Surabaya, 17 Juli 2025
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur menyampaikan keprihatinan dan kemarahan atas insiden intimidasi dan kekerasan terhadap warga dan aktivis lingkungan di Ternate, Maluku Utara, dalam rangkaian pemutaran film dokumenter “Yang Mengalir di Kawasi” produksi TV Tempo.
Pada Senin, 14 Juli 2025, Koalisi Warga Kawasi untuk Keadilan Ekologis melakukan aksi damai dalam pemutaran film tersebut di Studio XXI, Jatiland Mall, Ternate. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Yang Mengalir di Kawasi adalah Malapetaka” sebagai bentuk kritik terhadap narasi film yang tidak mewakili kenyataan hidup warga Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan.
Film dokumenter tersebut telah gagal merepresentasikan kerusakan lingkungan dan penderitaan warga akibat aktivitas industri ekstraktif yang difasilitasi negara dan korporasi.
Namun, aksi damai tersebut dibalas dengan tindakan intimidatif. Pada malam harinya sekitar pukul 23.45 WIT, lima orang intel Brimob Polda Maluku Utara mendatangi Kantor WALHI Maluku Utara tanpa surat resmi dan di luar jam kerja.
Perdebatan terjadi karena teman-teman WALHI Maluku Utara menolak menerima mereka pada waktu yang tidak pantas. Kedatangan ini tidak dapat dipisahkan dari upaya pembungkaman dan tekanan psikologis pasca protes publik yang dilakukan sebelumnya.
Keesokan harinya, 15 Juli 2025, pemutaran film bertema serupa bertajuk “Ngomi O Obi” digelar di Gedung Rektorat Universitas Khairun, Ternate. Akses terhadap ruang diskusi ditutup ketat. Puluhan aparat dan intel dikerahkan untuk mengamankan kegiatan, sementara warga Kawasi dan WALHI Maluku Utara dilarang masuk.
Aksi protes mahasiswa dibubarkan secara paksa. Seorang mahasiswa mengalami kekerasan saat membentangkan poster, dengan kemeja yang terlepas dan luka di bahu kiri akibat ditarik paksa oleh aparat.
Peristiwa ini merupakan bentuk nyata pelecehan terhadap hak konstitusional warga negara. Negara yang seharusnya menjamin kebebasan berpendapat dan hak atas lingkungan hidup yang sehat, justru menjadi aktor represi terhadap warga yang memperjuangkan hak tersebut.
Tindakan aparat keamanan ini bertentangan dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dipidana atau digugat secara perdata. Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 secara eksplisit juga mengatur tentang perlindungan hukum bagi pembela lingkungan.
Lebih jauh lagi, tindakan ini melanggar hak dasar yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dalam konteks hukum internasional, hak atas kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat sebagaimana dijamin oleh Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), merupakan bagian tak terpisahkan dari perlindungan hak asasi manusia.
WALHI Jawa Timur menyatakan solidaritas penuh kepada warga Kawasi dan WALHI Maluku Utara. Kami mengecam keras seluruh bentuk intimidasi, pembatasan, dan kekerasan terhadap aktivis lingkungan dan warga yang menyampaikan kritik.
Aparat keamanan, dalam hal ini Brimob Polda Maluku Utara, harus menghentikan praktik-praktik represif yang mencederai demokrasi.
Kapolri dan Kapolda Maluku Utara wajib bertanggung jawab atas tindakan personelnya dan memastikan perlindungan terhadap masyarakat sipil. Kami juga mendesak Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan dan memberi perlindungan kepada para korban kekerasan.
WALHI Jawa Timur juga menyerukan kepada media dan lembaga penyiaran untuk menjunjung tinggi etika jurnalistik dan keberpihakan pada suara warga terdampak dalam setiap produksi film atau laporan.
Perguruan tinggi, sebagai institusi yang seharusnya menjamin kebebasan akademik dan berpikir kritis, tidak boleh tunduk pada tekanan kekuasaan. Alih-alih menjadi ruang terbuka untuk diskusi, kampus telah berubah menjadi ruang senyap dan pengawasan.
Perjuangan warga Kawasi adalah perjuangan mempertahankan kehidupan, mempertahankan tanah dan laut, mempertahankan keberlanjutan untuk generasi mendatang.
Penolakan terhadap film bukan sekadar persoalan narasi, melainkan soal kejujuran atas kenyataan hidup yang mereka alami setiap hari.
Menyuarakan penderitaan bukan kejahatan. Menuntut keadilan bukan makar. Maka kami tegaskan: keberpihakan kepada warga adalah keberpihakan pada masa depan yang adil dan ekologis. Negara wajib melindungi, bukan mengintimidasi.