Kami dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, mengecam keras tindakan kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh PT Laju Perdana Indah (PT LPI) terhadap petani Pundenrejo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Perusakan Joglo Juang (Aup-Aupan) yang dilakukan oleh sekelompok orang yang diduga preman atas arahan PT LPI merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, hak petani, dan hak atas tanah sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 serta berbagai instrumen hukum nasional dan internasional.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh PT LPI bertentangan dengan Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas/UNDROP). Deklarasi ini sudah sangat jelas menegaskan bahwa petani memiliki hak atas tanah, hak untuk tidak diusir secara sewenang-wenang, serta hak untuk bebas dari kekerasan, intimidasi, dan eksploitasi.
Selain itu, tindakan PT LPI juga mencerminkan pelanggaran terhadap hak sipil dan politik petani Pundenrejo, termasuk hak untuk berkumpul, berorganisasi, dan mempertahankan ruang hidup mereka. Pembiaran atas tindakan ini hanya akan memperparah ketimpangan agraria dan memperburuk kondisi sosial-ekonomi petani.
Konflik ini semakin memperlihatkan pengabaian terhadap konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Faktanya PT LPI tidak lagi memiliki hak atas tanah tersebut karena Hak Guna Bangunan (HGB) mereka telah habis, dan permohonan Hak Pakai mereka telah dicoret oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Pati. Dengan demikian, setiap tindakan perusahaan untuk merebut kembali tanah tersebut dengan cara kekerasan merupakan tindakan ilegal.
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, tanah harus digunakan untuk kepentingan rakyat dan bukan untuk kepentingan segelintir korporasi yang mengabaikan hak-hak masyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh PT LPI bertentangan dengan prinsip sosial fungsi tanah yang dijamin dalam UUPA.
Konflik agraria yang dialami petani Pundenrejo bukanlah kasus tunggal. Pola kriminalisasi terhadap petani yang mempertahankan hak atas tanah juga terjadi di Desa Pakel, Banyuwangi, di mana petani yang melawan monopoli lahan oleh PT Bumisari mengalami represi dan kriminalisasi. Hal serupa juga terjadi pada petani di Bondowoso yang tengah berhadapan dengan PTPN XII.
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa negara belum berpihak kepada petani dalam penyelesaian konflik agraria, dan justru membiarkan korporasi perkebunan swasta serta BUMN melakukan perampasan tanah dengan cara kekerasan dan kriminalisasi. Ini menjadi ancaman nyata bagi hak asasi petani dan semakin memperburuk ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.
Atas persoalan ini kami mendesak Pemerintah Pusat dan Kementerian ATR/BPN untuk segera menyelesaikan konflik agraria di Pundenrejo, Pakel, dan Bondowoso untuk mengambil langkah nyata dalam menyelesaikan konflik agraria secara menyeluruh dan memastikan hak-hak petani atas tanahnya dihormati.
Kekerasan demi kekerasan terus berlanjut, seakan tiada henti. Kami menyerukan kepada masyarakat sipil, serta gerakan tani untuk bersolidaritas dalam memperjuangkan hak-hak petani dan bersama-sama mendesak penyelesaian konflik agraria di berbagai daerah.
Kami menegaskan bahwa konflik agraria yang terus berulang ini merupakan dampak dari lemahnya keberpihakan negara terhadap rakyat dan keberpihakan yang lebih besar terhadap kepentingan korporasi. Kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani tidak bisa dibiarkan berlanjut.
WALHI Jawa Timur
Sidoarjo, 14 Maret 2025