Dalam rangka memperingati Hari Bumi, pada Sabtu, 19 April 2025, sekitar 20 orang dari WALHI Jawa Timur bersama GUSDURian Surabaya, Amnesty Chapter UNAIR, Pemuda Kecamatan Tegalsari, LAMRI Surabaya, dan sejumlah peserta lainnya berkumpul untuk mengikuti kunjungan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo. Di tengah terik matahari yang menyengat, kami menggelar kegiatan bertajuk Earth Day “Benowo Landfill Tour”. Tujuannya sederhana, namun penuh makna: menyaksikan langsung ke mana sampah yang setiap hari kita hasilkan berakhir.
Setibanya di TPA Benowo, kami disambut oleh tumpukan sampah yang menggunung, berbaur dengan aroma menyengat dan kepulan asap dari cerobong insinerator. Di sinilah akhir dari 1.600 ton sampah yang diproduksi Kota Surabaya setiap harinya—angka yang terus bertambah tanpa tanda-tanda akan menurun. Kami sadar, dari balik kepulan asap itu bukan hanya limbah yang dibakar, tapi juga jejak konsumsi kita yang mengendap menjadi residu lingkungan.
Kunjungan ini mengajak kami berpikir ulang. Selama ini, banyak orang berpikir bahwa masalah sampah hanyalah soal teknis: angkut, buang, bakar. Namun kenyataannya, persoalan ini jauh lebih kompleks dan bersifat interseksional. Sampah berkaitan erat dengan isu kesehatan, hak asasi manusia, ketimpangan ekonomi, hingga hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Kita tak bisa hanya bergantung pada solusi instan seperti insinerator atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang hanya memusnahkan, bukan mengurangi akar masalah.
Lebih dalam lagi, kami menyadari bahwa solusi sejati tidak hanya datang dari teknologi, tetapi juga dari perubahan pola pikir dan kebijakan. Dibutuhkan keberanian politik (political will) dari pemerintah untuk mendorong produsen mengubah desain produk mereka menuju ekonomi sirkular. Di sisi lain, warga kota juga perlu meningkatkan kesadaran dan kepekaan terhadap jejak konsumsi mereka sendiri. Dari sekadar membuang sampah di tempatnya, mulai memilah, hingga menolak produk yang tak ramah lingkungan—setiap langkah kecil bisa bermakna besar bila dilakukan secara kolektif.
Karena perubahan selalu bermula dari dua arah: dari dalam diri kita, dan dari sistem yang mengatur kehidupan kita. Jika kita terus diam, maka bumi akan terus menanggung akibatnya. Kita hanya punya satu rumah, dan rumah itu sedang tenggelam dalam tumpukan sampah.
Sebagai penutup kegiatan, kami mengikuti diskusi yang difasilitasi oleh Komunitas Nol Sampah dan GARDA PANGAN. Dalam sesi ini, kami mendalami pendekatan Zero Waste sebagai strategi nyata dalam menghadapi krisis sampah saat ini. Harapannya, semangat ini tidak berhenti hanya dalam diskusi atau kunjungan, tapi bisa menjadi gerakan nyata yang mengakar di komunitas. Agar kelak, sampah yang kita hasilkan bukan hanya lebih sedikit, tapi juga lebih bertanggung jawab.