Jawa Timur, tanah yang pernah menjadi pusat kemakmuran agraris dan maritim, kini berubah menjadi episentrum eksploitasi. Di bawah kedok pembangunan dan investasi, wilayah ini mengalami alih fungsi besar-besaran yang melibatkan perampasan tanah, penghancuran hutan, dan pengabaian hak-hak rakyat kecil. Pada 2024, lebih dari 900 desa menghadapi ancaman kekeringan, sementara banjir melanda 13 kabupaten/kota, merendam ribuan hektar sawah dan memaksa ribuan orang kehilangan tempat tinggal.
Namun, bencana ini bukan sekadar akibat perubahan iklim. Mereka adalah cerminan dari kegagalan sistemik dalam tata kelola lingkungan. Tambang legal dan ilegal, dengan lebih dari 900 izin, menyusupi kawasan lindung dan menghancurkan ekosistem vital. Hutan mangrove, benteng terakhir pesisir, telah berkurang drastis akibat reklamasi, tambak, dan proyek infrastruktur yang meminggirkan nelayan tradisional.
Ironisnya, pemerintah terus mendorong solusi-solusi palsu. Proyek energi terbarukan seperti geothermal sering kali dilakukan di kawasan hutan lindung, menciptakan dampak ekologis baru yang merugikan masyarakat setempat. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan insinerasi di berbagai wilayah Jawa Timur dianggap sebagai solusi untuk krisis sampah, tetapi teknologi ini menghasilkan emisi beracun dan memperburuk kualitas lingkungan.
Dalam konflik agraria, lebih dari 50 kasus terjadi tanpa penyelesaian yang adil. Perampasan tanah di Banyuwangi dan Pasuruan, di bawah dalih proyek strategis nasional dan klaim sepihak negara, mencerminkan pengabaian terhadap hak-hak petani. Kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan terhadap warga yang memperjuangkan ruang hidup mereka menjadi pemandangan yang semakin biasa.
Sayangnya, semua ini hanya menegaskan keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan korporasi. Ekstraktivisme, yang melihat alam sebagai sekadar komoditas, kini mendominasi kebijakan pembangunan. Paradigma ini tidak hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga memperdalam ketimpangan sosial, meninggalkan rakyat kecil dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan.
WALHI Jawa Timur menegaskan bahwa sudah saatnya mengubah arah kebijakan. Penegakan prinsip UUPA 1960, redistribusi lahan, moratorium izin tambang, dan restorasi ekosistem harus menjadi prioritas. Transisi energi tidak boleh menjadi alibi untuk eksploitasi baru, tetapi harus berlandaskan keadilan ekologis yang mengutamakan keseimbangan alam dan kehidupan manusia.
Tahun ini adalah pengingat akan “Vivere Pericoloso,” hidup yang penuh bahaya seperti yang disampaikan oleh Bung Karno. Namun, dari bahaya ini, harapan harus tetap ada. Hanya dengan keberanian untuk melawan ketidakadilan dan membangun kebijakan yang berpihak pada rakyat, Jawa Timur dapat selamat dari kehancuran ekologis yang mengintai.
Mari bersama bergerak, mempertahankan ruang hidup dan masa depan yang berkeadilan untuk generasi yang akan datang.
Selengkapnya:
bit.ly/Refleksi24WALHIJATIM