Sidoarjo, 29 Mei 2025
Pada hari kamis 29 Mei 2025, menandai bahwa tragedi semburan lumpur panas Lapindo telah berumur 19 tahun. Merupakan hari pertama kali melubernya semburan lumpur di Kecamatan Porong, Sidoarjo. Peristiwa tersebut awalnya dianggap sebagai “fenomena alam” dan coba dikaitkan dengan gempa Yogyakarta. Bahkan sering pula disebut sebagai kegagalan teknologi, dan tidak diterapkannya prinsip best practice mining.
Tetapi, seiring berjalannya waktu, lumpur panas Lapindo terbukti sebagai bencana korporasi atau lebih luasnya dapat dikategorikan sebagai bencana ekologis. Karena terjadi perampasan hak hidup warga yang disebabkan oleh kelalaian korporasi ekstraktif dan pengabaian Negara terhadap pelanggaran tata ruang, hingga secara serampangan memberikan izin tambang.
Sampai saat ini, semburan lumpur panas belum berhenti sepenuhnya. Kawasan terdampak masih dikelilingi oleh tanggul-tanggul buatan, bau gas menyengat, dan sisa reruntuhan ruang hidup yang hilang. Sebanyak 45.000 jiwa kehilangan tempat tinggal dan 16 desa di tiga kecamatan—Porong, Jabon, dan Tanggulangin—terpaksa ditinggalkan.
Tentu dalam hal ini, WALHI Jawa Timur menegaskan bahwa tragedi Lapindo bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan bentuk nyata dari impunitas korporasi dan kegagalan negara dalam melindungi rakyat dan lingkungan hidup.
“Lapindo adalah simbol dari tata kelola sumber daya alam yang abai terhadap keselamatan manusia dan keberlanjutan ekologis. Hingga hari ini, tidak ada satu pun pihak korporasi yang benar-benar bertanggung jawab secara hukum. Negara justru hadir sebagai penyelamat modal, bukan pembela korban,” Wahyu Eka Styawan, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur.
Sejak 2006, warga korban lumpur telah berjuang tanpa henti—dari menuntut ganti rugi, menggelar aksi Sidoarjo, Surabaya hingga Jakarta. Dari bertemu calon presiden hingga calon gubernur. Beberapa korban sampai saat ini terus menyuarakan kebenaran perihal kejahatan Lapindo di hadapan publik. Namun perjuangan mereka terus dihadapkan pada ketidakadilan, pengabaian, dan upaya pembungkaman.
Tragedi Lapindo menjadi pengingat keras bahwa industri ekstraktif di Indonesia masih berlangsung dalam kerangka yang tidak demokratis, minim transparansi, dan tidak berpihak pada keselamatan rakyat. Jika pola ini terus dibiarkan, maka tragedi serupa sangat mungkin kembali terjadi di daerah lain dengan nama dan bentuk berbeda.
Maka, sebagai pesan pada peringatan 19 tahun tragedi Lapindo, WALHI Jawa Timur menyampaikan tuntutan sebagai berikut:
Menuntut pertanggungjawaban penuh dari korporasi atas seluruh dampak ekologis, sosial, dan ekonomi yang ditimbulkan, termasuk pemulihan lingkungan dan pemenuhan hak-hak korban secara menyeluruh.
Mendesak pemerintah untuk menghentikan praktik impunitas terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup, termasuk melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh proyek ekstraktif di Jawa Timur.
Mendorong penyusunan kebijakan tata kelola sumber daya alam berbasis keadilan ekologis dan hak rakyat, dengan memastikan partisipasi aktif warga dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Membangun solidaritas antar-komunitas terdampak industri ekstraktif, guna memperkuat gerakan rakyat melawan perampasan ruang hidup.
WALHI Jawa Timur percaya bahwa keadilan ekologis hanya bisa terwujud jika negara hadir untuk melindungi rakyat, bukan memfasilitasi korporasi. Tragedi Lapindo harus menjadi pelajaran penting bagi bangsa ini: bahwa keberadaan pembangunan yang mengabaikan keselamatan rakyat dan lingkungan hanya akan melahirkan bencana sosial ekologis.
Kontak Media:
Wahyu Eka Styawan
Email: wahyuekas@walhijatim.or.id
Telp: 082141265128IG/X: @walhijatim
Website: www.walhijatim.org