Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) adalah spesies endemik yang hanya ditemukan di Pulau Jawa. Dengan tubuh sepanjang 60-70 cm, elang ini terkenal dengan jambul khas dan bulu cokelat kemerahan di kepala, serta memiliki makna simbolis sebagai inspirasi dari lambang negara Indonesia, Garuda.
Namun, terlepas dari pentingnya, keberadaannya kian terancam akibat rusaknya habitat, alih fungsi lahan, dan berbagai tekanan manusia. IUCN telah mengklasifikasikannya sebagai spesies terancam punah sejak 2016 karena populasinya menurun drastis selama beberapa dekade.
Meski sebuah penelitian terbaru dari Syartinilia dkk. pada 2023 mencatat peningkatan populasi elang Jawa dari 325 pasangan kawin pada 2009 menjadi 511 pasangan pada 2023, faktanya 70% habitat mereka hanya terlindungi di kawasan konservasi. Sisanya tersebar di luar kawasan lindung, bahkan di area lahan pertanian dan perkebunan.
Hal ini menandakan bahwa elang Jawa mampu beradaptasi di luar kawasan konservasi selama ekosistemnya tetap terjaga. Sebagai bioindikator, kehadirannya menunjukkan keseimbangan lingkungan dan keanekaragaman hayati, serta kesehatan ekosistem hutan di Pulau Jawa.
Beberapa populasi elang Jawa masih dapat ditemukan di kawasan hutan di Jawa Timur, seperti Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dan hutan Gunung Pucung di Kota Batu, sebagaimana yang dilaporkan oleh Profauna.
Di TNBTS, terdapat sekitar 35 individu elang Jawa yang menjadikannya salah satu kawasan konservasi utama bagi spesies ini. Namun, ancaman dari alih fungsi lahan, terutama di hutan lindung dan kawasan produksi, tetap menekan habitat elang Jawa.
Di kawasan TNBTS yang juga menjadi bagian dari Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Singosari, pariwisata masif meningkatkan risiko terhadap kelestarian habitat mereka jika tidak dikelola dengan prinsip konservasi.
Upaya pelestarian elang Jawa membutuhkan pendekatan yang tidak hanya berfokus pada populasi, tetapi juga pada pelestarian habitat yang berkelanjutan. Meskipun rencana pembangunan Pusat Rehabilitasi Elang Jawa di Kabupaten Malang pernah digagas pada 2021, hingga kini belum ada kejelasan dalam realisasinya.
Selain itu, kebijakan tata ruang kerap memprioritaskan pengembangan ekonomi tanpa memperhatikan keseimbangan ekologi. Dalam konteks ini, pelaksanaan tata kelola yang baik, transparansi, partisipasi masyarakat, dan penegakan hukum adalah tantangan besar.
Tata ruang yang lemah, tidak adanya sanksi tegas atas pelanggaran, serta kurangnya perhatian terhadap isu konservasi dalam masa kampanye politik seperti Pilkada, menjadi penghambat bagi pelestarian elang Jawa.
Lalu, bagaimana seharusnya pemerintah daerah merespons? Pemerintah daerah perlu menyusun kebijakan tata ruang yang berorientasi pada konservasi, terutama di kawasan penyangga habitat elang Jawa, serta mempercepat pembangunan Pusat Rehabilitasi Elang Jawa dengan dukungan anggaran yang memadai.
Tidak hanya itu, partisipasi publik sangat penting pada konteks ini, terutama dalam perencanaan, pengawasan, dan implementasi kebijakan tata ruang yang berbasis lingkungan. Sebagai bentuk melibatkan masyarakat dalam upaya penyelamatan elang Jawa.
Isu pelestarian elang Jawa semestinya diangkat dalam setiap siklus politik lokal, termasuk Pilkada. Mengintegrasikan konservasi dalam kebijakan lokal, lalu diarengi dengan komitmen pemerintah daerah, hal tersebut dapat menjadi langkah konkret untuk melindungi habitat elang Jawa.
Upaya pelestarian ini tidak hanya bertujuan mempertahankan satu spesies, tetapi juga menjadi simbol komitmen Indonesia, khususnya Kabupaten Malang dan Kota Batu dalam ikhtiarnya untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Tanpa komitmen politik yang kuat dan tata kelola lingkungan yang baik, masa depan elang Jawa dan ekosistemnya akan terus berada di ujung tanduk. Sehingga nasib elang Jawa pun turut bergantung pada faktor politik.
Lantas selama ini apakah hasil dari Pilkada sudah menjawabnya? Atau justru akan semakin memperparah keadaan elang Jawa dan ekosistemnya?
Informasi lebih lanjut:
informasi@walhijatim.org