Catatan Kritis Hari Nelayan 2025: Nelayan Jawa Timur di Tengah Krisis Ekologis dan Ekonomi

Peringatan Hari Nelayan Nasional yang jatuh setiap 6 April, sudah seharusnya menjadi momentum kebangkitan perjuangan nelayan. Karena nelayan mau tidak mau harus diakui sebagai penjaga pangan laut dan ekosistem pesisir. Namun, di Jawa Timur, kenyataan yang dihadapi para nelayan jauh dari kata sejahtera

Saat ini banyak nelayan di Jawa Timur yang hidup dalam bayang-bayang kerusakan ekosistem, krisis pendapatan, dan ketidakpastian masa depan. Kerusakan demi kerusakan di Jawa Timur terus dilanggengkan. Dari reklamasi, tambang pasir laut, tumpahan minyak, tambang migas sampai aneka kerusakan yang juga bersumber dari darat, seperti limbah industri, limbah tambang dan sampah.

Sebagai bagian dari upaya untuk menyadarkan khalayak, kami membuat catatan kritis ini. Secara garis besar catatan kritis ini dibagi dalam tiga sub bab yang secara ringkas dan padat ditujukan untuk menyoroti akar masalah, dampak sosial-ekonomi, dan arah kebijakan yang dibutuhkan.

Ekosistem Laut Rusak: Dominasi Ekonomi Pragmatis dan Krisis Iklim

Kerusakan lingkungan laut di Jawa Timur merupakan hasil dari praktik eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan. Penangkapan ikan dengan alat tangkap destruktif seperti bom ikan, cantrang, dan potasium telah menyebabkan kehancuran terumbu karang, habitat utama biota laut. Bom ikan dan potasium membunuh ikan secara massal dan merusak struktur karang secara permanen. Sementara itu, cantrang yang menyapu dasar laut mempercepat sedimentasi dan mengganggu ekosistem perairan dangkal.

Selain alat tangkap ilegal, laut Jawa Timur juga menghadapi pencemaran berat dari limbah industri, domestik, dan plastik. Peningkatan keasaman air laut, keracunan ikan, dan coral bleaching menjadi bukti dampak nyata pencemaran tersebut. Sampah plastik tak hanya mengganggu rantai makanan biota laut, tetapi juga menjadi beban operasional harian bagi nelayan yang harus membersihkan jaring dan mesin kapal dari gulungan limbah.

Ditambah lagi, perubahan iklim memperparah kondisi. Pemanasan global menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) dan penurunan populasi ikan karang bernilai tinggi seperti kerapu dan baronang. Musim melaut pun makin sulit diprediksi akibat cuaca ekstrem dan gelombang tinggi.

Sementara itu, pembangunan pesisir yang tidak berkelanjutan juga memperparah krisis. Penebangan mangrove dan reklamasi pesisir di berbagai wilayah seperti Situbondo menyebabkan abrasi dan menghilangkan area pemijahan ikan. Sementara di Surabaya, atas nama investasi, Negara menerbitkan Proyek Strategis Nasional (PSN) Swasta, Surabaya Waterfront Land (SWL) yang mengancam ratusan hektar mangrove dan akan semakin meminggirkan nelayan di Surabaya, yang saat ini sedang dalam fase-fase menuju kepunahan.

Proyek infrastruktur yang saat ini eksis di pesisir maupun yang berada di lautan lepas, telah terbukti mengabaikan lingkungan, seperti saluran pembuangan air dari kawasan wisata bahari, proyek reklamasi, aktivitas industri ekstraktif, lalu lintas kapal yang melewati kawasan pulau kecil, sampai pembungan limbah dari kapal pesiar sampai kapal barang telah merusak terumbu karang sekaligus mematikan sumber ekonomi nelayan tradisional.

Dampak Sosial-Ekonomi: Kemiskinan Struktural dan Migrasi Generasi Muda

Kerusakan lingkungan laut membawa dampak langsung pada penurunan kesejahteraan nelayan. Data NTN (Nilai Tukar Nelayan)—indikator keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran—menjadi alarm serius. NTN terus merosot dari 102,51 pada Desember 2022 menjadi 97,69 pada Desember 2023. Angka ini menandakan bahwa pendapatan nelayan tidak lagi mampu menutupi biaya produksi dan kebutuhan hidup dasar.

Biaya melaut meningkat drastis akibat makin jauhnya lokasi penangkapan ikan, sementara hasil tangkapan terus menurun. Nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional kesulitan bersaing, sedangkan alat modern yang ramah lingkungan sulit diakses karena harga tinggi atau regulasi ketat. Dalam kondisi seperti ini, banyak nelayan terjebak dalam lingkaran utang—meminjam untuk membeli BBM dan peralatan, namun hasil tangkapan tak menentu.

Dampak lebih luas muncul dalam bentuk kemiskinan struktural. Di Sumenep, misalnya, nelayan bahkan menggunakan potasium sendiri karena desakan ekonomi, meski itu memperburuk kerusakan habitat. Akibatnya, mereka tidak hanya kehilangan hasil hari ini, tapi juga merusak prospek jangka panjang.

Situasi ini juga menyebabkan migrasi generasi muda. Anak-anak nelayan enggan meneruskan profesi orang tua mereka karena melihat ketidakpastian pendapatan dan tingginya risiko kerja. Profesi nelayan dianggap tidak menjanjikan, sehingga banyak yang memilih bekerja di sektor informal lain atau merantau ke kota.

Jalan Pemulihan: Dari Korban Menjadi Penjaga Ekosistem

Meskipun situasinya kritis, peluang untuk memperbaiki kondisi masih terbuka jika ada kemauan politik, dukungan kebijakan, dan partisipasi aktif nelayan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah penegakan hukum terhadap praktik ilegal. Penggunaan bom ikan, cantrang, dan potasium harus diberantas dengan sanksi tegas dan pengawasan yang intensif di wilayah rawan seperti Pulau Masalembu, Bawean, dan Sumenep.

Kedua, perlu ada program rehabilitasi lingkungan pesisir secara massif. Terumbu karang dan hutan mangrove harus direstorasi dengan melibatkan komunitas lokal agar ada rasa memiliki. Pembersihan laut dari sampah plastik juga bisa menjadi kegiatan rutin komunitas nelayan dengan insentif sosial dan ekonomi.

Ketiga, diversifikasi ekonomi nelayan harus menjadi agenda utama. Potensi wisata bahari yang berbasis konservasi bisa dikembangkan di wilayah seperti Situbondo dan Bawean. Selain itu, pelatihan pengolahan ikan (misalnya produk beku, abon, atau kerajinan dari hasil laut) dapat memberi nilai tambah dan alternatif pendapatan.

Keempat, dukungan teknologi dan subsidi tepat sasaran harus digulirkan. Alat tangkap ramah lingkungan dan teknologi navigasi (seperti GPS) bisa meningkatkan efisiensi dan mencegah eksploitasi berlebih. Harus ada inovasi penggunaan energi ramah lingkungan untuk kapal nelayan, serta memberikan insentif hingga subsidi untuk pengadaan mesin dengan energi terbarukan, sampai bantuan langsung ke nelayan guna mempercepat transisi.

Tak kalah penting, perlu adanya bantuan modal produksi yang diberikan kepada nelayan kecil, bukan hanya pengusaha besar. Terakhir, edukasi lingkungan dan pelatihan penangkapan berkelanjutan harus diintensifkan. Nelayan bukan hanya pihak yang terkena dampak, tapi juga aktor penting dalam pemulihan. Jika mereka diberi akses pada pengetahuan dan alat yang tepat, mereka bisa menjadi garda depan konservasi laut.

Penutup

Hari Nelayan bukan hanya momen perayaan, tapi juga seruan perubahan. Di Jawa Timur, nelayan tengah menghadapi krisis ekosistem yang berujung pada krisis pendapatan dan martabat. Penurunan tajam NTN sepanjang 2023 menunjukkan bahwa kerusakan laut tak hanya berdampak pada ikan, tapi juga pada kualitas hidup manusia.

Sudah saatnya melihat nelayan bukan sebagai korban semata, tetapi sebagai penjaga laut yang layak mendapatkan perlindungan, pemberdayaan, dan tempat dalam pengambilan keputusan. Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan keterlibatan komunitas, nelayan bisa bangkit dan menjadi pelaku utama dalam menyelamatkan laut dan masa depan generasi mendatang.

Contact Person:

Wahyu Eka Styawan (wahyuekas@walhijatim.org)