Narasi pemberitaan mengenai pemanfaatan limbah batubara PLTU Paiton sebagai bagian dari “ekonomi sirkular” dalam artikel berjudul “Ekonomi Sirkular Paiton, dari Limbah untuk Perkuat Infrastruktur,” terbit di harian Kompas pada 11 November 2025. Hal itu merupakan sebuah cerminan bagaimana energi kotor terus dibingkai seolah-olah telah berubah menjadi hijau, bahkan dinormalisasi rendah emisi sampai memiliki manfaat ekonomi dan sosial.
Tentunya, bagi WALHI Jawa Timur, narasi seperti itu bukan hanya menyesatkan publik, tetapi juga menutupi dampak ekologis, kesehatan, dan sosial yang selama puluhan tahun ditanggung oleh warga Probolinggo dan wilayah pesisir timur Jawa lainnya. Meskipun tampak mencerminkan transisi energi, framing tersebut justru mempertebal ketergantungan terhadap batubara dan memutihkan perpanjangan operasi PLTU hingga 2042.
Di balik klaim teknologi supercritical, co-firing biomassa, dan pemanfaatan limbah FABA untuk infrastruktur desa, tetap berdiri sebuah realitas yang tidak berubah, yakni PLTU Paiton adalah salah satu sumber emisi terbesar di Jawa Timur, penyumbang polusi udara, limbah berbahaya, penurunan kualitas air, dan tekanan terhadap ruang hidup masyarakat pesisir. Teknologi baru tidak menghapus fakta dasar bahwa batubara adalah energi paling kotor dalam seluruh rantai produksinya—dari tambang di Kalimantan dan Sumatera, transportasi melalui jalur laut, hingga pembakarannya di cerobong Paiton.
Normalisasi Pemanfaatan Racun
Narasi bahwa FABA aman dan bukan lagi limbah B3 adalah bagian dari deregulasi yang lebih menguntungkan industri daripada melindungi masyarakat. Dalam berbagai kajian independen, termasuk laporan Wang dan Vengosh (2021) dari Duke University berjudul “Occurrence of Metals and Leaching Characteristics of Coal Ash from the Punta Catalina Power Station” menunjukkan bahwa fly ash dan bottom ash melepaskan arsenik, selenium, boron, merkuri, dan molibdenum pada kadar yang melampaui ambang batas yang sudah ditetapkan oleh WHO dan EPA. Temuan ini sejalan dengan penelitian Hartuti dkk (2017) “Effect of Additives on Arsenic, Boron and Selenium Leaching from Coal Fly Ash” serta Hanum dkk (2018) “Preliminary Study on Additives for Controlling As, Se, B, and F Leaching from Coal Fly Ash” yang membuktikan bahwa meskipun diberi aditif sekalipun, fly ash tetap berpotensi melepas unsur berbahaya sehingga risiko toksisitas tidak pernah benar-benar hilang.
Konsistensi bukti ilmiah diperkuat oleh penelitian Huang dkk (2022) “Leachability of Mercury in Coal Fly Ash from Coal-Fired Power Plants in Southwest China” yang menemukan bahwa merkuri dalam fly ash dapat bermigrasi ke air dan tanah bergantung kondisi lingkungan. Tinjauan lain dari Zhang (2022) “Ecological Risk Assessment and Influencing Factors of Heavy-Metal Leaching from Coal-Based Solid Waste Fly Ash” menunjukkan bahwa logam berat dalam fly ash sering berada dalam fraksi kimia yang sangat mudah larut dan bergerak. Kumpulan temuan ini menegaskan bahwa pemanfaatan fly ash sebagai bahan bangunan atau material jalan bukan solusi ekologis, melainkan praktik yang memindahkan bahaya PLTU ke desa-desa dan ruang hidup warga—menormalisasi risiko yang seharusnya dihentikan, bukan disebarkan.
Kemudian, menurut riset dari Abbas dkk (2025) “Recycling waste materials in construction: Mechanical properties and predictive modeling of Waste-Derived cement substitutes”, pemanfaatan limbah industri sebagai material bangunan hanya dapat dilakukan secara terbatas, terkontrol, dan memerlukan evaluasi menyeluruh terhadap kandungan kimia, performa jangka panjang, serta risiko kesehatan bagi masyarakat dan pekerja. Kajian tersebut menegaskan bahwa penggunaan limbah dalam konstruksi bukan solusi struktural untuk mengatasi sumber pencemarnya, karena efektivitasnya sangat bergantung pada standar keamanan yang ketat, mekanisme pemantauan risiko, serta proporsi pemakaian yang relatif kecil dibanding volume limbah yang dihasilkan industri besar.
Berbagai limbah industri yang dicampurkan ke material konstruksi tetap berpotensi melepaskan logam berat dan senyawa berbahaya. Penelitian dari Rafieizonooz, M. dkk (2022) “Assessment of environmental and chemical properties of industrial waste-based construction materials” menegaskan bahwa perlu “comprehensive environmental and chemical assessment prior to any large-scale application,” karena penggunaan limbah ini dapat menimbulkan risiko toksisitas dan kontaminasi jangka panjang apabila tidak dikendalikan secara ketat. Studi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah bukan jaminan keamanan maupun keberlanjutan, terutama ketika volume limbah jauh melampaui kapasitas aman pemanfaatannya
Penggunaan FABA untuk proyek infrastruktur ekowisata memang menghasilkan cerita sukses yang mudah dijual sebagai “pemberdayaan masyarakat”, tetapi menjadi strategi greenwashing yang lazim dilakukan industri batubara. Seolah-olah mereka memberikan manfaat kecil yang terlihat, sembari menyembunyikan dampak besar yang tidak terlihat—termasuk emisi PM2,5 yang menurut WHO tidak memiliki ambang aman.
Warga di radius 1–7 km dari PLTU Paiton terpapar polusi udara yang terkait dengan peningkatan risiko kanker paru, penyakit jantung iskemik, gangguan kehamilan, asma anak, serta penurunan fungsi paru jangka panjang. Studi dari Harvard dan Greenpeace (2015) “Human Cost of Coal” menunjukkan bahwa PLTU batubara berkontribusi langsung terhadap kematian dini, dan Indonesia termasuk negara dengan beban kesehatan tertinggi akibat polusi PLTU di Asia Tenggara. Di samping itu, riset terbaru TrendAsia, CREA, dan Celios “Short Brief Toxic Twenty: Daftar Hitam 20 PLTU Paling Berbahaya di Indonesia,” menunjukkan bahwa PLTU Paiton merupakan pembangkit listrik paling berbahaya nomor dua di Indonesia, karena telah menyebabkan kerugian ekonomi dan kesehatan. Namun, tidak satu pun risiko dan temuan-temuan itu disebut ketika industri mempromosikan batako FABA.
Di titik itu, menggunakan FABA sebagai bahan bangunan atau material jalan bukanlah solusi ekologis, tetapi upaya memindahkan risiko dari PLTU ke desa-desa sekitar. Hazard (bahaya) yang tersebar bukan berarti hilang, hanya dipindahkan dan dinormalisasi.
Sesat Pikir Transisi Energi
Walaupun Indonesia sudah berkomitmen akan mendorong transisi energi. Namun, apa yang disampaikan dan praktik di lapangan sangat berkontradiksi. Sebagai contoh, jika bicara soal pemensiunan PLTU, sering kali klaim “ketahanan energi” digunakan untuk membenarkan keberadaan PLTU besar seperti Paiton, tetapi justru mengabaikan kenyataan bahwa sistem kelistrikan Jawa saat ini mengalami overcapacity. Laporan resmi PLN dan Kementerian ESDM dalam RUPTL 2021–2030 menunjukkan surplus listrik di Jawa-Bali mencapai 30–40 persen pada tahun-tahun tertentu. Dalam kondisi oversupply, melanjutkan operasi PLTU bukan soal kebutuhan publik, tetapi karena kontrak jangka panjang yang mengikat (take or pay), sehingga rakyat tetap harus membayar listrik yang tidak dipakai. Dengan demikian, mempertahankan PLTU bukan pilihan energi, tetapi pilihan politik dan finansial.
Kemudian munculnya narasi co-firing biomassa 5 persen dan pemasangan PLTS 1 MW sebagai bagian dari “transisi energi” adalah bentuk tokenisme. Co-firing skala kecil tidak mengurangi emisi secara signifikan dan berpotensi menciptakan tekanan baru terhadap hutan produksi di Jawa dan Kalimantan karena kebutuhan bahan baku pelet kayu. Sementara itu, memasang PLTS setara kurang dari 0,05 persen kapasitas PLTU Paiton tidak layak disebut sebagai langkah transisi. Ini sekadar kosmetik hijau yang membungkus kelanjutan bisnis batubara sampai 2042.
Pemberitaan yang menormalisasi pandangan bahwa “batubara tidak mungkin hilang” atau muncul solusi terbaru bahwa ada teknologi seperti CCS/CCUS yang dapat menghijaukan PLTU, telah terbantahkan secara global.
Kajian Sun, Y. dkk (2025) berjudul “The future of coal-fired power plants in China to retrofit with biomass and CCS,” artikel dari IEEFA (2024) “Why Carbon Capture and Storage Is Not the Solution”, serta rilis IESR (2022) “Profit and Revenue from Coal to Accelerate Energy Transition” menunjukkan secara konsisten bahwa CCS adalah solusi palsu, karena hanya dapat diterapkan pada sebagian kecil pembangkit, sangat mahal, dan dibatasi oleh pasokan biomassa, lahan, serta lokasi penyimpanan.
Banyak proyek CCS gagal mencapai target penangkapan dan tetap membiarkan mayoritas emisi dilepas saat bahan bakar dibakar. Sementara IESR menegaskan bahwa mengganti PLTU dengan energi terbarukan jauh lebih murah dan efektif. Ketiga sumber ini memperlihatkan bahwa CCS lebih merupakan strategi penundaan yang mempertahankan ketergantungan pada batubara dan energi fosil. Namun mitos CCS dan “batubara bersih” terus dipertahankan di Indonesia sebagai strategi delay untuk mempertahankan aset fosil.
Secara internasional, jika merujuk pada dokumen dari International Energy Agency (IEA) dalam Net Zero Roadmap 2023 menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada ruang untuk pembangunan PLTU baru. Lebih lanjut, PLTU eksisting di negara berkembang perlu dipensiunkan lebih cepat, guna mempercepat net zero emission atau bebas sepenuhnya dari emisi karbon. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan jika PLTU memang sudah selayaknya dipensiunkan, lalu bertransisi ke energi terbarukan, bukan diperpanjang usianya dengan teknologi seperti co firing dan CCS/CCUS.
Sudahi Kepalsuan Hijau
WALHI Jawa Timur pada konteks ini memandang, bahwa narasi ekonomi sirkular dan ekowisata FABA sebagai pengalih perhatian dari masalah utama, bahwa saat ini perlu percepatan penghentian PLTU Paiton yang berusia tua, bukan memperpanjang umur operasionalnya.
Maka dari itu, menegaskan kembali bahwa transisi energi bukan soal menghias pembangkit fosil dengan teknologi tambahan, tetapi soal keberanian politik untuk mengakhiri ketergantungan pada energi kotor yang merusak kesehatan masyarakat dan mengancam ekosistem. Jika dicermati lebih mendalam, Jawa Timur memiliki potensi energi terbarukan yang berlimpah—surya, angin, biomassa dari limbah organik, mikrohidro—sektor yang semestinya didorong untuk memenuhi target nasional dan komitmen iklim.
Warga pesisir Probolinggo, nelayan, petani sekitar PLTU, dan kelompok rentan lainnya telah menanggung biaya sosial dan ekologis dari batubara selama lebih dari dua dekade. Mereka tidak memerlukan jalan paving FABA, tetapi udara bersih. Mereka tidak membutuhkan sertifikasi mutu eco-block, tetapi ruang hidup yang sehat. Dan mereka tidak membutuhkan greenwashing industri, tetapi komitmen negara untuk memastikan energi yang adil, aman, dan berkelanjutan.
Transisi energi yang sejati hanya dapat berjalan ketika kita berhenti menyamarkan batubara sebagai bagian dari solusi. Selama PLTU terus beroperasi dan selama informasi yang mengarah ke normalisasi model greenwashing masih mendominasi pemberitaan, maka Indonesia tidak sedang menuju masa depan energi bersih—kita justru sedang menunda dan memperpanjang krisis.
Narahubung:
Wahyu Eka Styawan (Direktur WALHI Jawa Timur)
wahyuekas@walhijatim.org

