Menanggapi pernyataan Prof. Erma Yulihastin, Peneliti Klimatologi BRIN, yang menyebut bahwa panas ekstrem di wilayah Surabaya Raya akan berlanjut hingga akhir Oktober 2025. Sejalan dengan temuan ilmiah dari BRIN yang mengatakan bahwa Kota Surabaya merupakan kawasan paling sensitif terhadap perubahan iklim di Jawa Timur, dengan proyeksi kenaikan suhu hingga 5°C pada tahun 2050. Temuan tersebut menjadi penting, menguatkan apa yang telah WALHI Jawa Timur sampaikan, bahwa krisis iklim itu nyata terjadi. Sebagai hasil dari eksploitasi ekosistem secara global, serta kegagalan dalam transisi energi, menghalau deforestasi dan penerapan tata ruang yang berkelanjutan
Merujuk pada laporan The Guardian dalam artikelnya “Record leap in CO2 fuels fears of accelerating global heating” (2024) menyampaikan bahwa kadar karbon dioksida global melonjak hingga rekor tertinggi 424 ppm—kenaikan tercepat sejak 1957. Lonjakan ini didorong oleh dominasi bahan bakar fosil yang terus berlanjut, kebakaran hutan akibat pemanasan global, serta lemahnya kemampuan alam dalam menyerap karbon, baca “unprecedented failure of the land sink.” Para ilmuwan kini khawatir “carbon sinks” alami, seperti hutan dan lautan, saat ini sedang gagal menjalankan fungsinya akibat suhu yang kian panas dan kering. Kondisi tersebut memicu lingkaran setan pemanasan global, yang dampaknya kini nyata terasa di kota-kota besar, termasuk Surabaya.
Konteks global ini tercermin di tingkat lokal. Penelitian Purba (2018) dari Universitas Gajah Mada tentang fenomena Urban Heat Island (UHI) di Surabaya menunjukkan bahwa suhu permukaan kota meningkat drastis akibat perubahan tutupan lahan dan emisi CO₂ dari sektor transportasi, industri, dan rumah tangga. UHI di Surabaya bahkan telah menutupi hampir seluruh kota dengan suhu permukaan lebih dari 31°C, dan indeks panas tertinggi mencapai 8,6°C. Emisi terbesar berasal dari sektor transportasi dengan potensi 366.224 ton CO₂ per tahun, diikuti sektor industri sebesar 110.746 ton dan rumah tangga sebesar 46.444 ton per tahun. Hal ini menegaskan bahwa aktivitas berbasis energi fosil menjadi pendorong utama peningkatan suhu dan penurunan kualitas udara di kota.
Kemudian, penelitian Syafitri, Pamungkas, dan Santoso (2021) dari ITS juga menunjukkan temuan serupa, khususnya di kawasan Surabaya Timur. Di mana wilayah tersebut memiliki potensi tertinggi terhadap peningkatan suhu permukaan. Faktor utama yang mempengaruhi intensitas UHI adalah konfigurasi tata ruang kota—di mana wilayah dengan kepadatan bangunan tinggi dan minim vegetasi memiliki perbedaan suhu permukaan mencapai 1,59°C dibandingkan kawasan pinggiran. Penelitian ini menegaskan bahwa adaptasi iklim di Surabaya belum mempertimbangkan konfigurasi ruang kota secara spasial, padahal mengubah bentuk kota yang telah terbangun akan jauh lebih sulit dan mahal.
Apa yang disampaikan oleh para peneliti tersebut, paling tidak sejalan dengan kampanye WALHI Jawa Timur tentang kacaunya tata ruang di Surabaya saat ini. Berdasarkan hasil observasi dan pemantauan WALHI Jawa Timur melalui citra satelit dan survei lapangan selama dua dekade terakhir (2002–2023) menunjukkan tren yang serupa. Terdapat alih fungsi ruang terbuka hijau, berupa pembangunan masif kawasan permukiman dan perumahan baru, terutama di wilayah barat dan timur kota. Ruang-ruang yang seharusnya menjadi area resapan air kini justru menjadi kawasan ekonomi padat ruang, bahkan seringkali dibebani berbagai izin tumpang tindih antara fungsi ekologis dan kepentingan investasi. Paradoks ini menunjukkan bahwa perencanaan ruang di Surabaya tidak hanya gagal melindungi fungsi ekologis, tetapi juga memperparah kerentanan terhadap bencana.
Berkurangnya area resapan telah berdampak langsung pada meningkatnya suhu permukaan di wilayah yang mengalami alih fungsi dan padat bangunan. Selain itu juga terdapat peningkatan titik banjir di berbagai penjuru kota, terutama di kawasan permukiman baru. Meski secara teknis pemerintah kota mengklaim telah menanganinya dengan menanam pohon dan memperbanyak taman kota untuk mengatasi peningkatan suhu. Tetapi alih fungsi masif masih terjadi, dan peningkatan suhu secara masif terus terjadi.
Sementara untuk banjir, meski sudah berupaya dengan sistem pompa dan drainase, penambahan titik banjir adalah indikator nyata bahwa daya serap tanah menurun drastis. Data BMKG Jawa Timur juga memperkuat hal ini, tercatat hampir seluruh wilayah Kota Surabaya kini termasuk dalam peta rawan banjir dengan tingkat risiko tinggi. Ini membuktikan bahwa pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dijadikan program unggulan pemerintah kota belum cukup signifikan untuk memulihkan keseimbangan ekologis perkotaan.
WALHI Jawa Timur memandang krisis iklim yang saat ini melanda Surabaya, baik panas ekstrem maupun banjir bukan semata fenomena alam, melainkan akibat dari kegagalan tata ruang, lemahnya adaptasi iklim, dan terus bertambahnya emisi karbon perkotaan. Kota ini telah kehilangan fungsi ekologisnya karena dikonstruksi sebagai ruang ekonomi tanpa batas. Pemerintah Kota Surabaya perlu segera melakukan moratorium izin alih fungsi lahan hijau, memperkuat adaptasi iklim berbasis tata ruang ekologis, dan berani menekan emisi dari sektor transportasi serta industri melalui transisi energi bersih yang adil.
Krisis iklim bukan ancaman masa depan—ia sudah terjadi, dan Surabaya adalah buktinya. Jika kota ini ingin tetap layak huni, maka kebijakan pembangunan harus berpihak pada daya dukung lingkungan, bukan pada laju betonisasi yang mempercepat pemanasan dan mempersempit ruang hidup warga.
Narahubung:
Wahyu Eka Styawan
Direktur WALHI Jawa Timur
087870534304

