WALHI Jawa Timur menilai pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada 18 November 2025 oleh DPR RI, sebagai langkah mundur terbesar dalam reformasi hukum dan demokrasi di Indonesia. Proses legislasi berlangsung tertutup, manipulatif, dan mengabaikan prinsip partisipasi bermakna, sementara substansi KUHAP justru memperkuat supremasi aparat kepolisian dan membuka peluang pelanggaran hak asasi secara luas.
“KUHAP ini bukan sekadar cacat prosedur. Ia adalah ancaman langsung terhadap kebebasan sipil kita semua. Banyak pasal memberikan kewenangan tanpa batas kepada aparat, bahkan sebelum ada bukti tindak pidana. Kita sedang melihat rezim otoriter yang dilahirkan dari supremasi aparat keamanan dalam hal ini polisi. Ini jelas bahaya nyata yang harus kita hentikan bersama-sama,” ujar Wahyu Eka Styawan, Direktur WALHI Jawa Timur.
Sejumlah pasal dalam KUHAP membuka peluang kesewenang-wenangan aparat, kami mencatat terdapat Pasal 5, di mana penangkapan dapat dilakukan pada tahap penyelidikan, ketika belum ada bukti tindak pidana. Lalu Pasal 7 dan 8 yang menempatkan PPNS dan penyidik tertentu di bawah kendali penyidik Polri—menciptakan satu pusat kekuasaan. Pasal 16, aparat keamanan dalam hal ini kepolisian diberikan kewenangan olah TKP, pengamatan, penguntitan, penyamaran, hingga pembelian terselubung pada tahap penyelidikan, padahal sebelumnya hanya berlaku di penyidikan kasus narkotika.
Kemudian terdapat Pasal 74 yang dapat membuka ruang pemerasan lewat dalih restorative justice, bahkan sebelum terbukti ada tindak pidana. Pasal 90 dan 93 yang berpotensi mengkerdilkan ruang privasi publik melalui kewenangan penggeledahan dan penyitaan tanpa standar tegas. Lalu Pasal 105, 112A, 124 dan 132A yang secara gamblang menormalisasi penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan pemblokiran tanpa izin hakim. Dan terakhir, Pasal 137, yang mana membuka peluang hukuman tanpa batas waktu bagi penyandang disabilitas mental dan intelektual.
“Hampir semua pasal krusial memusatkan kendali pada aparat tanpa kontrol imbang. KUHAP berpotensi menciptakan korban kriminalisasi baru: warga biasa, pegiat lingkungan, jurnalis, atau siapa saja,” tambah Wahyu.
Lagi-lagi Melanggar Konstitusi
Jelasnya, dalam konteks ini DPR RI telah melanggar prinsip partisipasi bermakna dalam penyusunan KUHAP, sebagaimana diatur dalam UU 12/2011 yang mewajibkan publik untuk didengarkan, dipertimbangkan, dan mendapatkan penjelasan atas proses legislasi. Tidak satu pun dari prinsip tersebut dijalankan.
Masukan tertulis maupun lisan dari koalisi masyarakat sipil bahkan tidak dicatat sebagaimana diperintahkan Pasal 96 ayat (4). Proses legislasi berjalan tertutup dan bertentangan dengan asas keterbukaan dalam Pasal 5 huruf f. Lebih jauh, nama-nama organisasi masyarakat sipil justru dicatut sebagai catatan palsu seolah DPR telah memenuhi standar partisipasi publik, padahal masukan koalisi sama sekali tidak diakomodasi.
“Ketika partisipasi publik dimanipulasi, itu bukan lagi proses legislasi: itu rekayasa politik. DPR mengulangi pola Omnibus Law, RUU TNI dan aturan cacat lainnya — tertutup, tergesa-gesa, dan anti kritik,” tegas Wahyu.
Manipulasi ini juga merupakan pelanggaran kode etik anggota DPR sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR No. 1/2015 dan UU MD3. Koalisi masyarakat sipil telah mengadukan 11 legislator ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), termasuk Ketua Komisi III Habiburokhman. Namun, efektivitas MKD diragukan karena sebagian anggotanya berasal dari Komisi III, sehingga konflik kepentingan sangat mungkin terjadi. Bila MKD kelak menyatakan adanya pelanggaran etik, maka kian terang bahwa pengesahan KUHAP bertentangan dengan UU 12/2011—memperkuat dasar judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Masyarakat Sipil Harus Bersuara
Bahaya nyata mengintai di depan mata dan dibuka secara terang-terangan. Jelasnya, KUHAP akan berlaku pada 2 Januari 2026, atau kurang dari dua bulan dari hari ini. Padahal, implementasinya membutuhkan 15 peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksana. Tanpa regulasi turunan tersebut, aparat akan bekerja dalam ruang hukum yang kosong dan rawan disalahgunakan.
Ketika aparat diberi kewenangan luas tanpa pengawasan dan aturan pelaksana belum siap, yang muncul bukan kepastian hukum, melainkan ruang terbuka bagi kesewenang-wenangan. Situasi ini tentu menegaskan bahwa KUHAP bukan sekadar cacat prosedur, tetapi ancaman nyata terhadap hak-hak warga dan kualitas demokrasi.
WALHI Jawa Timur menegaskan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) wajib memeriksa pengaduan masyarakat sipil secara transparan, tanpa campur tangan dan tanpa konflik kepentingan, terutama karena beberapa terlapor dan anggota MKD berada dalam satu komisi. Mahkamah Konstitusi juga harus membuka ruang kontrol konstitusional atas KUHAP, mengingat kuatnya dugaan pelanggaran terhadap UU 12/2011 dan prinsip partisipasi bermakna.
Di saat yang sama, ruang demokrasi tengah berada dalam tekanan serius. Karena itu, organisasi masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, dan komunitas harus memperkuat posisi kritis mereka dalam mengawasi implementasi KUHAP. Pengesahan yang manipulatif tidak boleh dibiarkan menjadi preseden, terlebih ketika dampaknya langsung menyentuh kebebasan warga dan supremasi hukum di Indonesia.
Contact Person:
Wahyu Eka Styawan (Direktur WALHI Jawa Timur)
wahyuekas@walhijatim.org

