MAPALA Bicara Perubahan Iklim: Dari Riset Lapangan hingga Advokasi Kebijakan

12 September 2025

WALHI Jawa Timur bersama empat organisasi mahasiswa pecinta alam (MAPALA) yaitu Mahapena FE Universitas Jember, IMPALA, Universitas Brawijaya, Baturpala FT, Universitas Darul Ulum, Jombang, dan SLH Saunggalih, Universitas Yudharta, Pasuruan, menggelar diskusi daring bertajuk “Peran MAPALA dalam Menghadapi Perubahan Iklim”. Pertemuan ini menegaskan komitmen MAPALA untuk tidak sekadar menikmati alam, tetapi juga merawat, melindungi, serta memperjuangkan keberlanjutan lingkungan di tengah ancaman krisis iklim.

Diskusi dibuka dengan paparan Ali Marwan dari Mahapena FE Universitas Jember yang menekankan peran mahasiswa sebagai agent of change. Menurutnya, mahasiswa tidak boleh kehilangan idealisme sosial dan kepedulian ekologis, meski realitas saat ini banyak yang terjebak pada sikap pragmatis.

Mahapena sendiri rutin melakukan reboisasi di Lumajang bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) serta menggelar penyuluhan pengelolaan sampah organik dan anorganik kepada mahasiswa. Selain itu, Mahapena aktif mengadvokasi isu gumuk—bentang alam unik yang kini kian terancam oleh pembangunan dan privatisasi.

Kepedulian harus dimulai dari diri sendiri sebelum menggerakkan orang lain. Aksi nyata seperti penanaman pohon, pembersihan sungai, dan advokasi lingkungan harus terus dikembangkan. Kebijakan juga perlu melibatkan organisasi lingkungan,” ujar Ali.

Senada dengan itu, M. Adzan Fahtazal dari Baturpala Universitas Darul Ulum menyoroti persoalan kekeringan dan banjir di Jombang. Menurutnya, solusi atas persoalan ini tidak bisa datang hanya dari MAPALA, melainkan juga harus melibatkan masyarakat.

Kami melakukan edukasi dari sekolah ke sekolah, mengenalkan konsep ecobrick sebagai upaya pengurangan sampah plastik. Memang bukan solusi utama, tapi penting untuk menekan pencemaran lingkungan,” jelas Adzan.

Inisiatif Nyata: Dari Riset hingga Aksi Lapangan

Annisa Adinda Riveria dari IMPALA Universitas Brawijaya memaparkan beragam inisiatif yang telah dilakukan organisasinya. Mulai dari pelatihan komposting dan pengolahan sampah plastik di Gili Iyang pada 2024, hingga fokus penghijauan pada 2025 dengan kegiatan pendakian, penanaman pohon, hingga clean-up di bantaran sungai Brantas dan Gunung Buthak.

Kalau mau berkegiatan di alam, maka alamnya harus kita jaga. Karena itu, kami juga membuat eco-enzyme dari kulit buah yang dikumpulkan pedagang,” tegas Annisa.

Sementara itu, M. Hizqil Abdillah dari SLH Saunggalih menekankan pentingnya riset ilmiah sebagai dasar advokasi lingkungan. Pihaknya telah melakukan riset mikroplastik di sungai, inventarisasi mata air di Arjuno, serta analisis vegetasi di Tahura Raden Soeryo. Menurutnya, data-data seperti ini bisa dijadikan basis untuk mendorong perubahan kebijakan.

Hizqil juga menyoroti perlunya strategi adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi krisis iklim. Mitigasi dapat dilakukan melalui transportasi berkelanjutan, efisiensi energi, energi terbarukan, serta pengurangan sampah. Sementara adaptasi meliputi berbagi pengetahuan, manajemen darurat, hingga kampanye pangan lokal di tingkat komunitas.

MAPALA harus jadi motor untuk mendorong circular economy, tata kelola sampah, dan ruang publik yang ramah. Semua ini bagian dari adaptasi dan mitigasi yang berbasis komunitas,” ungkapnya.

Dari Isu Tata Ruang ke Arah Perubahan Kebijakan

Diskusi juga mengungkap persoalan tata ruang dan privatisasi alam, seperti ancaman eksploitasi gumuk di Jember, tambang di Kangean, hingga pembangunan drainase di Malang Raya yang dianggap sebagai solusi palsu terhadap banjir.

Annisa dari IMPALA menyoroti kasus drainase Malang. Menurutnya, solusi banjir bukanlah sekadar betonisasi, tetapi pemulihan sumber resapan. IMPALA bahkan sempat melakukan konsultasi bersama salah satu kelurahan terkait rancangan resapan. Aktivis juga pernah membentangkan kain panjang untuk menolak penebangan pohon di kawasan Suhat, Malang, yang dinilai penting untuk menjaga daya serap air.

Wahyu Eka, fasilitator diskusi dari WALHI Jawa Timur, menambahkan bahwa masalah gumuk semakin kompleks karena adanya mafia tanah yang melegalkan privatisasi melalui sertifikat tanah. Hal ini membuat kawasan konservasi rawan dialihfungsikan.

Menanggapi hal ini, Hizqil menegaskan pentingnya kajian ulang Perda RTRW agar kawasan konservasi terlindungi secara hukum. Ia menekankan, peran MAPALA tidak boleh berhenti pada aktivitas lapangan, tetapi juga harus masuk dalam ranah advokasi kebijakan.

MAPALA adalah garda terdepan dalam menghadapi perubahan iklim, baik di sektor pendidikan maupun dalam mendorong perubahan kebijakan. Itu sesuai dengan kode etik pecinta alam yang kita junjung,” tegas Hizqil dalam penutup diskusi.

Refleksi

Diskusi ini memperlihatkan bahwa MAPALA bukan hanya komunitas penikmat alam, melainkan kekuatan sosial yang melakukan aksi nyata, riset ilmiah, dan advokasi kebijakan untuk menghadapi krisis iklim.

Berbagai pengalaman yang dibagikan menunjukkan bahwa MAPALA bergerak di banyak lini: dari reboisasi, pengelolaan sampah, penelitian mikroplastik, hingga perlawanan terhadap privatisasi gumuk dan tambang. Semua itu menegaskan bahwa peran MAPALA tidak berhenti pada kegiatan lapangan, tetapi juga meluas ke pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan mendorong perubahan kebijakan.