semakin kecil, dan membuat petani semakin rentan. Kesulitan akses terhadap modal memperburuk keadaan. Banyak petani tidak memiliki tabungan atau jaminan untuk mengakses kredit formal dengan bunga rendah.
Akibatnya, mereka terpaksa berhutang kepada rentenir, bank swasta dengan bunga tinggi, atau bahkan kepada tengkulak. Skema hutang kepada tengkulak lebih memprihatinkan: modal memang diberikan di awal, tetapi hasil panen petani otomatis tersandera karena harus dijual ke tengkulak dengan harga murah.
Di sisi lain, keberadaan gudang-gudang besar sebagai penentu harga tembakau yang juga dinilai terlalu superior dengan sistem penentuan harga dan kualitas yang tidak berpihak pada petani. Alhasil, petani terus terjebak dalam lingkaran hutang, tanpa ruang untuk benar-benar mandiri dan berdaulat atas hasil jerih payahnya sendiri.
Krisis Iklim dan Dampak PLTU Paiton
Krisis iklim semakin memperburuk kondisi petani dan menyebabkan penurunan produktivitas serta risiko gagal panen. Cuaca yang tak lagi bisa ditebak, hujan yang tetap turun di musim kemarau adalah salah satu bukti krisis iklim. Pada tahun 2025, banyak tembakau milik petani yang mati dan mengalami penurunan kualitas dan kuantitas akibat hujan. Bahkan, langit mendung saja kualitas tembakau pun menurun.
Salah satu petani di Dusun Kabuaran, Desa Kotaanyar menyebutkan 15.000 tanaman tembakau miliknya yang baru berumur satu bulan itu mati karena diguyur hujan pada medio Juni 2025. Kondisi itu membuat petani harus membeli bibit baru untuk menggantikan bibit yang mati (ngangselen). Di samping itu, tembakau yang “selamat” dan berhasil dipanen kualitasnya pun menurun.
Petani lain yang berasal dari Desa Sidorejo, Kecamatan Kotaanyar bercerita hasil panennya menurun drastis daripada musim tembakau 2024, yakni tembakau kering dalam 40 widik hanya menghasilkan 23 kilogram. Padahal normalnya 30 – 35 kilogram. Di samping itu, pada akhir Agustus 2025, tembakau yang siap panen roboh, patah, dan layu karena diterjang hujan badai.
“Akhirnya kualitas tembakau pasti kurang jelek. Sekarang harga murah dan tembakaunya ringan,” ungkap petani yang menanam tembakau di Desa Bhinor, Kecamatan Paiton itu. “Ini siap panen. Tapi kayak gini (roboh dan layu). Hancur. Hancur,” imbuhnya.
Krisis iklim juga menjadi salah satu musabab pengetahuan lokal petani untuk memprediksi cuaca tak lagi berfungsi. Mula-mula, petani kerapkali menebak cuaca melalui pohon randu dan pohon mangga. Namun, kini, prediksi itu tak meleset.
Selain faktor global, keberadaan PLTU Paiton menjadi variabel lokal yang memperparah situasi. Emisi dan abu sisa pembakaran batubara menurunkan kualitas udara dan tanah di sekitar area pertanian. Petani di sekitar Paiton, Kotaanyar, dan Pakuniran mengeluhkan berkurangnya kesuburan lahan, meningkatnya serangan hama, serta menurunnya kualitas hasil panen yang terpapar partikel abu batubara.
Kebijakan Pemerintah yang Tidak Partisipatif
Kebijakan pertanian di Kabupaten Probolinggo cenderung bersifat top-down dan minim partisipasi petani. Hal ini terbukti, misalnya, dari penetapan harga panen tembakau yang ditentukan sepihak oleh tengkulak dan gudang, penetapan target tanam yang tidak tersosialisasikan dengan baik, hingga permasalahan pupuk yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Di samping itu, pemerintah Kabupaten Probolinggo terkesan ompong di hadapan gudang karena tidak berani mengintervensi harga beli dan penentuan kualitas tembakau yang cenderung subjektif ditentukan grader. Selain itu, mampetnya saluran informasi dan aspirasi hingga minimnya forum-forum yang jelas untuk mendengarkan keluhan dan permasalahan di kalangan petani menjadi permasalahan lain.
Kebijakan untuk menyikapi ancaman krisis iklim pun sering hanya tertulis di dokumen perencanaan tanpa implementasi nyata, sehingga gagal memberi perlindungan yang efektif bagi petani. Terlebih, Kabupaten Probolinggo belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Petani.
Rekomendasi Petani
Momentum Hari Tani 2025 ini menuntut Pemerintah Kabupaten Probolinggo untuk segera berpihak pada petani dengan kebijakan yang konkret dan partisipatif:
- Memperkuat mekanisme partisipasi petani dalam penyusunan kebijakan pertanian, mulai dari alokasi pupuk hingga penentuan harga panen.
- Menyiapkan strategi menyikapi krisis iklim yang nyata seperti teknologi dan infrastruktur pengering tembakau yang ramah lingkugan.
- Memperkuat kemandirian petani melalui akses modal murah, pasar yang adil, serta penguatan koperasi atau kelembagaan petani.
- Menuntut adanya keberanian politik dari pemerintah daerah untuk memensiunkan PLTU Paiton yang terbukti memberi dampak buruk terhadap lingkungan dan pertanian sekitar sesuai skema yang sudah disampaikan pemerintah pusat.
- Menyusun Peraturan Daerah yang secara khusus mengatur perlindungan lahan pertanian serta ekosistemnya termasuk air, termasuk perlindungan dan kesejahteraan petani.
Tanpa keberpihakan nyata dan langkah strategis, petani di Kabupaten Probolinggo akan terus terjebak dalam lingkaran kerugian, ketidakpastian, dan ketidakberdayaan. Hari Tani bukan sekadar seremoni, melainkan momentum refleksi untuk mengatasi berbagai permasalahan petani dan menjadi pengingat bahwa tanpa petani, tidak ada kehidupan.
Narahubung:
Lucky Wahyu Wardhana
Manajer Kampanye WALHI Jatim
+6287870534304