Minggu pagi, 20 April 2025, suasana Desa Gunungronggo di Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, terasa lebih hidup dari biasanya. Klub Indonesia Hijau (KIH) Regional 12 Malang bersama WALHI Jawa Timur mengadakan kegiatan “SABA” sekaligus peringatan Hari Bumi— Sebuah perjalanan belajar bersama alam yang mengajak siapa saja untuk menyelami pentingnya menjaga ekosistem.
Mengapa Sumber Jenon? Karena kawasan ini merupakan sebuah mata air yang menjadi nadi kehidupan bagi desa-desa di sekitarnya.
Perjalanan dimulai dengan menyusuri sebuah jembatan tua di Desa Gunungsari. Jembatan peninggalan kolonial Belanda itu melintang di atas sungai, menjadi saksi bisu sejarah panjang eksploitasi sumber daya alam, terutama oleh industri gula yang pernah merajai wilayah ini. Dari situ, para peserta melanjutkan perjalanan menuju Sumber Jenon — sumber mata air jernih yang tak hanya menopang kebutuhan warga, tetapi juga menjadi rumah bagi pohon-pohon, hewan, dan organisme yang membentuk satu kesatuan ekosistem.
Sesampainya di lokasi, suasana hening air yang mengalir deras berganti dengan percakapan serius dalam sebuah diskusi terbuka. Peserta diajak memahami realitas menyedihkan yang tengah mengancam Kabupaten Malang: rusaknya ekosistem akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan, terutama tebu. Hampir 500 hektar hutan produksi di Malang Selatan telah berubah wajah menjadi kebun tebu, menggerus habitat dan daya dukung lingkungan.
Tak berhenti sampai di sana, ancaman lain kini mengintai. Pemerintah daerah tengah mendorong ekspansi perkebunan sawit, sebuah rencana yang jika terealisasi, dapat mengorbankan hingga 600 hektar kawasan hutan, baik produksi maupun lindung. Ironisnya, tebu dan sawit ini hendak dibranding sebagai sumber energi terbarukan—bioetanol dan biofuel. Namun, di balik label “terbarukan”, tersembunyi ancaman besar terhadap kelestarian hutan.
Tak hanya hutan yang berada di ujung tanduk. Kawasan karst yang merupakan benteng alami sistem air bawah tanah, juga terancam oleh wacana pendirian pabrik semen. Meski baru sebatas wacana, dampaknya bisa sangat nyata. Karst yang rusak berarti kehilangan hutan, hilangnya sumber air, dan pada akhirnya memicu bencana ekologis.
Kenyataannya, Kabupaten Malang kini sudah termasuk dalam zona merah bencana. Saat musim hujan datang, banjir dan longsor menjadi tamu tak diundang. Di musim kemarau, wilayah ini justru kekeringan parah. Jika alih fungsi lahan terus dibiarkan, maka bencana akan menjadi bagian dari keseharian.
Melihat ancaman tersebut, WALHI Jawa Timur dan KIH 12 Malang mengajak semua pihak untuk menghentikan eksploitasi ruang yang tak berkelanjutan. Mereka mendorong ekonomi yang bersandar pada kekuatan lokal, bukan pada perusakan lingkungan. Mereka menuntut tata ruang yang berpihak pada perlindungan hutan, kawasan karst, dan sumber-sumber air.
Karena menjaga alam bukan hanya soal hari ini, tapi tentang memastikan bahwa esok masih ada kehidupan.