Ini adalah seri penutup dari serangkaian tulisan untuk hari lingkungan hidup sedunia. Di mana kita telah melihat dan membaca bagaimana krisis terus diakselerasi melalui kebijakan dan praktik merusak. Mulai dari akar kerusakan, tumpang tindih tata ruang, polusi dan pencemaran, sampai solusi palsu yang ditawarkan. Artinya kita saat ini benar-benar ditantang dan didorong untuk bersuara serta bergerak. Maka di artikel pamungkas ini, kami ingin menyuarakan sekaligus mengajak semua, untuk bersuara dan bergerak menjaga bumi. Saat ini kita hanya meminjam bumi dari generasi depan, sehingga harus mengembalikannya dengan keadaan baik.
Gemah ripah loh jinawi merupakan semboyan yang pas untuk menggambarkan tingkat kesuburan di tanah Jawa. Semboyan tersebut digaungkan cukup lama turun temurun antar generasi. Namun, penggambaran tersebut kini mulai luntur karena banyaknya ekstraktivisme yang menggerus kesuburan dan mengakibatkan krisis iklim bertambah parah. Petani, nelayan, hingga masyarakat adat mulai merasakan dampak nyata krisis iklim, seperti deforestasi, meningkatnya timbulan sampah di hampir tiap daerah, privatisasi mata air yang mengakibatkan kelangkaan air, juga masalah-masalah lain yang terus muncul.
Hampir di tiap wilayah tidak lepas dari ancaman konsesi tambang mulai dari pesisir utara Jawa hingga pesisir selatan Jawa. Apalagi dengan adanya PERDA Tata Ruang dan Tata Wilayah Provinsi Jawa Timur yang semakin memperbesar tumpang tindih kawasan. Dampaknya adalah perluasan ruang kerusakan, contohnya perluasan wilayah pertambangan di kawasan hutan atau pangan, baik yang legal maupun ilegal. Di beberapa wilayah seperti Banyuwangi terdapat tambang emas Tumpang Pitu, Tambang batuan di Gondang, Mojokerto, dan Tambang emas di Trenggalek.
Selain masalah tambang, masalah seperti sampah juga perlu menjadi perhatian serius. Pada tahun 2023, Jawa Timur menempati urutan kedua penghasil sampah terbanyak di Indonesia dengan jumlah timbulan sampah yang dihasilkan sebanyak 5, 76 juta ton. Hal tersebut menjadi masalah serius karena banyak wilayah yang belum memiliki fasilitas pengelolaan sampah. Artinya, timbulan sampah yang dihasilkan banyak dibuang ke sungai, dihanyutkan ke laut, dibakar, maupun ditimbun. Tumpang tindih tata ruang, kerusakan hutan hingga masifnya tambang sampai gagalnya pengelolaan sampah, semuanya memiliki dampak buruk yang mengarah pada kerusakan lingkungan.
Antara Suara dan Kuasa
Warga mendapatkan dampaknya, pemodal mendapatkan untungnya. Sebagian warga diam, bukan karena tidak peduli terhadap kampung halamannya, tetapi karena mereka takut. Dan ketakutan itu tidak datang begitu saja. Ia tumbuh di ruang sosial yang dibentuk, dipelihara, bahkan disebarkan untuk dijadikan alat kekuasaan.
Lihat saja Bu Paini, seorang ibu dan petani yang juga aktivis lingkungan di Banyuwangi. Ia berdiri paling depan menolak tambang emas di Tumpang Pitu, salah satu kawasan hutan lindung yang dialihfungsikan untuk eksploitasi tambang. Tapi setelah bersuara, ia justru dijerat sebagai tersangka karena dianggap “menghalang-halangi kegiatan usaha tambang berizin”, menggunakan Pasal 162 UU Minerba. Ironisnya, pasal itu menjerat Bu Paini hanya sehari setelah revisi UU Minerba disahkan. Suara penolakan direspons dengan alat hukum yang lentur tapi mematikan: pasal karet.
Bu Paini bukan satu-satunya. Warga Bojonegoro, Lumajang, hingga Pakel juga mengalami hal serupa. Petani dan masyarakat lokal yang memperjuangkan ruang hidupnya justru dilabeli “tidak pro pembangunan”, dianggap pengganggu. Padahal, yang mereka perjuangkan adalah air, tanah, dan hidup.
Suara mereka dibungkam secara sistematis. Penelitian dari berbagai jaringan masyarakat sipil dan jurnal akademik menunjukkan bahwa aktivis lokal di sektor lingkungan cenderung memilih diam karena:
- Takut dikriminalisasi
Penelitian oleh Global Witness dan Environmental Justice Atlas mencatat meningkatnya penggunaan hukum sebagai senjata untuk membungkam aktivisme, dikenal sebagai judicial harassment atau strategic lawsuits against public participation (SLAPP). Pasal 162 UU Minerba di Indonesia adalah contoh nyata bagaimana undang-undang dipakai bukan untuk menegakkan keadilan, tapi untuk menakut-nakuti warga.
- Takut mengalami kekerasan fisik dan psikis
Dalam studi oleh Human Rights Watch dan laporan WALHI, warga yang aktif bersuara sering mengalami intimidasi, pengawasan, bahkan kekerasan langsung. Kasus almarhum Salim Kancil di Lumajang yang dibunuh karena menolak tambang pasir adalah bukti nyata bahwa nyawa bisa jadi taruhan dalam menyuarakan kebenaran.
- Ketakutan dipelihara oleh sistem sosial
Berdasarkan teori Spiral of Silence oleh Elisabeth Noelle-Neumann, masyarakat cenderung diam ketika pendapat mereka tidak populer atau dianggap menentang arus dominan. Ketika pemerintah, aparat, dan perusahaan berada di sisi yang sama, warga lebih memilih diam daripada disingkirkan dari komunitasnya sendiri.
Mengapa Kita Harus Bersuara?
Di tengah situasi lingkungan yang semakin memburuk, suara menjadi sesuatu yang sangat penting. Bersuara bukan semata tentang marah-marah atau protes, melainkan bentuk kepedulian terhadap kehidupan yang lebih luas, juga tentang merawat warisan hidup yang selama ini menopang kehidupan kita yakni air yang bersih, tanah yang subur, dan udara yang layak dihirup.
Suara-suara ini lahir dari kesadaran bahwa alam tidak bisa berbicara untuk dirinya sendiri. Maka, manusia yang peduli harus menjadi perpanjangan suaranya. Dalam banyak kasus, perubahan tidak datang dari kekuatan besar, tetapi dari suara-suara kecil yang secara terus-menerus dan tanpa lelah menyuarakan kebenaran.
Banyak perubahan yang bermula dari keberanian untuk bersuara. Di Jawa Timur keberanian untuk bersuara telah tumbuh menjadi kekuatan yang nyata dalam memperjuangkan keadilan ekologis. Di banyak tempat, suara masyarakat muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap berbagai ancaman terhadap ruang hidup mereka–mulai dari tambang yang merusak kawasan lindung dan sumber air, konflik agraria yang tak kunjung selesai, hingga proyek infrastruktur dan industri yang mengabaikan keselamatan dan hak masyarakat.
Perlawanan ini tidak datang dari kekuatan besar, tapi dari petani yang menjaga sawahnya dan masyarakat yang menolak ruang hidupnya dikorbankan atas nama pembangunan. Lewat advokasi, pengorganisiran warga, hingga kampanye publik di berbagai ruang, tumbuh kesadaran bahwa menjaga lingkungan bukan hanya tugas segelintir orang.
Bersuara bukan hanya berarti melawan lewat demonstrasi dan konfrontasi terbuka. Menurut catatan dari Siti Maimunah dkk (2025) berjudul “Perempuan Menantang Ekstraktivisme Transisi Energi” dalam konteks krisis ekologis akibat proyek transisi energi, perempuan justru menunjukkan bentuk perlawanan sehari-hari yang tak selalu tampak di permukaan.
Sebagai contoh, Suhartini di Sanga-Sanga yang menolak uang kompensasi pencemaran dan terus bersuara meski distigma sebagai provokator. Atau perempuan Poco Leok yang membentuk kebun komunal, menanam di lahan tidur dan berjaga dengan memukul tiang listrik saat aparat masuk atau perusahaan masuk kampung. Mereka ini tidak berteriak di jalan, tetapi melakukan perlawanan dalam bentuk merawat dan bertahan menjaga ruang hidup dengan penuh kesadaran dan keberanian. Di Paiton, perlawanan bahkan tidak tampak terus terang. Ibu-ibu di sana melawan dengan memakai masker, melarang cucunya keluar di pagi hari, bahkan celetukan-celetukan.
Suara yang Terorganisir, Bukan Teriakan Liar
Melihat kondisi lingkungan di Jawa Timur yang semakin parah, masyarakat yang tinggal di wilayah terdampak merupakan pihak yang paling rawan terkena dampak langsung kerusakan lingkungan maupun resiko mengalami represi dan kriminalisasi.
Dalam konteks masyarakat tertindas yang hidup dalam wilayah konflik, konsep political opportunity structure yang dirumuskan Douglas McAdam pada tahun 1982 dalam bukunya berjudul “Political Process and The Development of Black insurgency 1930-1970” menjadi relevan untuk memahami bagaimana aksi kolektif dapat tumbuh tidak sekadar sebagai bentuk perlawanan spontan, tetapi sebagai suara yang terorganisir.
Artinya, perjuangan masyarakat tertindas dalam menyuarakan hak-haknya dan memperjuangkan keadilan ekologis tidak dilakukan secara acak atau liar, melainkan melalui strategi yang terencana, berbasis data, dan memanfaatkan ruang-ruang politik yang tersedia—sekalipun sempit atau terbatas.
Maka potret perjuangan masyarakat dalam melindungi hak-haknya tercermin dari berbagai komunitas lokal, seperti Rukun Tani Sumberjo Pakel (RTSP) dan warga sekitar Gunung Tumpang Pitu yang menolak tambang emas PT. Bumi Suksesindo yang merupakan anak perusahaan Merdeka Cooper Gold Tbk. Aliansi Rakyat Trenggalek (ART) yang juga konsisten menolak pembangunan tambang emas oleh PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang kini bernama Far East Gold.
Di Mojokerto, Paguyuban Srikandi Peduli Lingkungan Majapahit (PSPLM) yang aktif menentang tambang ilegal di Kecamatan Gondang. Terbaru Dewan Persatuan Kiai-Santri dan rakyat (DEWAN PAKAR) yang menolak lokasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Guluk-Guluk dan Desa Ketawang Laok, Sumenep.
Meskipun konflik di beberapa wilayah masih berlangsung hingga saat ini, gerakan kolektif yang terbentuk membuktikan bahwa perubahan dapat dilakukan dari aksi-aksi kecil yang terorganisir. Hal tersebut dapat dilihat dengan munculnya jaringan dari luar wilayah konflik hingga adanya aksi-aksi solidaritas yang terus digaungkan sehingga isu tidak tenggelam.
Jangan Tunggu Tercemar
Konflik agraria yang terjadi di Jawa Timur tidak bisa diprediksi kapan akan berakhir, juga tidak menutup kemungkinan bisa terjadi di wilayah lain. Tentunya sebagai masyarakat sipil, kita tidak ingin lingkungan tempat tinggal kita dirusak dan dieksploitasi untuk kepentingan oligarki.
Belajar dari kisah Chico Mendes yang memperjuangkan hutan hujan dan hak-hak masyarakat adat di Brasil, atau cerita-cerita Vandana Shiva yang memperjuangkan ketahanan pangan dan keadilan ekologi di India, Rukun Tani Sumberejo Pakel yang masih berhadapan dengan reklaiming tanah perkebunan, dan aksi-aksi perlawanan lain yang dimulai dari tapak ternyata bisa membawa perubahan besar.
Dalam situasi krisis ekologis hari ini, tak perlu menjadi ahli atau aktivis untuk mulai peduli. Kita bisa memulai dari hal-hal kecil: menyuarakan keresahan yang terjadi sekecil bau sampah akibat pembuangan liar, banjir akibat penyumbatan selokan, maupun cuaca panas akibat penebangan pohon di pinggir jalan. Keresahan-keresahan yang kita suarakan sekecil apapun tentunya akan membawa perubahan tanpa menunggu bencana lebih besar datang.