Sehari Bersama Alam (SABA) KIH Reg. 12 Malang: Umbul Gemulo, Apa Kabarmu?

Minggu pagi, 13 April 2025, cuaca terpantau cerah menyambut rombongan kecil dari Klub Indonesia Hijau (KIH) Regional 12 Malang, WALHI Jawa Timur, dan Nawakalam Gemulo. Mereka mendaki ringan ke Bukit Jingkoang—sebuah kawasan hijau di lereng Gunung Arjuno, yang menjadi salah satu daerah resapan air penting di wilayah Batu.

Tujuan mereka bukan sekadar piknik biasa. Mereka datang untuk mendengarkan alam, berbincang santai, dan merenungkan nasib sumber mata air yang kian terancam, salah satunya Sumber Umbul Gemulo.

SABA, singkatan dari Sehari Bersama Alam, adalah salah satu agenda khas KIH Regional 12 Malang. Bukan kegiatan seminar di ruangan tertutup, SABA justru mengajak siapa pun yang peduli lingkungan untuk belajar langsung dari alam.

Hari itu, sekitar 20 peserta hadir, menyiapkan tikar bersama, membuka bekal, lalu mulai duduk melingkar di tengah hamparan hijau Bukit Jingkoang. Suasana akrab dan santai menjadi latar diskusi serius tentang keberlangsungan Umbul Gemulo—satu dari 111 sumber mata air di Kota Batu yang kini berada di ambang ancaman pembangunan.

Dalam diskusi, mengemuka kekhawatiran besar, tentang persoalan pariwisata yang berkembang pesat di Kota Batu, yang prakteknya ternyata tidak selalu ramah pada lingkungan. Banyak kawasan hutan beralih fungsi, sumber mata air terancam tercemar, bahkan hilang.

Umbul Gemulo, misalnya, kini dikepung rencana pembangunan hotel, taman wisata Bumiaji Park, rest area, hingga fasilitas pengolahan sampah TPS3R—semuanya berlokasi kurang dari 200 meter dari mata air itu sendiri.

Bela lingkungan itu tidak melulu soal tanam pohon. Kita bisa membawa isu lingkungan ke ranah hukum, termasuk melalui hak gugat yang dijamin UUD 1945, dan itu bisa diwakili oleh organisasi,” ujar Purnawan D. Negara, Ketua KIH Reg. 12 Malang, saat membuka diskusi.

Purnawan juga menekankan pentingnya aksi-aksi kecil yang bisa dilakukan oleh siapapun. “Kalau tidak bisa turun ke jalan, ya setidaknya bisa menyuarakan kerusakan yang terjadi. Semua dimulai dari kesadaran diri,” tambahnya.

Namun kekhawatiran mereka tak berhenti di situ. Sejak disahkannya Perda No. 7 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu, banyak sumber mata air tak lagi masuk dalam kategori kawasan lindung. Padahal, Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 dengan tegas menyebut kawasan sekitar mata air sebagai wilayah yang wajib dilindungi.

Yang kita hadapi bukan hanya satu ancaman. Umbul Gemulo menghadapi banyak tekanan. Dan ironisnya, tidak ada kebijakan yang tegas untuk melindungi sumber mata air ini,” kata Aris Faudin, Direktur Nawakalam Gemulo.

Ia juga menekankan bahwa keberadaan sumber mata air adalah hak hidup masyarakat sekitar yang selama ini menggantungkan kehidupan pada air bersih dan irigasi dari alam.

Hal senada juga disampaikan oleh Pradipta Indra A dari WALHI Jawa Timur. “Sayangnya, hingga hari ini, Pemerintah Kota Batu belum memperlihatkan keberpihakan yang jelas pada keberlanjutan sumber daya air. Bahkan di tingkat desa pun belum tampak inisiatif konkret. Padahal, perlindungan sumber air harus menjadi agenda bersama, mulai dari pemerintah kota hingga pemerintah desa.”

Sore mulai merambat turun ketika kegiatan SABA ditutup. Di tengah keindahan lanskap Bukit Jingkoang, para peserta pulang dengan membawa satu pemahaman baru: Kota Batu yang dikenal sebagai destinasi wisata, ternyata belum sepenuhnya menjaga aset paling vital bagi warganya sendiri—air.

Sumber-sumber mata air dan kawasan hutan yang menopangnya terus terancam oleh pembangunan yang tak terkendali. Dan jika tidak ada langkah nyata, bukan tidak mungkin masa depan Batu akan kering—secara harfiah maupun harapan.