Masyarakat Gemulo Menolak Pembangunan SPPG di Kawasan Umbul Gemulo

Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) yang beranggotakan HIPPAM Cangar – Bulukerto, HIPPAM Tonggolari – Sidomulyo, HIPPAM Sukorembug – Sidomulyo, HIPPAM Desa Bumiaji, bersama sejumlah komunitas lokal, kembali menggelar kerja bakti membersihkan sumber mata air atau resik-resik Umbul Gemulo pada Kamis, 10 Juli, 2025.

Kegiatan ini menjadi agenda tahunan yang rutin dilaksanakan sebagai wujud nyata kepedulian warga terhadap kelestarian Umbul Gemulo—sumber kehidupan penting bagi masyarakat setempat yang menyuplai kebutuhan air bersih sehari-hari serta mengairi lahan pertanian.

Tak hanya berhenti pada aksi bersih-bersih, masyarakat juga menggelar jagongan atau diskusi santai di tepi sumber air. Dalam suasana hangat penuh keakraban, warga berbagi pandangan tentang berbagai ancaman pembangunan yang dikhawatirkan dapat merusak dan mencemari mata air. Bertepatan dengan bulan Suro—bulan yang diyakini sarat makna spiritual dan perlambang doa keselamatan—kegiatan ini diharapkan dapat menjadi ikhtiar kolektif agar Umbul Gemulo tetap lestari, jauh dari bencana maupun kerusakan lingkungan.

Apa yang Dilanggar oleh SPPG

Salah satu kekhawatiran warga mencuat terkait rencana pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai bagian dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Pemerintah Kota Batu. Salah satu titik lokasi yang direncanakan berada di Jalan Raya Punten, tepat di depan Hotel Purnama. 

Padahal, kawasan tersebut merupakan area lindung yang berjarak kurang dari 200 meter dari sumber mata air. Apabila pembangunan ini tetap dipaksakan, perubahan bentang alam tak terhindarkan dan dikhawatirkan akan memicu pencemaran maupun kerusakan Umbul Gemulo akibat aktivitas operasional program tersebut.

Pembangunan SPPG jika benar adanya dibangun di atas atau sekitar area sumber Gemulo, maka hal tersebut secara tidak langsung melanggar tata ruang. Jika dalam Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Tata Ruang dan Tata Wilayah Kota Batu disebutkan sebagai kawasan perlindungan setempat, terutama berkaitan dengan mata air, khususnya dalam pasal 38. 

Tetapi semua berubah saat Pemerintah Kota Batu merevisi peraturan tata ruangnya, dalam Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 7 Tahun 2022 yang menggantikan aturan sebelumnya. Tidak ada frasa atau kalimat yang jelas tentang perlindungan mata air, bahkan hanya direduksi menjadi kawasan konservasi seperti dalam pasal 29, yang mana hanya menyebutkan nama desa saja.

Walaupun begitu, dari aturan tata ruang yang memberikan perlindungan maksimal, ke arah aturan yang longgar, akan tetapi sumber Gemulo tetap masuk dalam kategori lindung atau konservasi jika merujuk pada kata konservasi, kemudian dikaitkan dengan peraturan sebelumnya. 

Meskipun sebagai kritik perubahan peraturan tata ruang di Kota Batu sarat akan kepentingan ekonomi ekstraktif pariwisata, di mana memang secara sengaja dibentuk longgar untuk memudahkan perizinan alih fungsi kawasan, serta menjadi aturan yang melegalkan praktik tumpang tindih tata ruang, yang hampir 15 hingga 20 izin pembangunan di Kota Batu bertabrakan dengan peruntukan kawasan.

Selain bertentangan dengan tata ruang, pembangunan tersebut juga melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air.  Pada pasal 24 telah ditegaskan bahwa yang disebut kawasan konservasi adalah sebuah kawasan yang melindungi dan menjaga keberlanjutan sumber mata air. Lalu disebutkan bahwa kawasan konservasi mata air seharusnya menjadi acuan dalam pembuatan peraturan tata ruang daerah, dan itulah yang dilanggar dalam aturan tata ruang terbaru di Kota Batu. 

Kemudian, dalam pasal 25 ditegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan aktivitas yang dapat merusak sumber mata air, atau dapat ditafsirkan bahwa segala aktivitas yang mengancam keberlanjutan mata air, maka itu dilarang. Pasal 25 ini terhubung dengan pasal 24, terutama mendorong integrasi dengan peraturan tata ruang, karena dikhawatirkan bahwa aktivitas pembangunan dapat merusak sumber mata air.

Argumen ini sudah lugas dan jelas, serta menunjukkan bahwa rencana pembangunan bangunan SPPG di dekat sumber Gemulo tidak sesuai azas pelestarian, serta bertentangan dengan aturan. Ini tidak hanya SPPG tetapi juga pembangunan lainnya.

Tegas Menolak Pembangunan SPPG

Keresahan ini pun diungkapkan oleh warga yang tergabung dalam FMPMA. Mereka khawatir bahwa pembangunan tersebut akan merusak sumber Gemulo, sekaligus menganggu kehidupan mereka. Karena dari kabar yang mereka terima, pembangunan tersebut akan berada di sekitar kawasan penyangga mata air. Ketakutan ini sangat berdasar, pasalnya dulu mereka berjuang melawan pembangunan hotel the Rayja yang berada tepat di atas sumber Gemulo.

Aris Nawakalam, perwakilan warga dan anggota FMPMA, menegaskan kekhawatiran masyarakat:

“Kami menolak segala bentuk pembangunan yang mengancam sumber mata air Umbul Gemulo. Ini bukan hanya soal air, tapi soal kelangsungan hidup kami. Umbul Gemulo telah memberi kami air untuk minum, memasak, mandi, dan mengairi sawah kami. Kalau sumber ini rusak, kami kehilangan segalanya. Kami meminta pemerintah mencari lokasi lain yang tidak merusak sumber mata air.”

Pembangunan ini jelas melanggar tata ruang, sebagaimana yang sudah dijelaskan. Pada konteks ini, Pradipta Indra, Manajer Advokasi WALHI Jawa Timur, menyoroti pentingnya perlindungan hukum dan tata kelola lingkungan yang berkelanjutan:

“Pemerintah Kota Batu seharusnya konsisten melindungi kawasan lindung seperti yang sudah diamanatkan undang-undang dan peraturan daerah. Jika lokasi pembangunan SPPG berada terlalu dekat dengan sumber mata air, tentu ini sangat berbahaya bagi keberlanjutan lingkungan dan masyarakat. Kami mendesak agar pembangunan dibatalkan di lokasi ini, dialihkan ke tempat yang sesuai, dan Pemkot Batu segera menyusun kebijakan perlindungan sumber mata air yang jelas dan tegas.”

Masyarakat pengguna mata Air Gemulo berharap pemerintah benar-benar memprioritaskan keberlanjutan hidup warganya. Mereka menegaskan bahwa pembangunan hendaknya tidak dijalankan dengan mengorbankan alam yang selama ini telah menjadi sandaran hidup bersama.