Banjir Adalah Dampak Krisis Iklim, Kebijakan Pro-Lingkungan dan Tata Ruang Harus Segera Ditetapkan

Pernyataan Sikap WALHI Jawa Timur

Krisis iklim telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan, dengan dampaknya dirasakan langsung di berbagai wilayah, salah satunya berupa banjir.

Di Malang, banjir merendam 254 rumah warga, dengan rincian: 47 rumah di Kelurahan Jodipan, 10 rumah di Kelurahan Kedungkandang, 37 rumah di Kelurahan Lesanpuro, dan 160 rumah di Kelurahan Madyopuro.

Di Surabaya, banjir terjadi di hampir 20 titik, termasuk kawasan vital seperti Jalan Ahmad Yani. Sementara di Sidoarjo, banjir melanda hampir 10 titik, seperti Waru, Taman, dan Bungurasih.

Menurut BMKG, banjir disebabkan oleh awan Cumulonimbus (CB) yang menghasilkan curah hujan tinggi, diperparah oleh fenomena atmosfer seperti gelombang Kelvin dan Rossby.

Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menyebut bahwa banjir terjadi akibat luapan sungai dari daerah hulu yang dipicu curah hujan tinggi di Jawa Timur. Namun, narasi yang disampaikan cenderung mengabaikan krisis iklim sebagai akar masalah.

Banjir adalah salah satu bentuk bahaya hidrometeorologi yang menunjukkan meningkatnya kerentanan suatu wilayah akibat perubahan iklim dan kerusakan ruang resapan air.

Fenomena ini bukan hanya persoalan alam, tetapi erat kaitannya dengan tata ruang yang buruk, alih fungsi kawasan hijau, minimnya ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai resapan air, serta masalah teknis seperti pendangkalan sungai dan betonisasi jalur air.

Dampak banjir ini harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Kerusakan di wilayah hulu seperti Malang Raya akibat alih fungsi lahan, perubahan tata ruang di wilayah tengah untuk pertanian, industri, dan pertambangan, semuanya berdampak langsung ke wilayah hilir seperti Surabaya. Banjir tidak bisa dilihat sebagai persoalan lokal, tetapi menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Banjir bukan persoalan yang bisa diselesaikan hanya dengan membangun gorong-gorong, selokan, atau rumah pompa. Penyelesaian jangka panjang diperlukan, seperti penataan ulang tata ruang, revitalisasi sungai, hingga penghentian sementara izin pembangunan kawasan industri.

Tuntutan WALHI Jawa Timur:
1. Pemerintah Provinsi Jawa Timur harus segera berkoordinasi untuk merumuskan kebijakan menyeluruh yang menanggapi persoalan banjir dengan pendekatan berbasis tata ruang dan perubahan iklim.

2. Pemerintah kota/kabupaten harus memprioritaskan penanganan banjir, baik jangka pendek maupun panjang, melalui penyusunan roadmap yang berfokus pada pemulihan ruang resapan air dan perlindungan kawasan tangkapan air.

3. Pemerintah Kota Surabaya harus segera merumuskan kebijakan konkret untuk mengatasi dampak krisis iklim, termasuk banjir yang kerap terjadi.

4. Pemerintah Kota Malang diminta membuat kebijakan yang jelas untuk menangani krisis iklim sebagai penyebab banjir.

5. Memastikan adanya ruang partisipasi publik dan transparansi informasi dalam proses perumusan kebijakan, agar kebijakan yang dibuat tidak asal-asalan.

6. WALHI Jawa Timur akan mengajukan gugatan kebijakan kepada pemangku kepentingan jika dalam 6 bulan ke depan tidak ada langkah konkret untuk menangani bencana akibat krisis iklim dan buruknya tata ruang.

Krisis iklim membutuhkan tindakan nyata dan kebijakan berkelanjutan. Pemerintah harus bergerak cepat untuk melindungi masyarakat dan lingkungan.

 

Narahubung:

Wahyu Eka Styawan (Direktur WALHI Jawa Timur)

082141265128