Kota Batu, wilayah strategis di hulu DAS Brantas, menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sampah. Tumpukan sampah di TPA Tlekung telah mencapai 30 meter, melampaui kapasitas sejak 2017. Situasi ini diperburuk oleh peningkatan produksi sampah, terutama dari sektor pariwisata. TPA yang dirancang untuk menampung sampah selama sembilan tahun terus digunakan hingga saat ini, menyebabkan ancaman pencemaran lingkungan dan risiko longsor yang membahayakan pemukiman warga.
Krisis pengelolaan ini semakin terlihat dengan adanya pencemaran limbah cair (lindi) yang mencemari Sungai Sabrangan. Sungai tersebut merupakan sumber air bagi ratusan kepala keluarga di wilayah sekitar. Dampak dari pencemaran ini sudah dirasakan sejak 2020, dengan perubahan warna air sungai menjadi coklat dan bau menyengat. Protes warga terhadap masalah ini semakin intensif, namun penanganannya belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Produksi sampah Kota Batu yang meningkat hingga 158 ton per hari di musim liburan juga menimbulkan permasalahan lain. Infrastruktur seperti Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPS3R) hanya tersedia di 18 dari 24 desa/kelurahan, belum mampu menampung volume sampah yang ada. Penutupan sementara TPA Tlekung pada 2023 bahkan memicu pembakaran sampah secara sembarangan, yang berdampak pada kebakaran lahan dan polusi udara.
Kajian ini menyoroti berbagai kelemahan dalam tata kelola sampah di Kota Batu, termasuk minimnya partisipasi masyarakat, ketidakkonsistenan implementasi regulasi, serta kurangnya transparansi data dari pemerintah. Dengan meningkatnya urgensi masalah ini, langkah nyata dari berbagai pihak menjadi sangat krusial untuk mengatasi krisis ini dan melindungi lingkungan serta kesehatan masyarakat di Kota Batu.
Selengkapnya dapat di unduh pada link berikut:
https://bit.ly/KajianSampahBatu