“Ini adalah seri ke dua dari rangkaian catatan hari lingkungan sedunia. Setelah membahas dan mengulik soal transisi energi yang stagnan serta sarat solusi palus. Kita mengajak pembaca untuk melihat bagaimana kerusakan lingkungan bukan suatu narasi tunggal tapi sesuatu yang interkoneksi. Sama halnya munculnya solusi palsu, adalah karena faktor politis yang berpadu dengan ketidakcakapan dalam membaca kebijakan, serta ekses terhadap lingkungan”
Berbicara tentang bencana, seringkali kita terjebak dalam anggapan bahwa bencana adalah bentuk kehendak atau balas dendam alam. Padahal, yang kita sebut sebagai bencana pada dasarnya merupakan reaksi dari serangkaian aktivitas manusia terhadap alam itu sendiri. Hubungan antara manusia dan alam selalu berlangsung dalam pola sebab-akibat. Manusia memengaruhi alam, dan alam pun memberi respons balik. Namun kini, hubungan itu menjadi liar—kalau boleh meminjam istilah ‘Gen Z’. Manusia dan alam terjerat dalam skema penundukan atas nama kepentingan ekonomi.
Berdasarkan data BPBD Provinsi Jawa Timur, hingga 30 April 2025 telah terjadi 161 bencana, terdiri dari 68 kejadian angin kencang, 4 puting beliung, 74 banjir, 4 banjir bandang, 3 gabungan banjir dan tanah longsor, 1 gerakan tanah, serta 7 tanah longsor dengan intensitas sedang hingga tinggi.
Selama empat bulan pertama tahun ini saja, bencana di Jawa Timur telah merenggut 25 korban jiwa, menyebabkan 23 orang luka-luka, merusak 1.346 unit rumah, dan berdampak pada 24.559 kepala keluarga. Jika dilihat dari tren sejak 2020 hingga 2024, jumlah kejadian bencana terus mengalami kenaikan signifikan, yang seharusnya menjadi alarm keras akan ancaman terhadap keselamatan hidup masyarakat. Bencana yang dimaksud meliputi banjir, kekeringan, gempa bumi, kebakaran hutan, dan sebagainya.
Eksploitasi Tiada Henti
Tindakan eksploitasi terhadap alam adalah bentuk perampasan sumber daya, dilakukan manusia demi memenuhi gaya hidup konsumtif. Salah satu contohnya adalah perampasan kawasan hutan sebagai ekosistem penyangga kehidupan. Berdasarkan SK Menhut No. 395/Menhut-II/2011, Jawa Timur tercatat memiliki kawasan hutan seluas 1.361.146 hektar—terluas di Pulau Jawa. Namun menurut Global Forest Watch, sepanjang 2023, Jawa Timur kehilangan 189 hektar hutan primer, yang setara dengan emisi 125 ribu ton CO₂. Dalam rentang waktu 2002–2023, total kehilangan hutan primer basah mencapai 10,7 ribu hektar—sekitar 11% dari total kehilangan tutupan pohon di wilayah ini.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui SiPongi menyebutkan bahwa hingga September 2024, luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia mencapai 283.620 hektar. Jawa Timur menempati posisi ketiga dengan luasan kebakaran mencapai 18.822 hektar, setelah Nusa Tenggara Timur (93.572 ha) dan Nusa Tenggara Barat (34.430 ha).
Hilangnya kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan tentu membawa konsekuensi besar. Satwa liar kehilangan habitat dan terancam punah, sementara manusia menghadapi bencana yang semakin sering dan mematikan. Salah satu dampak langsung dari kerusakan hutan adalah meningkatnya banjir. Berdasarkan data dari situs SmartPB BPBD Jawa Timur, tercatat 717 kejadian banjir sejak 2024 hingga awal 2025: 496 dalam kategori risiko rendah, 191 sedang, dan 30 tinggi.
Bencana Datang Menyapa
Masalah banjir harus dibaca dengan kacamata yang lebih menyeluruh. Bukan hujan yang menjadi penyebab utama, melainkan hilangnya area resapan air di wilayah hulu, termasuk kawasan hutan sebagai catchment area. Deforestasi dan alih fungsi lahan telah mengganggu siklus hidrologi. Curah hujan yang seharusnya diserap oleh hutan di dataran tinggi kini langsung turun ke dataran rendah tanpa hambatan, menyebabkan banjir besar.
Hal yang sama juga terjadi di wilayah perkotaan. Kawasan resapan air makin sempit akibat pembangunan yang tak terkendali, memperparah potensi banjir dan memicu kekeringan. Hingga Oktober 2024, 27 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur menetapkan status darurat kekeringan. Jumlah desa yang terdampak bervariasi, dari puluhan hingga ratusan. Di antaranya: Sampang (102 desa), Ponorogo (9 dusun), Trenggalek (24 desa), Lamongan (12 desa dan 19 dusun), Pamekasan (10 kecamatan, 269 dusun), Malang (20 desa), dan Bojonegoro (sekitar 105 titik).
Tabel Intensitas Bencana di Jawa Timur
Intensitas | 2020 | 2021 | 2022 | 2023 | 2024 |
Rendah | 1.451 | 1.837 | 4.406 | 5.508 | 5.214 |
Sedang | 164 | 212 | 224 | 99 | 345 |
Tinggi | 36 | 40 | 20 | 19 | 48 |
TOTAL | 1.651 | 2.069 | 4.650 | 5.176 | 5.607 |
Di Mulyorejo, Surabaya, beberapa warga bahkan terpaksa mengkonsumsi air bercampur kaporit karena pencemaran Sungai Kalisari oleh limbah rumah tangga dan industri. Uji laboratorium menunjukkan tingkat pencemaran sungai ini masuk kategori level 4—sangat kotor dan tidak layak konsumsi tanpa pengolahan. Kondisi ini meningkatkan risiko penyakit seperti diare dan infeksi saluran pencernaan.
Sungai Brantas pun mengalami kondisi serupa. Temuan Ecoton pada 2024 mencatat ada 10 industri yang membuang limbah tanpa pengolahan ke sungai tersebut. Selain itu, sekitar 1,5 juta popok dibuang ke Sungai Brantas dan anak-anak sungainya setiap hari, menyebabkan 90% ikan di sana terkontaminasi mikroplastik.
Sebanyak 117 titik timbunan sampah plastik juga ditemukan dari Mlirip, Mojokerto hingga Bambe, Gresik. Sampah ini berasal dari 368 bangunan liar yang berdiri di bantaran sungai. Menurut KLHK (23 Desember 2019), kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas hulu dikategorikan “kurang baik” atau kritis. Di Kota Batu, tercatat 925 hektar kawasan hutan dan 1.899 hektar di luar kawasan hutan masuk kategori lahan kritis. Akibatnya, erosi di hulu DAS Brantas mencapai 2,268 ton per hektar per tahun—meningkat sekitar 300%.
Interkoneksi Bencana dengan Eksploitasi
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa bencana saling berkaitan. Deforestasi meningkatkan risiko banjir akibat hilangnya daerah resapan, diperparah oleh tata ruang yang tidak berpihak pada lingkungan. Deforestasi juga menyumbang emisi karbon yang memperparah krisis iklim, memicu kekeringan, dan menyebabkan krisis air bersih.
Namun, krisis air bersih bukan semata-mata akibat perubahan iklim. Privatisasi sumber mata air dan pencemaran sungai menjadi faktor lainnya. Limbah rumah tangga, industri, serta bangunan ilegal di DAS memperburuk kualitas air. Erosi yang tak terkendali ikut mempercepat proses banjir. Inilah yang kami maksud sebagai keterkaitan antar bencana—satu bencana dapat memicu bencana lainnya. Maka dari itu, memahami bencana harus dilihat dari hubungan sebab-akibatnya, bukan sekadar kejadian yang berdiri sendiri.
Pertanyaannya kemudian: siapa yang paling bertanggung jawab atas rentetan bencana ini, dan siapa yang memiliki kuasa untuk memperbaikinya?
Bencana tidak terjadi begitu saja. Ia merupakan konsekuensi dari eksploitasi manusia terhadap alam. Namun, menyalahkan “manusia” secara umum juga tidak cukup. Kita perlu melihat lebih dekat pada sistem yang memungkinkan kerusakan ini terjadi—misalnya, kebijakan yang longgar terhadap aktivitas tambang dan alih fungsi lahan. Dalam konteks Jawa Timur, tanggung jawab ini terletak pada Gubernur dan jajaran dinas terkait. Mereka adalah pihak yang paling mungkin dan paling bertanggung jawab dalam merancang ulang kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan.
Akhir kata, Jawa Timur kini berada di ambang batas sebagai lingkungan yang layak huni. Bencana yang meningkat dari tahun ke tahun tidak bisa kita anggap sebagai kejadian alami belaka, melainkan sinyal kerusakan sistemik akibat eksploitasi alam yang tak terkendali. Setiap bencana saling terkait dan membentuk rangkaian derita panjang—yang hanya bisa dihentikan dengan keberanian mengubah sistem dari akar.