Ruang hidup nelayan di Surabaya saat ini sangat rentan oleh ancaman ocean grabbing atau perampasan atas ruang laut dalam bentuk reklamasi berkedok proyek strategis nasional (PSN). Hal ini terpampang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 6 Tahun 2024 berisi 14 PSN baru. Salah satu isinya menjelaskan tentang pengembangan kawasan pesisir terpadu Surabaya Waterfront Land (SWL). Kata waterfront land diartikan sebagai penggunaan lahan di tepi air atau tempat yang bersinggungan langsung dengan air seperti sungai, muara atau sejenisnya.
Dari beberapa sumber yang menjelaskan tentang konsep waterfront diyakini muncul dan mulai dipraktekkan pada tahun 1970 an, ketika seorang pebisnis Amerika, James Rouse ingin mengubah lanskap kota-kota bandar di Amerika, salah satunya yakni Baltimore. Namun demikian, hal ini menjadi persoalan ketika dilandasi oleh pandangan miris ketika menyikapi kondisi ruang yang dikatakan kumuh di level mengkhawatirkan, yang mana selanjutnya muncul sebuah ide berupa pembangunan waterfront yang mendapat dukungan dari pemerintah setempat.
Pola tersebut memiliki kemiripan dengan wilayah pesisir Surabaya Utara yang dilandasi oleh pandangan serupa tentang kondisi ruang acap kali dikatakan kumuh, semrawut atau tidak beraturan, serta diperparah dengan stigma rasial yang kencang khususnya di lingkar masyarakat Surabaya. Nampaknya isu ini sengaja dimainkan di media sosial oleh segelintir dari orang yang memiliki relasi kuasa dan modal dengan kepentingan atas pesisir Surabaya Utara, serta sebagai legitimasi untuk menguasai secara utuh dan mereproduksi ruang tersebut dalam satu kesatuan yakni reklamasi.
Siti Aminah dalam “Konflik dan Kontestasi Penataan Ruang Kota Surabaya” dengan menggunakan pendekatan sosio-spasial pula menerangkan bahwa praktik reklamasi di Pantai Kenjeran dengan dalih kebutuhan ruang sepertinya tidak terpisahkan dari stigma terhadap pesisir yang dianggap sebagai kawasan tidak berguna, kosong, dan perlu dibangun supaya bermanfaat. Hal ini dapat dilihat dari rekam jejak proyek yang berlalu di Pantai Kenjeran untuk perluasan perumahan dan apartemen Laguna Indah begitu sarat akan kepentingan pengembang (Aminah, 2015).
Padahal masih ada cara lain untuk memperbaiki kondisi ruang pesisir dan laut Surabaya Utara yang dapat dilakukan selain mengandalkan pembangunan fisik yang menghabiskan biaya amat besar. Seperti dengan melakukan upaya pemulihan untuk memperbaiki kualitas ekosistem tersebut yang masih tersedia, walaupun tidak dapat mengembalikan kondisi seperti sedia kala dan dalam prosesnya juga menghabiskan waktu cukup lama.
Kendati demikian, hal ini dapat menjadi solusi atas keberlanjutan bagi masyarakat pesisir dan nelayan, serta untuk menjawab berbagai tantangan soal isu lingkungan seperti krisis iklim global yang semakin parah dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, pemerintah di level pusat dan di level daerah seakan menutup mata atas kondisi pesisir dan laut. Dari segi regulasi juga dengan mudah diutak-atik dan diterbitkan oleh pemerintah, selain itu tidak ada keterbukaan atas informasi atau melibatkan masyarakat secara utuh menyangkut proyek reklamasi.
Tidak hanya itu, untuk memenuhi hasrat dalam penguasaan ruang di wilayah pesisir Surabaya Utara juga ada glorifikasi secara berlebihan soal proyek reklamasi di media sosial yang mana meningkatkan ekonomi nelayan. Padahal proyek tersebut justru akan berpotensi dalam mempertebal kesenjangan sosial antara Surabaya dan daerah-daerah lain di Jawa Timur, serta mencederai nelayan lokal yang saat ini tidak berkutik oleh wacana reklamasi.
Selanjutnya penetapan proyek tersebut juga dinilai cacat regulasi oleh sebagian pakar yang mana telah melanggar peraturan-peraturan sebelumnya seperti Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2024 Tentang Rencana Tata Ruang (RTRW) Provinsi Jawa Timur Tahun 2023-2043, dan Perda Kota Surabaya Nomor 12 Tahun 2014 Tentang RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034.
Pengembang utama proyek SWL adalah PT. Granting Jaya yang merupakan pengelola Kenjeran Park. Adapun total luasan proyek SWL di pesisir Utara Surabaya yakni 1184 ha yang menyasar Kenjeran sampai Pantai Timur Surabaya, dan terbagi menjadi 4 blok meliputi; blok A 84 ha, blok B 120 ha, blok C 380 ha, dan blok D 500 ha. Luasan 1080 dari 1184 ha yang direncanakan akan dibuat pulau buatan. Dalam proses reklamasi juga membutuhkan material tambang berupa pasir atau sejenisnya dalam jumlah sangat besar.
Setiap 1 hektar reklamasi membutuhkan 632.911 meter kubik pasir (Eknas Walhi, 2017). Dapat dibayangkan jika menguruk laut seluas 1080 ha itu berapa total meter kubik pasir yang dibutuhkan. Hal tersebut berpotensi dalam meningkatkan praktik penambangan pasir darat seperti di Penanggungan-Pasuruan yang mana mencemari udara karena melepaskan karbon dalam jumlah besar, begitu pula dengan pengerukan pasir laut untuk menyokong kebutuhan reklamasi.
Wacana proyek tersebut menuai aksi penolakan keras dari masyarakat pesisir Surabaya yang merupakan nelayan, karena dianggap mengancam ekosistem pesisir dan laut. Para nelayan akan kehilangan zona tangkapan ikan yang dijadikan sebagai tempat reklamasi. Aktivitas menguruk material pasir juga menimbulkan pencemaran air laut secara ekstrim, berdampak buruk pada penurunan kualitas sampai kerusakan ekosistem laut. Hal ini juga membuat ikan-ikan yang hidup tidak mau tinggal lagi dan pergi meninggalkan perairan tersebut.
Dampak lain dari proyek tersebut juga akan meningkatkan resiko penurunan muka tanah lebih cepat terutama di wilayah pesisir. Hal ini dapat terjadi karena luasan 84 ha di darat untuk pusat pariwisata dan hunian akan semakin membebani wilayah Pesisir Surabaya Utara. Dengan begitu, wilayah tersebut akan semakin rentan dari ancaman banjir rob. Keberadaan pulau-pulau itu belum tentu menjamin jika wilayah permukiman pesisir akan terbebas dari ancaman tersebut. Di sisi lain habitat mangrove di pantai timur Surabaya yang luasannya terus merosot sejak masa Orde Baru karena akhir-akhir ini ada upaya ekspansi real estate besar kemungkinan akan terancam.
Hal ini menandakan kalau reklamasi merupakan cara ampuh untuk merusak ekosistem pesisir dan laut. Dampak tersebut tidak hanya nelayan yang merasakan, warga yang hidup di tengah kota dan jauh dari pesisir juga akan berpotensi terdampak. Dilansir dari selalu.id (13 Agustus 2024) menjelaskan reklamasi pulau D jika dilakukan maka akan berdampak buruk pada penyumbatan 9 saluran air dari seluruh Surabaya, sehingga tidak dapat keluar menuju laut. Dengan kata lain, hal ini membuat Surabaya menjadi semakin rentan dari banjir.
Kehadiran proyek tersebut tentu menjadi mimpi buruk bagi nelayan. Mereka secara langsung merasakan dampak buruk jika reklamasi itu dilakukan. Lambat laun nelayan terpinggirkan dari ruang pesisir karena geraknya semakin terbatas. Dari sisi ekonomi nelayan juga akan mengalami kerugian besar seperti penghasilan semakin menurun karena hasil tangkapan ikan mereka berkurang drastis, bahkan kehilangan mata pencaharian menjadi keniscayaan jika kebebasan atas ruang laut ini dirampas untuk kepentingan reklamasi.
Dilansir dari tempo.co (5 September 2024) menjelaskan kurang lebih 8000 kepala keluarga nelayan dari 12 kampung pesisir akan kehilangan pekerjaan karena reklamasi. Disini yang pasti mendapatkan keuntungan atas proyek tersebut adalah pemilik modal, bukan nelayan. Sementara itu yang menikmati aneka fasilitas mewah yang mahal nanti bukan nelayan, akan tetapi hanya segelintir orang dengan kemapanan ekonomi yang dapat mengakses ruang tersebut.
Referensi:
Siti Aminah, Konflik dan Kontestasi Penataan Ruang Kota Surabaya. Masyarakat, Jurnal Sosiologi, Vol. 20, No. 1 [2023], Art. 5.
https://selalu.id/news-7812-mega-proyek-reklamasi-terrealisasi-surabaya-tenggelam.