Keadilan untuk Muhriyono Petani Kecil Dari Desa Pakel

Pada Jumat, 8 November 2024, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi yang dipimpin oleh Kurnia Mustikawati, S.H. menjatuhkan vonis bersalah terhadap Muhriyono dengan hukuman sembilan bulan penjara. Sebelumnya, Penuntut Umum telah menuntut Muhriyono dengan hukuman satu tahun enam bulan penjara, mengacu pada Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP.

Meski vonis ini lebih ringan dari tuntutan awal, tapi tetap saja rasa keadilan bagi Muhriyono belum terwujud. Seusai pembacaan vonis, Tim Hukum Pembela Petani yakni dari LBH Surabaya dan LBH Mas Alit Banyuwangi menyampaikan ke publik, bahwa Muhriyono akan mengajukan banding, hal ini dilakukan demi memperjuangkan keadilan yang seharusnya didapatkan oleh Muhriyono.

Sebagai seorang petani sederhana atau dalam istilah pemerintah pra-sejahtera alias miskin dari Desa Pakel, Muhriyono telah menjadi korban dari ketidakadilan struktural yang kerap kali menghantui masyarakat yang hidup di tengah konflik agraria.

Dalam pembelaannya, Tim Hukum Pembela Petani mengungkapkan, bahwa sejumlah kejanggalan terjadi dalam proses pembuktian, dari digelarnya sidang dengan metode hybrid, di mana Muhriyono menjalaninya dari lembaga pemasyarakatan, padahal aturan darurat COVID 19 sudah tidak berlaku.

Meski pendamping hukum protes mengenai keputusan tersebut, tetapi apa yang disampaikan diabaikan oleh Hakim yang bertugas. Kemudian, sidang sering ditunda mendadak oleh Majelis Hakim dari jadwal yang semula sudah ditentukan. Lalu kejanggalan yang paling kentara ialah terkait dengan kualitas kesaksian dari saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Pertama, inkonsistensi dan asumsi saksi menjadi sorotan tajam dalam sidang, terlebih lagi beberapa bagian dari keterangan para saksi a charge—mereka yang mendukung tuduhan Penuntut Umum—menimbulkan banyak tanda tanya.

Kedua, terdapat ketidaksesuaian signifikan antara kronologi peristiwa dengan hasil visum et repertum, yang seharusnya menjadi bukti obyektif dalam menguatkan atau membantah tuduhan.

Kisah Muhriyono adalah satu dari banyaknya kasus yang memperlihatkan wajah buram ketidakadilan yang dihadapi petani-petani kecil di Indonesia. Tuduhan pemukulan terhadap seorang security perkebunan, M. Sirat alias Pak Rusli, yang dialamatkan pada Muhriyono, diduga kuat merupakan upaya untuk mendiskreditkan dan menekan masyarakat Pakel yang terus memperjuangkan hak atas tanahnya.

Terungkap dalam sidang, bahwa berbagai upaya intimidasi dilakukan terhadap petani-petani Rukun Tani Pakel oleh pihak keamanan perkebunan. Tanaman pohon pisang yang hampir panen milik warga dirusak, lahan-lahan pertanian mereka diganggu, dan segala upaya dilakukan untuk membuat mereka tunduk dan menyerah dalam menghadapi konflik agraria yang berlangsung bertahun-tahun dengan PT. Bumisari Maju Sukses.

Sayangnya, konflik ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah maupun institusi yang seharusnya berperan dalam menyelesaikan permasalahan agraria. Hingga kini, masyarakat Pakel tetap hidup dalam ancaman dan ketidakpastian, sementara perusahaan besar melenggang dengan kekuatan modal dan pengaruhnya.

Keadilan bukanlah hak eksklusif bagi mereka yang kuat dan kaya, melainkan hak asasi bagi setiap individu tanpa pandang bulu. Kasus Muhriyono seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua tentang perlunya reformasi hukum dan kebijakan yang berpihak pada masyarakat kecil.

Dukungan dari masyarakat, pejuang hak asasi manusia, dan mereka yang peduli pada keadilan agraria sangatlah dibutuhkan dalam perjuangan ini. Mari kita suarakan #KeadilanUntukMuhriyono dan #RebutKembali Pakel untuk mengingatkan mereka yang berkuasa bahwa keadilan adalah milik kita bersama.