Merdeka Dari Eksploitasi: Laut Jawa Timur Dikepung Krisis

Dari ujung Blambangan hingga Pacitan, bukan sekedar panorama atau bentang alam belaka, tetapi merupakan jalur kehidupan, sumber pangan, dan penopang ekonomi jutaan keluarga. Peringatan 17 Agustus selalu dihiasi pidato tentang kedaulatan, yang sudah termasuk menyombongkan poros maritim dunia, potensi ekonomi biru, dan komitmen menjaga kedaulatan laut. Sayangnya, dibalik narasi besar itu, realitas di lapangan berkata lain. Di pesisir Jawa Timur—dari Brondong, Ujung Pangkah, hingga Masalembu, nelayan kecil justru menghadapi tantangan yang semakin berat: kerusakan ekosistem, perebutan ruang tangkap, lemahnya pengawasan, dan kebijakan yang lebih berpihak pada industri besar, alih-alih mereka yang menjaga kelangsungan laut setiap hari.

Bila ditelisik lebih dalam, laut Jawa Timur tidak berhenti sebagai ruang hidup bagi beragam biota laut, tetapi juga menjadi urat nadi perekonomian wilayah pesisir. Ratusan desa nelayan di sepanjang pantai Jawa Timur hingga kepulauan-kepulauan kecil senantiasa bergantung pada hasil tangkapan harian untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menjaga keberlangsungan tradisi maritim yang diwariskan turun-temurun. Namun, perkembangan teknologi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan telah mengubah wajah perikanan tradisional. Trawl, cantrang, payang, bom ikan, dan potas yang dianggap efektif dalam memperoleh hasil tangkap melimpah, justru meninggalkan bekas kerusakan jangka panjang.

Terumbu karang yang menjadi rumah bagi ribuan spesies ikan rusak parah akibat ledakan bom dan racun potas. Alat tangkap yang menyeret dasar laut memusnahkan habitat penting seperti padang lamun dan area pemijahan ikan. Dampaknya nyata: terumbu karang hancur, padang lamun tergilas, dan habitat pemijahan ikan musnah. Stok ikan merosot tajam, siklus regenerasi lambat, dan nelayan tradisional terpaksa melaut lebih jauh dengan konsekuensi ongkos biaya yang membengkak.

Lantas, pada bulan kemerdekaan ini, apakah benar kita sudah merdeka? Nelayan? Merdeka bukan sekedar perayaan, tapi merdeka dari eksploitasi. 

Brondong, Lamongan: Pusat Perikanan yang Terkepung Cantrang

Selama lebih dari satu dekade, alat tangkap merusak seperti trawl, cantrang, bom ikan, dan potas menjadi ancaman utama bagi laut Jawa Timur. Brondong, Lamongan menjadi contoh paling jelas. Berdasarkan data terbaru dari Portal Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong didominasi oleh armada cantrang dengan jumlah 1.978-2.062 unit pada 2025 atau sekitar 70-75% dari total alat tangkap selama lebih dari satu dekade terakhir. Meski dibatasi secara regulasi, pengoperasian cantrang tetap masif tanpa pengawasan efektif. Kapal-kapal ini menggaruk dasar laut, merusak ekosistem, dan kerap masuk ke zona tangkapan nelayan kecil yang pada akhirnya memicu konflik ruang tangkap.

Dominasi ini juga menimbulkan dampak sosial-ekonomi. Pemilik cantrang dan awak kapalnya relatif stabil dalam hal pendapatan. Di sisi lain, nelayan tradisional kehilangan sebagian besar hasil tangkapan akibat dominasi cantrang. Belum lagi hasil tangkap cantrang yang merupakan ikan dasar laut seperti kuniran, manyung, petek dan kakap sering disertai hasil sampingan berkualitas rendah yang pada akhirnya dibuang atau dijual murah ke pabrik penepungan ikan. Praktek ini jelas menunjukkan pemborosan sumber daya yang besar. Dominasi lainnya muncul dari praktik transhipment, sebab  hasil tangkapan langsung dipindahkan ke kapal penampung di tengah laut tanpa melalui proses pelelangan dan pengawasan. Bahkan fasilitas lelang itu sendiri lebih banyak dinikmati oleh pemilik kapal besar, pun demikian dengan cold storage. Dengan kata lain, lemahnya pengawasan serta akses terhadap fasilitas yang tidak merata menjadikan para nelayan tradisional semakin terpinggirkan.

Ujung Pangkah, Gresik: Laut Dangkal yang Diperebutkan

Muara Bengawan Solo di Ujung Pangkah menjadi rumah bagi ratusan nelayan kecil pengguna bubu dan rawai. Wilayah dangkal ini seharusnya menjadi zona aman dari kapal besar dan alat tangkap yang menyeret dasar laut. Namun, kapal payang—dengan jaring panjang lebih dari satu kilometer—sering masuk kurang dari satu mil dari wilayah pantai, bahkan kadang tepat di lokasi nelayan tradisional memasang perangkap. Akibatnya, alat tangkap mereka rusak, tak ayal hilang. Kerugian yang diterima mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Kerugian ini bukan hanya soal alat, tetapi juga hilangnya potensi tangkapan di kemudian hari. Dalam situasi tertentu, para nelayan terpaksa meminjam uang untuk mengganti bubu dan rawai yang hilang. Kondisi yang membuat mereka terjerat utang sebelum musim tangkap berakhir. 

Tekanan ekologis memperburuk keadaan. Sedimentasi dari muara Bengawan Solo membawa lumpur dan material organik, membuat air keruh dan mengurangi jumlah ikan. Spesies yang biasanya bermigrasi mengikuti musim jadi sulit ditemukan, dan produktivitas tangkapan turun drastis. Para nelayan kehilangan terlalu banyak; wilayah mereka dan kondisi alam yang memburuk.

Bagi masyarakat Ujung Pangkah, laut bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga warisan budaya dan identitas. Ketika ruang laut semakin sempit, mereka tidak hanya kehilangan mata pencaharian, tetapi pula rasa memiliki terhadap laut yang selama ini menjadi bagian dari hidup mereka. Tanpa penegakan hukum yang tegas, perebutan ruang tangkap ini akan terus berulang, meninggalkan luka sosial yang sukar disembuhkan.

Masalembu, Sumenep: Surga Laut yang Terisolasi

Di tengah Laut Jawa, terdapat suatu wilayah dengan kekayaan alam luar biasa: terumbu karang, padang lamun, dan jalur migrasi ikan pelagis, wilayah itu bernama Masalembu. Namun, kekayaan alam bak surga itu kini berpotensi tergerus oleh masuknya kapal dengan menggunakan alat tangkap destruktif sejak 1982, kapal porsen, cantrang, bom ikan, dan potas. Alat-alat yang menyebabkan rusaknya ekosistem laut dan memaksa para nelayan lokal melaut lebih jauh ke tengah, bahkan hingga 30 mil dari garis pantai—lima hingga sepuluh kali lipat lebih jauh dibanding satu dekade lalu. Perjalanan yang semakin panjang ini berarti biaya bahan bakar lebih besar, meningkatnya risiko cuaca buruk, dan waktu melaut yang melelahkan. Dengan kata lain, terlalu banyak pengorbanan dan terlalu tinggi pertaruhan untuk hasil yang serba tak pasti.

Minimnya pengawasan memperburuk keadaan. Armada patroli jarang terlihat, sehingga kapal-kapal pelanggar leluasa beroperasi di sekitar perairan Masalembu. Situasi ini membuat nelayan setempat merasa seolah laut mereka “tidak bertuan”, di mana aturan tinggal di atas kertas dan pelanggaran menjadi pemandangan sehari-hari.

Masalah distribusi hasil tangkapan juga menjadi beban besar. Kapal pengangkut BBM resmi hanya datang sebulan sekali, membuat harga solar di tingkat nelayan melonjak dua kali lipat dari harga resmi. Akses BBM bersubsidi terbatas hanya untuk anggota kelompok nelayan tertentu. Tanpa cold storage, ikan harus segera dijual murah ke pengepul atau dibuang jika tak laku, “Sekarang melaut sehari kadang cuma bawa pulang seratus ribu, itu pun belum tentu cukup buat solar” ujar Pak Sanusi, nelayan Masalembu. Rantai distribusi yang panjang dan mahal membuat keuntungan nelayan semakin tipis—pendapatan harian yang dulu mencapai Rp500 ribu–Rp1 juta kini sering hanya sekitar Rp100 ribu, bahkan rugi sama sekali.

Akar Masalah yang Menggerus Laut Kita

Kisah dari Brondong, Ujung Pangkah, dan Masalembu memperlihatkan satu benang merah bahwa laut kita sedang berada di bawah tekanan ganda; manusia dan alam. Kerusakan ekosistem disebabkan oleh alat tangkap destruktif seperti cantrang, payang, trawl, bom ikan, dan potas yang menghancurkan terumbu karang, padang lamun, dan area pemijahan ikan. Stok ikan menurun, keanekaragaman hayati merosot, dan proses regenerasi ikan terganggu. Konflik horizontal pun tak terelakkan. Ketika kapal berkapasitas besar masuk ke wilayah tangkap nelayan kecil, perebutan ruang menjadi akar gesekan. Benturan di laut berubah menjadi permusuhan di darat, memecah solidari tas masyarakat pesisir.

Dalam aspek ekonomi, nelayan kecil berada di ujung tanduk. Hasil tangkapan menurun, biaya melaut naik, dan harga jual ikan seringkali dimonopoli tengkulak. Di daerah terpencil seperti Masalembu, akses BBM bersubsidi yang minim membuat biaya operasional berlipat ganda. Semua ini diperburuk oleh lemahnya pengawasan. Armada patroli terbatas untuk wilayah laut yang luas, dan inkonsistensi sanksi yang memberikan ruang bagi pelanggaran terus menerus berlangsung. Belum lagi tekanan lingkungan seperti sedimentasi, polusi plastik, limbah industri, dan perubahan iklim yang mempercepat degradasi laut.

 Kebijakan yang Abai Terhadap Akar Masalah

Hari kemerdekaan seharusnya menjadi momentum bagaimana Indonesia terbebas dari eksploitasi, bukan sekadar seremonial tahunan belaka. Secara kebijakan, perlindungan nelayan tradisional sudah diatur melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan dilanjutkan dalam Perda Nomor 10 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Timur. Regulasi ini memuat klausul perlindungan area penangkapan ikan tradisional dan pengakuan hukum adat. Namun, implementasinya masih lemah. Kedua perda tersebut cenderung menjadi dokumen administratif yang melegitimasi pengalokasian ruang laut untuk kepentingan industri dan korporasi melalui Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), alih-alih memastikan keberpihakan nyata pada nelayan kecil. Ketimpangan ini mengakibatkan tidak adanya zonasi tangkap yang tegas dan khusus bagi nelayan tradisional, sehingga wilayah tangkap mereka terus diserobot kapal besar yang pada ujungnya memicu konflik horizontal, memperparah kemiskinan struktural, dan mengikis kearifan lokal. Pengintegrasian tata ruang laut ke dalam tata ruang darat pasca UU Cipta Kerja juga berpotensi memarjinalkan perlindungan spesifik bagi wilayah tangkap tradisional.

Perubahan mendasar yang mutlak diperlukan adalah kebijakan zonasi dan pengawasan ketat dengan berbasis hak-hak nelayan tradisional dan prinsip keadilan ekologis. Perlindungan hukum tidak boleh berhenti pada naskah Perda, tetapi harus diwujudkan melalui implementasi lapangan yang berpihak pada masyarakat pesisir. Pembuatan kebijakan harus melibatkan nelayan dan komunitas lokal sebagai aktor utama, dengan memastikan area tangkap tradisional bebas dari intervensi industri yang merusak. Suara nelayan dari Brondong, Ujung Pangkah, dan Masalembu menyaru peringatan bahwa, jika laut rusak, maka itu berarti keruntuhan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pesisir. Laut yang bersih sejatinya adalah sumber pangan, pekerjaan, identitas, sekaligus benteng terakhir ketahanan pangan bangsa.

Penulis: Ach Juli (Staf khusus pemetaan) & Siti Mutmainah (Staf Advokasi)