Disinformasi Krisis Iklim

Oleh: Bambang Catur Nusantara  
(Anggota KIH 03, BP JATAM, dan Bertha Challenge Fellow 2024)

Pemerintah Indonesia di bawah presiden baru Prabowo Subianto, mendorong hilirisasi pertambangan untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Hal ini disampaikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada Konferensi Indonesia Mining Summit yang diselenggarakan di Jakarta 4 Desember 2024 (Kompas, 4/12/2024). Pernyataan ini semakin membuat saya meyakini kampanye penurunan emisi untuk mengatasi perubahan iklim yang selama ini disampaikan merupakan disinformasi. Pemerintah Indonesia melalui Presiden Joko Widodo dalam pertemuan internasional  agar terlihat peduli atas krisis iklim, namun memiliki tujuan lain.

Selama setahun terakhir, saya mendapatkan kesempatan untuk melihat disinformasi krisis iklim lebih mendalam melalui Bertha Challenge Fellowship 2024. Pada awalnya, saya ingin mengetahui disinformasi terkait krisis iklim dengan mendalami kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Lumpur Lapindo sudah berjalan lama dan disinformasi yang terjadi telah berlangsung sejak puluhan tahun lampau. Meski dampak dari disinformasi itu masih berlanjut sampai hari ini, saya kemudian memberikan porsi perhatian yang lebih pada persoalan transisi energi yang dikampanyekan pemerintah: geothermal dan kendaraan listrik melalui hilirisasi nikel.

Saya sejak lama gusar dengan kampanye reduksi emisi melalui agenda hilirisasi bahan baku pendukung kendaraan listrik. Ataupun dengan kampanye pembangunan sumber energi lain seperti panas bumi. Perjalanan ke Dieng, Jawa Timur, Pocoleok Flores, Halmahera, dan Kalimantan Timur, menjadi kesempatan untuk menemukan secara langsung situasi di tapak. Pertemuan-pertemuan ini, memberikan informasi yang penting berbagai bentuk disinformasi terkait pembebasan lahan, tentang risiko, serta dampak lingkungan dari industri pertambangan energi.

Saya melakukan beberapa lokalatih bersama dengan komunitas di lokasi terdampak oleh industri ekstraktif itu. Tujuannya untuk berbagi pengalaman dalam membangun pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan mereduksi disinfromasi. Di Porong Sidoarjo, sebagian warga memiliki kemampuan untuk lakukan pemantauan mandiri terhadap dampak lingkungan. Mereka juga rutin mencari informasi kesehatan di wilayahnya. Cara pemantauan untuk wilayah terdampak lumpur Lapindo ini yang digunakan dalam berbagai lokalatih di tapak lain.

Bau Geothermal

Saya mengunjungi dua lokasi dua lokasi Geothermal. Dieng saya anggap sebagai wilayah yang telah lama terdapat industri geothermal. Saya pernah berkunjung ke Dieng lebih dari 10 tahun lalu. Saya masih ingat di dekat salah satu kawah wisata, ada pipa besar dan suaranya bergemuruh. Bau di area kawah Dieng mengingatkan kenangan masa remaja, saat saya beberapa kali mendaki gunung Welirang. Baunya mirip-mirip. Saya juga merasa bau itu seperti di area lumpur Lapindo di Sidoarjo. Di area lumpur Lapindo, itu teridentifikasi bau Hidrogen Sulfida (H2S)

Pada malam dan siang hari, bau ini tak tercium di desa Bakal. Pagi hari di Februari itu saya mencium bau seperti di area sekitar Lapindo. Untuk mengukur bau ini, saya menyiapkan Gastec. Sebuah perangkat yang dapat digunakan untuk memeriksa banyak jenis gas di udara. Saya hanya membawa dua tabung kelengkapannya. Satu untuk periksa H2S, satu jenis lain untuk PAH. Saya membawa tabung dengan satuan ppm.

Pagi hari pertama, alat tidak mampu medeteksi apa-apa. Saat mulai pemeriksaan, bau juga tidak dirasakan. Di hari kedua, bangun lebih pagi. Bau cukup tajam. Alat mendeteksi H2S 0,5 ppm. Jika merujuk Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No 13/2011 nilai ambang batas untuk kadar H2S adalah 1 ppm untuk waktu paparan 8 jam. Sementara itu Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 50/1996 menentukan mabang batasnya 0,02 ppm.

Yang saya kuatirkan adalah terdeteksinya PAH di wilayah ini hingga 2 ppm. Satuan ini sangat tinggi mengingat beberapa jenis PAH hanya dibatasi 2ppb. Seribu kali lebih rendah dari yang terdeteksi. Saya memikir sifat karsinogenik PAH yang dapat mempengaruhi Kesehatan jika paparannya terus menerus dan jumlah yang tinggi. Rasanya sesak ketika mendengar dari warga Karangtengah, ada lima kasus kanker. Mereka tinggal dekat dengan well-pad geothermal.

Kampanye geothermal sebagai sumber energi bersih dan lebih baik sepertinya patut digugat. Di area Pocoleok, geothermal ini diduga menjadi penyebab tumbuhan warga tak lagi produkti. Kunjungan saya ke Pocoleok juga mendeteksi adanya H2S dan PAH.

Kendaraan Listrik

Saya mencobai kendaraan listrik. Seorang kawan yang memiliki motor listrik berkunjung ke Sidoarjo pada Mei 2024. Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Kendaraan ini nyaris tanpa suara. Kawan saya bilang poernah membawa kendaraan ini hingga ke Malang. Tidak habis daya untuk perjalanan Kembali ke Surabaya. “Kuat untuk menanjak,” ujarnya.

Saya juga mencobai mobil listrik. Satu waktu perjalanan ke Jakarta pada akhir tahun 2024 saya ditawari taksi bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta. Ada satu jasa taksi yang memberikan layanan menggunakan mobil listrik. Beberapa jenis merk mobil listrik ditawarkan. Harganya berbeda. Yang terkecil city car ongkosnya hampir sama dengan taksi umum. Untuk jenis yang lebih besar, harganya selisih sekitar 100 ribu lebih mahal. Saya ke area Jakarta Selatan, dikenakan tarif 258 ribu rupiah dengan menggunakan armada yang terbesar.

Saya berbincang dengan pengemudi taksi. Ia mengatakan kendaraan bisa menempuh jarak hingga lebih 300 kilometer jika daya terisi penuh. Mungkin inilah yang menarik bagi sebagian orang, kemudahan sumber tenaga dan jarak tempuh kendaraan. Ini tentu belum berhitung usia kendaraan dan hal lainnya: sumber listrik.

Sebagai bagian kampanye mengatasi krisi iklim, kendaraan listrik dikampanyekan oleh pejabat publik Indonesia. Bahkan sebanyak 430 mobil listrik disiapkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Archipelagic and Island States (AIS) Forum tanggal 10-11 Oktober 2023 di Nusa Dua Bali. Kampanye kendaraan listrik ini beriringan dengan kampanye hilirisasi nikel yang sering dielukan oleh presiden Jokowi.

Kunjungan saya ke Halmahera Tengah menunjukkan kenyataan sebaliknya. Sepanjang perjalanan menuju Sagea untuk bertemu pegiat Save Sagea, saya dikejutkan adanya pemeriksaan militer sebelum memasuki area Weda. Padahal jaraknya cukup jauh.

Setelah melewati Weda, jalanan berdebu sepanjang melintasi Lelilef. Di area industri PT IWIP ini, saya menjumpai bandara. Ada banyak cerobong tinggi dengan garis merah mengeluarkan asap kehitaman. Rupanya pembangkit listrik tenaga batubara. Ada empat belas pembangkitan baru yang dibuat. Puluhan PLTB ini memproduksi hingga 4,500 mega watt kebutuhan listrik untuk smelter.

Nikel, bahan baku battery, dihasilkan dari industri smelter seperti ini. Sumber daya listrik industry smelter ini berasal dari Batubara, energi kotor yang merusak ekologi. Dalam hitungan kasar, untuk menghasilkan 4,500 megawatt dibutuhkan 18 juta ton batubara per tahun. Jumlah olahan batubara di area ini berpotensi hasilkan emisi CO2 sejumlah 51 juta ton.

Saya sungguh heran dengan kampanye kendaraan listrik yang pada kenyataannya justru mengakselerasi peningkatan batubara. Bagaimana tidak, target adanya 136 smelter baru pada tahun 2025. Seperti di IWIP, ratusan industri itu tentu membutuhkan pasokan leistrik yang besar. Jika menggunakan batubara seperti di IWIP, berapa juta ton emisi yang disumbang dari industri ini.

Yang mesti dicermati, kerusakan alam yang makin menggila. Kalimantan yang memiliki deposit Batubara berisiko lebih rusak dengan adanya industry-industri baru yang membutuhkan pasokan Batubara. Jatam mencatat lebih dari 80 ribu lubang tambang yang dibiarkan oleh industri batubara Indonesia. Sudah membunuhi puluhan anak-anak.

Sumber daya mineral yang diolah juga mengincar banyak wilayah kepulauan di Indonesia Timur. Halmahera sudah merasakan dampak ekologi memburuk sejak adanya industri Nikel. Lelilef tidak mampu menyediakan air bersih tawar dari tanahnya. ISPA tercatat meningkat sangat tinggi.  Sagea mulai mendapati air sungai yang berubah kecoklatan pada waktu-waktu tertentu. Banjir besar terjadi pada Juli 2024. Dampak buruk industri ini harus ditanggung masyarakat sekitar industri smelter.

Lapindo dan Keselamatan Warga

Lapindo tidak akan berakhir dalam waktu dekat dalam mengganggu kehidupan warga di Sidoarjo. Tidak ada informasi kapan lumpur berhenti menyembur. Dampak-dampak perusakannya masih dirasakan hingga kini. Air di desa-desa sekitar tanggul lumpur Lapindo tidak bersih. Bau dan terasa gatal. Udaranya juga seringkali tercium busuk pada area yang searah dengan area tanggul.

Air sumur juga tidak baik. Pemeriksaan terakhir pada lima sumur warga pada Mei 2024 menunjukkan kualitas sumur yang tercemar. Kualitas air ini pernah diperiksa oleh Walhi JAwa Timur pada tahun 2015. Ditemukan logam berat pada air dan sedimen sungai. Logam berat jenis Timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) juga terdeteksi pada produk budidaya perikanan.  Logam berat mmpengaruhi Kesehatan. Sifatnya karsinogenik, bisa memicu kanker.

H2S dan PAH masih terdeteksi. Saya tidak mendapati laporan khusus pemantauan yang dilakukan oleh lembaga tertentu pada wilayah ini. Sekitar emapt tahun lalu, angka stunting dikawasan ini menjadi isu. Sidoarjo mencatat angka stunting tinggi. Beberapa desa di sekitar tanggul lumpur, menyumbang angka tiggi.

Warga yang secara mandiri memeriksakan kesehatan diri dengan melakukan general medical check up  mendapati kenyataan bahwa mereka tidak baik-baik saja. Ginjal dan saluran kencing sebagian besar warga ini tidak norma. Lebih dari separuhnya memiliki tekanan darah tinggi. Tiga diantaranya mengalami pembengkakan jantung.

Rokhim, korban Lapindo yang kini tinggal di Jabon merasakan dampak kesehatan. Ia sempat mengalami serangan jantung. Saat ini sudah normal. Jantungnya masih bengkak. Ia dulu tinggal di desa Besuki. Desa yang warganya baru bisa pindah pada sekitar 2013. Tujuh tahun paska tinggal berdampingan dengan tanggul lumpur Lapindo.

Desa sekitar tanggul lumpur Lapindo ada yang masih dihuni. Warga Gempolsari seperti Siti, mengeluhkan kondisi lingkungan yang buruk. Air sumur di rumahnya berwarna kecoklatan. Licin saat terkena kulit. Area di sekitar rumahnya juga banyak genangan. Tidak ada pihak Lapindo atau pemerintah yang memberikan informasi apa yang bisa dilakukan agar mereka tidak berisiko mendapatkan dampak lumpur Lapindo.

Celakanya, teror pada kehidupan warga masih terus akan berlanjut. Pada tahun 2018, mereka sudah mendapatkan ijin perpanjangan mengelola blok Brantas selama 20 tahun kedepan. Di desa lain, perusahaan ini mendapatkan persetujuan untuk melakukan pengeboran. Kedungbanteng, salah satu desa letak sumur pengeboran, mengalami banjir setiap tahun.

Disinformasi

Informasi tidak benar yang diberikan untuk tujuan tertentu merupakan praktik disinformasi. Kampanye krisis iklim dengan penanganan melalui transisi energi menurut saya hanyalah bahasa yang digunakan untuk maksud yang lain. Kampanye transisi itu, disinformasi.

Kebijakan hilirisasi menunjukkan dengan terang benderang akal-akalan itu. Proyek seperti hilirisasi nikel, yang dimaksudkan untuk mendukung pengembangan baterai kendaraan listrik, justru meningkatkan penggunaan bahan bakar fosil untuk industri smelternya.

Proyek-proyek mengatasnamakan energi bersih dan terbarukan justru terlihat tidak menghormati warga lokal yang tidak menyetujui perubahan yang terjadi di wilayahnya. Justru warga yang mempertahankan haknya ini seringkali direpresi. Sungguh tidak adil. Akselerasi dan ekspansi industri energi yang berdampak besar itu sebenarnya ditujukan untuk melayani siapa?