Mengusahakan Kemandirian: Lembu Mulyo, Kelompok Peternak Sapi Kecil Desa Sumber Mulyo

2 Oktober 2025

Desa Sumbermulyo, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, dikenal sebagai desa dengan hamparan sawah, kebun, dan kandang-kandang sapi yang sederhana di belakang rumah warga. Bagi mereka, sapi bukan sekadar hewan ternak, lebih dari itu bagian dari hidup. Sapi-sapi itu tak ubahnya tabungan, simpanan darurat, biaya sekolah anak, bahkan penopang dapur sehari-hari. Singkatnya; masa depan. Namun, di balik kepastian yang dijamin sapi-sapi, di sebelah selatan Banyuwangi ini, satu keresahan besar membayangi.

Sejak beberapa tahun terakhir, kecamatan Pesanggaran hidup dalam ancaman tambang emas. Dua perusahaan, PT Bumi Sukses Indo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI) mengantongi IUP operasi produksi seluas 4.998 ha untuk PT BSI dan IUP eksplorasi seluas 6.623 ha untuk PT DSI. Anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold (MCG) ini mengantongi wilayah konsesi lumayan besar di Pesanggaran. Kehadirannya tidak bisa tidak menimbulkan kecemasan: bagaimana nasib tanah pertanian kelak? Bagaimana sumber pakan ternak jika tanah dikeruk? Bagaimana masa depan anak cucu jika ruang hidup dirampas?

Di tengah situasi seperti itu, pada awal tahun 2023, di Desa Sumbermulyo, Pesanggaran, Banyuwangi, lima orang peternak mulai sering duduk bersama. Obrolan mereka sederhana, dilakukan sambil ngopi di teras rumah atau selepas memberi makan sapi. Namun, dari obrolan kecil itu lahir gagasan besar: bagaimana jika peternak tidak lagi tunduk pada tengkulak? Bagaimana kalau harga ditentukan oleh peternak sendiri, bukan orang luar yang hanya menghitung untung? Dari percakapan sederhana itulah berdiri sebuah kelompok yang diberi nama Kelompok Tani dan Ternak Lembu Mulyo.

Ikhtiar Melawan Eksploitasi

Selain berbicara ancaman ekstraksi sumber kehidupan berupa tambang. Masalah yang kronis dan menjadi ancaman bagi warga desa lainnya adalah jeratan tengkulak (blantik) dan jagal hewan. Bagi peternak sapi, menjual ternak bukanlah pilihan bebas. Mereka hampir selalu berhadapan dengan tengkulak dan jagal yang kerap memonopoli harga. Tengkulak menghargai sapi sekadar tampak mata saja, besar-kecil, gemuk-kurus, tidak ada ukuran jelas atau rumus pasti. Pun demikian, harga seringkali diputuskan sepihak tanpa pelibatan peternak.

Banyak cerita pahit yang mereka simpan. Salah satunya, seorang peternak yang membeli sapi seharga Rp12 juta dan dirawat sepenuh tenaga selama setahun. Ketika butuh dana dan harus menjual hewan ternaknya harga yang ditawarkan tetap Rp12 juta. Tidak ada tambahan nilai untuk kerja keras satu tahun penuh. Kisah lain datang dari seorang peternak yang membeli sapi seharga Rp 22,5 juta dan dirawat selama delapan bulan, tetapi ketika dijual hanya dihargai Rp 19 juta. Alasan yang diberikan tengkulak klise: “harga daging sapi sedang turun”. Padahal, harga daging di pasar tetap stabil. “Seperti jerih payah kami tak ada artinya,” jelas seorang anggota.

Mengupayakan Perubahan

Perubahan besar pertama yang dilakukan Kelompok Lembu Mulyo adalah penentuan harga sapi. Mereka tidak lagi menerima taksiran harga tengkulak, melainkan memakai timbangan hidup. Berat sapi dihitung dengan jelas, lalu harga ditetapkan sesuai acuan harga eceran daging di pasar. Dengan begitu, harga jual menjadi lebih transparan dan adil. Pemilik sapi tidak lagi ditipu mata tengkulak, anggota dan konsumen pun bisa mendapatkan daging dengan harga lebih rendah daripada harga jagal.

Selain memperjuangkan harga, kelompok ini juga mulai merintis usaha olahan sapi. Mereka berencana membuat bakso dan berencana mengembangkannya pada berbagai produk lain seperti sambal goreng hati, rambak, hingga makanan beku. Dengan mengolah sendiri hasil ternak, nilai tambah sapi dapat meningkat dan peternak tidak lagi hanya bergantung pada penjualan sapi hidup.

Solidaritas menjadi kekuatan utama Lembu Mulyo. Setiap malam Kamis Legi, para anggota rutin berkumpul. Suasana rapat kerap dimulai dengan guyonan ringan dan cerita keseharian, kemudian segera bergeser menjadi diskusi serius: membicarakan soal pakan, kondisi kesehatan sapi, hingga strategi penjualan hasil ternak. Semua keputusan diambil bersama dan diikat dalam aturan kelompok lewat AD/ART yang mereka buat sendiri. Untuk kebutuhan pertemuan, setiap anggota menyumbang Rp 10 ribu per pertemuan sebagai iuran untuk konsumsi.

Hal yang membuat sistem ini bertahan adalah kejelasan bagi hasil. Pemilik ternak yang merawat ternaknya sendiri mendapat 75 persen hasil penjualan, sementara 25 persen masuk kas kelompok. Jika ada pemodal luar yang ikut menanam modal, pembagian diatur ulang: 65 persen untuk perawat ternak, 25 persen untuk pemodal, dan 10 persen untuk kelompok. Keputusan ini diambil melalui kesepakatan bersama, sehingga skema ini membuat semua pihak merasa adil, tidak ada yang dirugikan, dan kelompok tetap memiliki dana untuk tumbuh.  

Kas kelompok tidak hanya berhenti sebagai simpanan. Saat ini, dana yang terkumpul sudah dialokasikan untuk membeli sapi, dan sapi itu kini dikelola oleh salah satu anggota. Cara ini menjadi bukti bahwa uang kolektif bisa kembali menjadi kekuatan bersama, memperkuat ekonomi kelompok, dan tidak hanya mengendap di kotak iuran.

Mimpi besar kelompok ini sederhana dan kuat: mewujudkan kemandirian ekonomi peternak lokal. Mereka ingin membangun koperasi yang kokoh, memperluas usaha olahan sapi, dan menciptakan sistem perdagangan yang lebih adil. Mereka percaya, sapi bukan hanya soal perut, tetapi pula martabat dan hak untuk hidup layak di tanah sendiri.

Pada awal keberadaannya Lembu Mulyo dipandang sebelah mata. Ada yang pesimis, bahkan tak ayal cibiran. Banyak warga meragukan, benarkah lima orang ini bisa melawan dominasi tengkulak yang sudah bertahun-tahun menguasai pasar? Perlahan, gagasan itu mulai menarik perhatian. Mereka yang tadinya ragu, lama-lama melihat bahwa sistem yang dibangun kelompok ini lebih adil. Dari yang hanya lima orang penggagas, kini jumlah anggota bertambah hingga 53 orang anggota dan 60 persen di antaranya adalah peternak aktif, sisanya anggota yang tidak memiliki sapi menjadi penyokong keberlangsungan kelompok.

Kini, manfaat keberadaan Lembu Mulyo mulai terasa. Keuntungan penjualan sapi melalui kelompok lebih tinggi dibandingkan melalui tengkulak, harga daging olahan bisa lebih rendah dibandingkan harga jagal, dan para peternak punya posisi tawar yang lebih kuat. Meskipun, dampak ekonomi keluarga belum sepenuhnya besar karena unit usaha  baru dirintis dan masih berjalan sebagian, tetapi terdapat rasa percaya diri di hati para anggota. Paling tidak mereka tidak lagi merasa sendirian menghadapi pasar yang timpang.

Kolaborasi Menuju Perubahan

Selain mengandalkan kekuatan internal, Lembu Mulyo juga mendapat dukungan dari luar. Melalui Nusantara Fund, mereka menerima bantuan berupa mesin giling bakso, cetakan bakso, freezer, timbangan sapi hidup, alat perebah sapi, hingga gerobak bakso. Bagi mereka, alat-alat itu lebih daripada alat produksi, tetapi sesuatu yang kepadanya dicurahkan seluruh daya upaya kelangsungan hidup. Di sisi lain, bantuan dari pemerintah tidak pernah turun sama sekali, beberapa kali Kelompok Lembu Mulyo mengajukan bantuan ke pemerintah, tetapi gayung tak bersambut. 

Di tengah ancaman tambang emas yang terus membayangi kecamatan Pesanggaran, Lembu Mulyo berdiri sebagai simbol perlawanan. Mereka membuktikan bahwa mereka mampu melawan, bertahan, dan membangun harapan sendiri. Lembu Mulyo adalah contoh bahwa ekonomi lokal dapat diusahakan dan diupayakan. Bahwa warga dapat berdaya tanpa korporasi, justru mereka dapat memperbaiki nasib mereka melalui koperasi.

Melawan perusakan lingkungan dapat dimulai dari hal kecil, yakni mengusahakan kemandirian. Berawal dari sebuah obrolan kecil lima orang, kini lahir sebuah gerakan besar yang menjadi harapan puluhan keluarga. Lembu Mulyo bukan sekadar kelompok ternak, melainkan kebersamaan, dan harapan untuk masa depan yang lebih adil di pedesaan Banyuwangi.

 

Ditulis oleh: Ach Juli & Siti Mutmainah (Tim Advokasi WALHI Jatim)