Visi-misi Gubernur Khofifah untuk periode 2025-2030 menampilkan narasi pembangunan yang ambisius, tetapi ada satu masalah mendasar: perspektif lingkungan nyaris absen. Kata “berkelanjutan” memang disebutkan, tapi lebih sebagai jargon ketimbang komitmen nyata. Jika dicermati lebih dalam, program-program yang diusung justru berpotensi memperburuk krisis lingkungan di Jawa Timur.
1. Infrastruktur Gila-Gilaan, Lingkungan Jadi Korban
Jawa Timur didorong menjadi “Gerbang Baru Nusantara” dengan pembangunan jalan, rumah sakit, transportasi, dan digitalisasi pelayanan publik. Tapi, di mana kebijakan perlindungan lingkungan? Jalan-jalan baru seperti Pansela yang dikebut tanpa tata ruang yang ketat bisa mempercepat alih fungsi lahan dan perusakan ekosistem pesisir. Proyek “sapu bersih lubang jalan” dan pengembangan transportasi massal memang penting, tapi apa dampaknya pada wilayah hijau yang tersisa?
2. Tidak Ada Regulasi Ketat terhadap Perusakan Alam
Jawa Timur masih menjadi surga bagi tambang pasir, batu bara, dan galian C yang menghancurkan bentang alam dan menyebabkan bencana ekologis. Contoh nyata adalah kerusakan pesisir di Lumajang akibat tambang pasir dan pencemaran air di kawasan industri Gresik dan Sidoarjo. Anehnya, dalam pidato Gubernur, tidak ada satu pun komitmen untuk membatasi eksploitasi sumber daya alam atau memperketat pengawasan terhadap industri ekstraktif.
3. Mitigasi Bencana yang Setengah Hati
Program mitigasi bencana hanya berfokus pada pengerukan sungai dan penanganan cepat. Padahal, banjir dan kekeringan di Jawa Timur bukan sekadar masalah sedimentasi sungai, tetapi juga akibat deforestasi besar-besaran dan penyempitan daerah resapan air. Tanpa kebijakan tegas untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis, mitigasi ini hanya jadi solusi tambal sulam yang tidak akan menyelesaikan akar masalah.
4. Nol Inisiatif Transisi Energi Bersih
Jawa Timur masih bergantung pada PLTU batu bara, terutama di Paiton, yang menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia. Sayangnya, tidak ada kebijakan untuk mengembangkan energi terbarukan atau mendorong pembatasan penggunaan batu bara. Jika provinsi lain sudah mulai berbicara soal solar panel dan energi angin, Jawa Timur masih stagnan di model energi kotor.
5. Retorika ‘Berkelanjutan’ yang Kosong
Khofifah menyebut program Jatim Lestari, tapi tanpa detail konkret. Apa bentuknya? Apakah ada kebijakan restorasi ekosistem? Apakah ada penegakan hukum terhadap perusak lingkungan? Atau ini hanya sekadar nama program tanpa substansi? Jika pembangunan hanya digenjot tanpa keseimbangan ekologi, yang terjadi bukan kesejahteraan, tapi krisis lingkungan berkepanjangan.
6. Jawa Timur Butuh Pemimpin yang Berani Menjaga Lingkungan
Pembangunan ekonomi memang penting, tetapi tanpa perspektif lingkungan, itu hanya menciptakan bom waktu. Jika pemerintah provinsi serius ingin membangun Jawa Timur yang benar-benar “berkelanjutan”, mereka harus berani membatasi industri ekstraktif, menegakkan hukum lingkungan, dan mempercepat transisi energi hijau. Jika tidak, “Jatim Maju” hanya akan jadi slogan kosong yang menutupi kenyataan: kehancuran ekologi yang kian tak terkendali.