Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) diperingati setiap 10 Agustus sebagai momentum penting untuk mengingatkan masyarakat akan peran vital alam dalam kehidupan manusia. Penetapan HKAN diatur melalui Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menegaskan bahwa konservasi bukan sekadar pelestarian, tetapi juga bagian dari sistem penyangga kehidupan demi pembangunan berkelanjutan.
Upaya konservasi sebenarnya telah dikenal sejak masa kolonial Hindia-Belanda. Pada 1937, pemerintah kolonial membentuk Natuur Bescherming Afseling Vens Lands Flantatuin yang dipelopori oleh Dr. Sifjert Hendrik Koorders, seorang botanis asal Belanda. Langkah ini menandai awal formal perlindungan alam di Indonesia, meski pada waktu itu tujuannya masih sangat dipengaruhi kepentingan kolonial.
Kini, lebih dari delapan dekade sejak gagasan itu lahir dan hampir dua dekade sejak HKAN ditetapkan, realitas menunjukkan jurang besar antara tujuan konservasi dan kondisi di lapangan. Peringatan tahunan HKAN semestinya menjadi alarm kolektif untuk memperkuat perlindungan alam. Namun, kondisi di Jawa Timur justru menunjukkan arah yang mengkhawatirkan: hutan semakin berkurang, bencana ekologi meningkat, dan masyarakat yang hidup di wilayah konservasi seringkali terpinggirkan.
Kerusakan Hutan dan Dampak Ekologis di Jawa Timur
Deforestasi di Pulau Jawa berlangsung masif dalam dua dekade terakhir. Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, periode 2000–2017, deforestasi di Pulau Jawa mencapai 2.050.645 hektare dengan laju 125.460 hektare per tahun. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas kawasan hutan di Pulau Jawa kini hanya sekitar 24% dari total daratan, dan hanya 19% di antaranya yang benar-benar berupa tutupan hutan. Sisanya berupa kebun raya atau taman keanekaragaman hayati yang memiliki fungsi terbatas.
Kondisi ini berdampak langsung pada ekosistem dan manusia. Hilangnya tutupan hutan memicu krisis air, banjir, tanah longsor, dan konflik satwa. Secara sosial, wilayah sekitar hutan di Pulau Jawa dihuni oleh masyarakat dengan tingkat kemiskinan tinggi: 60% rumah tangga memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare, yang membuat mereka rentan secara ekonomi dan ekologis.
Khusus di Jawa Timur, data Global Forest Watch menunjukkan bahwa pada 2001 terdapat 232.000 hektare hutan primer, mencakup 4,8% luas daratannya. Namun, antara 2001 hingga 2019, hilang 84.500 hektare tutupan pohon—setara penurunan 4,4% dan emisi 36,3 juta ton CO₂. Lima kabupaten/kota tercatat sebagai penyumbang terbesar kehilangan tutupan pohon: Banyuwangi (15.800 ha), Jember (12.200 ha), Malang (8.780 ha), Bondowoso (4.740 ha), dan Tulungagung (3.860 ha). Hilangnya hutan di daerah-daerah ini dipicu oleh alih fungsi lahan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta praktik pengelolaan yang tidak sesuai aturan.
Kebakaran menjadi salah satu faktor signifikan. Data KLHK melalui sistem SiPongi mencatat bahwa hingga September 2024, Jawa Timur kehilangan 18.822 hektare hutan akibat karhutla, menempati posisi ketiga nasional setelah Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Selain itu, 227 hektare hutan lindung juga hilang pada tahun yang sama.
Dampaknya bukan hanya ekologis, tapi juga sosial. WALHI Jawa Timur menyoroti tiga ancaman utama. Pertama, krisis air bersih akibat privatisasi mata air, yang memutus akses masyarakat lokal terhadap sumber penghidupan mereka. Banyak komunitas di sekitar wilayah konservasi kehilangan hak atas air yang selama ini menopang kehidupan mereka.
Kedua, hilangnya habitat satwa yang berujung pada menurunnya keanekaragaman hayati. Kehilangan kawasan hutan berarti hilangnya rumah bagi berbagai spesies, memicu konflik satwa-manusia, dan mempercepat kepunahan lokal.
Ketiga yakni hilangnya kedaulatan warga , ketimpangan semakin tajam, warga di sekitar kawasan hutan maupun mereka yang berada di sekitar area konservasi seringkali tidak berdaya dan berdaulat. Mereka tidak punya pilihan, sehingga seringkali kehilangan akses, pengetahuan lokal dan pengaturan versi mereka.
Kebijakan, Masalah, dan Tawaran Perubahan
Kerusakan alam di Jawa Timur tidak hanya dipicu oleh faktor lapangan, tetapi juga kebijakan yang lemah. Dalam Policy BriefEksekutif Nasional WALHI, terdapat delapan catatan krusial terkait RUU Perubahan UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Tiga poin paling mendesak adalah: paradigma konservasi yang belum berbasis Hak Asasi Manusia (HAM), ketiadaan pengaturan pemulihan ekosistem secara menyeluruh, dan proses legislasi yang minim transparansi serta partisipasi publik.
Salah satu kritik terbesar adalah tidak diakomodirnya peran masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan konservasi. Padahal, laporan Food and Agriculture Organization (FAO) dan Fund for the Development of the Indigenous Peoples of Latin America and the Caribbean (FILAC) “Forest Governance by Indigenous Tribal People” menyebutkan bahwa masyarakat lokal adalah pengelola alam yang efektif. Ketika mereka diabaikan, yang muncul adalah konflik tenurial di berbagai daerah. Masyarakat sekitar hutan di seluruh Jawa Timur, misalnya, sering mengalami ketidakpastian status lahan dan akses, meskipun telah hidup dan bergantung pada hutan selama berpuluh tahun. Penetapan kawasan hutan secara sepihak tanpa pelibatan masyarakat lokal hanya memperpanjang konflik vertikal maupun horizontal.
Persoalan lain adalah lemahnya regulasi pemulihan ekosistem. Kasus penyusutan mangrove di Surabaya menjadi contoh jelas. Luas mangrove di kota ini turun dari 3.300 hektare pada 1978 menjadi 2.504 hektare pada 2020, dan kini diperkirakan hanya tersisa 1.500–2.000 hektare. Penyebabnya adalah alih fungsi lahan menjadi permukiman dan industri, serta penerbitan izin pembangunan yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi jangka pendek dibanding keberlanjutan lingkungan.
Tawaran perubahan jelas: konservasi tidak bisa lagi dijalankan sebagai formalitas administratif. Ia harus mengakui hak, peran, dan pengetahuan masyarakat lokal yang telah terbukti menjaga alam selama berabad-abad. Prinsip keterbukaan, partisipasi publik, dan keadilan ekologis harus menjadi fondasi kebijakan. Penetapan kawasan konservasi yang dilakukan secara sentralistik perlu diganti dengan mekanisme berbasis komunitas, yang memastikan bahwa perlindungan alam berjalan seiring dengan perlindungan hak asasi manusia.
Peringatan HKAN tidak boleh berhenti pada seremonial atau kampanye tahunan. Momentum ini harus diubah menjadi gerakan bersama yang menghubungkan konservasi alam dengan demokratisasi pengelolaan sumber daya, serta menjamin keberlanjutan hidup masyarakat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem tersebut.
Penyusun: Nabila Putri (Staf Program) dan Pradipta Indra Ariono (Manajer Advokasi) WALHI Jawa Timur