Indonesia Gelap, Jawa Timur Pun Tak Luput dari Kegelapan

Dalam rilis singkat ini, kami ingin menyoroti kondisi Jawa Timur yang semakin terpuruk akibat eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali. Jawa Timur, dengan luas wilayah 48.033 km² dan jumlah penduduk mencapai 41.644.099 jiwa, merupakan salah satu daerah terpadat di Indonesia serta menjadi lumbung pangan nasional. Beras, kacang-kacangan, dan ikan dari wilayah ini menopang kebutuhan pangan Indonesia.

Namun, di balik peran strategis tersebut, Jawa Timur menghadapi ancaman serius. Selama 15 tahun terakhir, eksploitasi besar-besaran telah menyebabkan krisis ekologis, termasuk terancamnya sumber mata air, berkurangnya produksi pangan, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Dampak dari kerusakan ini tidak hanya dirasakan secara ekologis, tetapi juga secara sosial dan ekonomi—mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat serta menurunkan kualitas dan harapan hidup.

Kerusakan lingkungan ini bukan sekadar akibat dari faktor alam, melainkan dipicu oleh kebijakan pemerintah pusat, provinsi, serta kabupaten/kota yang semakin berpihak pada eksploitasi sumber daya alam. Alih-alih melindungi lingkungan dan kesejahteraan rakyat, mereka lebih mengutamakan kepentingan ekonomi jangka pendek dengan merevisi rencana tata ruang yang pro-kapital dan mengabaikan aspek keberlanjutan. Proses penyusunan kebijakan tata ruang pun jauh dari transparan, tanpa partisipasi publik yang bermakna, dan sering kali diputuskan dalam ruang-ruang tertutup yang hanya menguntungkan segelintir elite.

Salah satu contoh nyata adalah tambang emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi. Tambang ini berlokasi di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, dan dikuasai oleh PT Merdeka Copper Gold melalui anak perusahaannya, PT Bumi Suksesindo, dengan izin usaha pertambangan (IUP) seluas 4.998 hektar. Dari luas tersebut, 1.942 hektar berada di kawasan Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu. Konsesi ini diberikan oleh Bupati Banyuwangi pada 2012 setelah dilakukan revisi tata ruang. Selain itu, anak perusahaan lainnya, PT Damai Suksesindo, juga memiliki izin eksplorasi di wilayah seluas 6.623 hektar.

Alih-alih belajar dari kasus Tumpang Pitu, pemerintah justru kembali mengulang kesalahan yang sama. Pada 24 Juni 2019, Gubernur Jawa Timur menerbitkan IUP Operasi Produksi tambang emas di Trenggalek untuk PT Sumber Mineral Nusantara (SMN), yang kini telah diakuisisi oleh perusahaan Australia, Far East Gold. Tambang ini memiliki luas konsesi 12.813,41 hektar yang mencakup sembilan kecamatan. Ironisnya, wilayah yang akan dieksploitasi meliputi kawasan lindung karst, hutan lindung, serta daerah tangkapan air yang menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat.

Tak hanya di Banyuwangi dan Trenggalek, eksploitasi sumber daya alam juga marak di Pasuruan dan Mojokerto. Banyak izin tambang dikeluarkan tanpa memperhatikan tata ruang, bahkan berada di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang seharusnya menjadi zona penyangga ekosistem. Tambang ilegal pun menjamur, dengan jumlah mencapai ribuan titik, menunjukkan bagaimana lemahnya pengawasan pemerintah. Lebih ironis lagi, banyak pekerja tambang ilegal ini merupakan korban dari ketimpangan ekonomi—orang-orang yang tidak memiliki pilihan mata pencaharian lain akibat rusaknya sektor pertanian dan perikanan.

Eksploitasi ini juga berkontribusi terhadap krisis pencemaran lingkungan yang semakin parah. Kasus-kasus pencemaran di Jawa Timur tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, meskipun sudah banyak protes yang dilakukan masyarakat. Dari Pasuruan, Blitar, hingga Gresik, pencemaran sungai, udara, dan tanah semakin menjadi-jadi, tetapi pemerintah tetap abai.

Sungai Brantas, yang menjadi sumber air bagi jutaan warga, kini tercemar limbah industri dan domestik. Pengawasan terhadap limbah perusahaan pun lemah, seolah-olah pencemaran sudah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Jember menjadi contoh nyata, di mana tambak udang di Desa Kepanjen, Kencong, mencemari laut tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah. Hal yang sama terjadi di Malang Selatan, di mana sungai-sungai tercemar oleh limbah tambak udang, tetapi pemerintah tetap diam.

Tidak hanya tambang, pencemaran limbah, ancaman terhadap hutan dan sumber air juga semakin nyata. Salah satu contoh kebijakan absurd adalah rencana Bupati Malang untuk mengalihfungsikan hutan menjadi perkebunan sawit—sebuah langkah yang akan mempercepat deforestasi dan merusak keseimbangan ekosistem. Bahkan sebelum sawit hadir, banyak hutan produksi di Jawa Timur yang telah berubah menjadi perkebunan tebu.

Selain itu, eksploitasi air secara besar-besaran untuk kepentingan komersial semakin mengancam ketersediaan air bagi masyarakat. Di satu sisi, perusahaan-perusahaan besar dengan mudah mengakses dan mengeksploitasi sumber air, sementara di sisi lain, daerah-daerah yang menjadi lokasi sumber air justru mengalami kekeringan. Contohnya adalah Umbulan, Pasuruan, serta Lawang, Kabupaten Malang, yang menghadapi krisis air meskipun berada di kawasan sumber mata air.

Kebijakan-kebijakan yang kami soroti di atas adalah bentuk nyata dari “kegelapan” yang melanda Jawa Timur. Kegelapan ini bukan sekadar persoalan eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga menyangkut demokrasi yang mati suri—di mana kebijakan dibuat tanpa keterlibatan rakyat, kepentingan korporasi lebih diutamakan, dan suara masyarakat terus dibungkam.

Momentum Indonesia Gelap adalah saat yang tepat untuk kembali menyuarakan perlawanan terhadap eksploitasi dan ketidakadilan. Sejak lama, kegelapan ini telah menyelimuti kita, dan kini semakin pekat akibat eksploitasi lingkungan yang tak terkendali serta menurunnya daya dukung ekosistem di Jawa Timur.

Jika kita tidak bersuara sekarang, kapan lagi? Mari terus menyuarakan dan memperkuat gerakan ini demi masa depan yang lebih terang!