26 September 2024 – Sembilan tahun sejak kematian tragis Salim Kancil, seorang petani dari Desa Selok Awar-awar, Kabupaten Lumajang, perjuangannya tetap hidup sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penghancuran lingkungan. Kematian Salim Kancil, yang disebabkan oleh aksi kekerasan karena menolak tambang pasir besi, masih menggema di hati masyarakat, terutama mereka yang memperjuangkan hak hidup dan lingkungan.
Salim Kancil, seorang petani sederhana dan kepala keluarga yang kehilangan nyawanya pada 26 September 2015. Beliau memperjuangkan hak atas lahan pertanian yang menjadi sumber kehidupan bagi keluarganya dan masyarakat sekitar. Desa Selok Awar-awar, yang berada di dekat pesisir, tidak memiliki banyak lahan pertanian. Bersama 40 warga lainnya, Salim berhasil mengubah lahan rawa menjadi sawah produktif. Sawah tersebut menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak keluarga, dengan setiap hektar sawah mampu menghasilkan sekitar 6 ton gabah atau setara dengan 24 juta rupiah per musim tanam. Bagi mereka, sawah adalah tulang punggung kehidupan.
Namun, segalanya berubah ketika tambang pasir besi yang dioperasikan oleh PT IMMS mulai masuk ke desa tersebut. Tambang ini mendapat izin operasi seluas 872,1 hektar pada tahun 2011, dan mulai beroperasi secara ilegal bahkan sebelum izin usaha resmi dikeluarkan sejak tahun 2010. Operasi tambang itu membawa dampak lingkungan yang serius, termasuk rusaknya jalur irigasi pertanian, hancurnya gumuk pasir, dan masuknya air laut yang merusak sawah-sawah warga. Pada 2013, sawah yang dikelola oleh Salim dan warga lainnya rusak parah akibat banjir air laut, sehingga mereka mengalami gagal panen. Kehidupan petani yang telah bertahun-tahun berjuang untuk lahan tersebut hancur dalam sekejap.
Melihat dampak buruk tambang terhadap lingkungan dan kehidupan warga, Salim bersama rekannya, Tosan, memutuskan untuk bersuara menolak tambang. Mereka mendirikan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir sebagai wadah perlawanan terhadap eksploitasi tambang pasir besi. Perlawanan ini menimbulkan ketegangan antara warga dan pihak tambang, yang didukung oleh elite desa, termasuk Kepala Desa Selok Awar-awar, Haryanto, yang juga berperan sebagai “broker” tambang.
Protes warga tidak berjalan mudah. Satu per satu warga yang tergabung dalam forum tersebut mulai mundur akibat intimidasi dan ancaman kekerasan. Hanya Salim dan Tosan yang tetap bertahan, meski harus berjuang sendirian. Pada puncak konflik, 26 September 2015, sekelompok preman yang disebut “Tim 12,” yang dikoordinasi oleh pihak elite desa, menyerang Salim dan Tosan secara brutal. Tosan diseret dari rumahnya, dibacok, dan dipukuli hingga tak sadarkan diri. Beruntung, Tosan berhasil diselamatkan oleh warga lainnya dan mendapatkan perawatan medis.
Namun, nasib tragis menimpa Salim Kancil. Ia diseret dari rumahnya saat menggendong cucunya, dibacok, dan dipukuli hingga tewas. Kekerasan ini terjadi di depan keluarganya, menambah penderitaan bagi mereka yang ditinggalkan. Kematian Salim Kancil mengguncang masyarakat Jawa Timur dan menarik perhatian luas. Kasus ini segera mendapat sorotan dari media nasional, serta memicu aksi solidaritas dari berbagai kelompok masyarakat sipil.
Polisi akhirnya menangkap dan mengadili pelaku pembunuhan, termasuk Haryanto, kepala desa yang terlibat dalam konspirasi ini. Namun, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku dirasakan tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami oleh Salim dan keluarganya. Meski begitu, ada satu kemenangan kecil dari perjuangan ini: tambang dari PT IMMS berhasil ditutup, dan wilayah pesisir Selok Awar-awar ditetapkan sebagai kawasan lindung.
Pelajaran Dari Perjuangan Salim Kancil
Tragedi ini mengajarkan kita bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan dan penghancuran lingkungan tidak memerlukan segudang teori atau strategi rumit. Keberanian dan tekad untuk mempertahankan ruang hidup adalah kunci. Salim Kancil, Tosan, dan warga Selok Awar-awar menunjukkan bahwa perlawanan bisa dimulai dari rasa tanggung jawab terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupan.
Hari ini, kita mengenang Salim Kancil sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak hidupnya dan masa depan keluarganya. Perjuangannya tidak hanya tentang mempertahankan sawah, tetapi juga tentang melindungi lingkungan dari eksploitasi yang merugikan banyak orang. Untuk melanjutkan perjuangan Salim Kancil, kita harus berdiri bersama warga yang menolak tambang dan berjuang untuk lingkungan di mana pun mereka berada.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Nama Kontak: Wahyu Eka Styawan (Direktur WALHI Jawa Timur)
Email: wahyuwalhijatim@walhi.or.id
Nomor Telepon: 082141265128