Rokat Tase’ : Upaya Komunitas Nelayan Masalembu dalam Menjaga Ekosistem Laut

Senin, 14 Juli 2025, ratusan nelayan di Masalembu yang tergabung dalam organisasi nelayan Rawatan Samudera menggelar rokat tase’ (Indonesia: petik laut) di pesisir Masalembu.

Kegiatan ini juga dihadiri oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (JMP3K) di antaranya; Kesatuan Nelayan Masalembu (KNM), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) DPW Jawa Timur, Trend Asia dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

Rokat tase’ tidak sebatas tradisi saja, tetapi juga sebagai ungkapan syukur atas hasil laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat pesisir, tempat menyambung tali silaturahmi antar sesama, sekaligus memanjatkan do’a bersama, memohon perlindungan dan keselamatan di laut kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tradisi rokat tase’ juga menjadi sarana nelayan Masalembu dalam menjaga ekosistem laut yang menjadi ruang hidupnya. Rokat tase’ sejak lama diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun, dan terus dirawat setiap generasinya hingga sekarang.

Tradisi ini diawali dengan pengajian di setiap pangkalan selama tiga hari berturut-turut sebelum memasuki acara puncak. Istighosah dan do’a bersama juga dilakukan sebagai bagian dari rangkaian acara.

Setelahnya, dilanjutkan dengan pertunjukan musik dan tarian tong-tong untuk menyambut tamu undangan yang berasal dari berbagai kelompok nelayan di Kepulauan Masalembu.

Dalam Rokat tase’ Ibu-ibu dan Bapak-bapak, laki-laki dan perempuan berbagi peran bersama. Terutama para perempuan, beperan penting dalam menyiapkan keperluan selama kegiatan berlangsung, seperti membuat jajanan tradisional untuk digunakan sebagai sesaji, lalu mengikuti pawai di laut untuk larung sesaji.

Bahkan, perempuan mempunyai peran vital yang hanya bisa dilakukan olehnya, yakni penataan sesajen dan memanjatkan do’a di sekitar sampan sesaji sebelum dilakukan pelarungan. Hal ini menegaskan pentingnya peran perempuan dalam tradisi ini.

Pada pergelaran kali ini, perwakilan masyarakat dari LPMN Rawatan Samudra menyampaikan satu pesan penting bahwa laut adalah sumber kehidupan, sehingga harus dilindungi dan dijaga sepenuhnya dari segala bentuk pengrusakan.

Saat ini, yang menjadi tantangan nelayan Masalembu adalah hampir setiap tahun, hasil tangkapan cenderung menurun. Penyebab utama kerusakan di perairan Masalembu adalah berasal dari aktivitas kapal yang menerapkan metode penangkapan ikan dengan alat tangkap yang merusak, seperti penggunaan cantrang, potas ikan, dan praktik bom ikan.

Para nelayan kapal perusak itu menangkap ikan-ikan secara serampangan, sehingga merusak terumbu karang yang menjadi habitat alaminya. Penggunaan alat tangkap yang merusak menjadi ancaman utama bagi nelayan Masalembu yang mayoritas merupakan nelayan tradisional.

Dampak secara sosial yang tampak adalah terjadi banyak konflik antar nelayan tradisional dan nelayan dengan menggunakan alat tangkap yang merusak.

Di tahun 2022, terjadi insiden yang melibatkan sebuah kapal pengangkut batu bara mengalami kecelakaan dan mencemari perairan Masalembo. Satu tahun setelahnya,  terjadi insiden serupa juga mencemari perairan sekitar Masalembo.

Masalah lain yakni, persoalan mengenai jalur lintas kapal besar yang tidak sesuai aturan. Kehadiran kapal-kapal besar menjadi ancaman serius bagi kelangsungan perairan Masalembo dan nelayan tradisional.

Kemudian, persoalan lainnya yang saat ini semakin mengkhawatirkan adalah peningkatan suhu laut akibat krisis iklim juga menyebabkan terumbu karang mengalami pemutihan (coral bleaching) yang mengganggu reproduksi ikan, juga berpotensi menyebabkan erosi daratan yang meningkatkan risiko abrasi dan ancaman terjadinya banjir rob, hingga membuat kehidupan nelayan semakin rentan.

Ketidakpastian cuaca juga menyebabkan nelayan kesulitan memprediksi musim tangkap dan meningkatkan risiko kecelakaan kerja.

Sebagian nelayan Masalembu juga mengeluhkan hasil tangkapan mereka setiap tahunnya cenderung menurun secara drastis. Dahulu, di satu musim, nelayan Masalembu dari hasil tangkapannya bisa menghasilkan 1 ton per hari, tetapi, saat ini hanya mampu menghasilkan ratusan kilogram per hari di musim yang sama.

Tidak hanya penghasilan nelayan yang semakin menurun, wilayah tangkap mereka pun semakin jauh dari bibir pantai. Kondisi ini disebabkan karena kerusakan ekosistem laut, terutama akibat penggunaan alat tangkap yang merusak, rencana zonasi wilayah yang tidak jelas, serta pergerakan kapal-kapal besar yang tidak sesuai prosedur.

Artinya, kerusakan ekosistem laut tidak hanya berdampak pada sektor perikanan saja, tetapi juga menjadi kerusakan bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat masalembu, baik dari sisi sosial, ekonomi dan budaya.

Dalam konteks ini, rokat tase’ tidak hanya terhenti pada tradisi nelayan Masalembu saja, tetapi menjadi kesempatan bagi koalisi JMP3K untuk melakukan peningkatan kesadaran masyarakat nelayan tentang perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari aktivitas ekstraktivisme yang merusak ekosistem.