Surabaya, 26 Agustus 2024
PEMKAB Banyuwangi Wajib Selesaikan Konflik Agraria di Desa Pakel menggunakan Kebijakan Penyelesaian Konflik Agraria Bukan Penyelesaian Konflik Sosial
Pada tanggal 16 Agustus 2024, Pemerintah Kabupaten (PEMKAB) Banyuwangi melalui Tim Terpadu (TIMDU) mengeluarkan surat edaran bernomor 545/901/TIMDU/429.206/2024 yang berisikan tentang “Penjelasan dan Penegasan Sertifikat HGU PT. Bumi Sari Maju Sukses di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi,”. Kurang lebih isi dari surat tersebut menekankan bahwa PT. Bumisari Maju Sukses sebagai pemilik sah HGU berdasarkan keterangan dari Kantor Pertanahan (Kantah) BPN Banyuwangi dengan nomor 934/600.1.35.10/VI/2024.
Surat dari BPN Banyuwangi tersebut dikeluarkan pada 20 Juni 2024, yang kurang lebih isinya menegaskan bahwa HGU PT. Bumisari telah disahkan sejak 1964 melalui SK Menteri Agraria No. SK.4/HGU/64 tertanggal 20 Desember 1964. Dengan rincian sebagai berikut, SHGU PT. Bumisari terbit yakni SHGU No. 6/Songgon dengan Luas 9.995.500 M2 dan SHGU No. 2/Segobang dengan luas 1.902.600 M2 tgl. 21-04-1972, a.n. PT. Bumisari.
Surat edaran tersebut cukup tendensius, karena warga Desa Pakel dilarang memasuki dan melakukan aktivitas di lahan Desa Pakel yang dikuasai oleh HGU PT. Bumisari. Selanjutnya surat tersebut juga menekankan akan dilakukan upaya penyelesaian secara persuasif, namun apabila tidak dapat diselesaikan akan dilakukan penanganan secara hukum yang berlaku.
Konflik Agraria Struktural di Desa Pakel
Perlu digarisbawahi, apa yang terjadi di Desa Pakel merupakan “konflik agraria struktural”. Konflik agraria struktural merujuk pada pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai siapa yang berhak atas akses pada tanah, sumber daya alam (SDA), dan wilayah antara suatu kelompok rakyat pedesaan dengan badan penguasa/pengelola tanah yang bergerak dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya; dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak, secara langsung maupun tidak, menghilangkan klaim pihak lain (Rachman, 2013).
Adapun kondisi-kondisi yang melestarikan konflik agraria struktural tersebut terus terjadi adalah karena sempitnya ruang lingkup dan terhambatnya pelaksanaan program yang disebut “Reforma Agraria” dalam membereskan ketimpangan penguasaan tanah dan SDA, serta akar masalah yang yang bertumpu pada semakin menajamnya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan peruntukan tanah serta dominasi dan ekspansi badan-badan usaha raksasa dalam industri ekstraktif, produksi perkebunan dan kehutanan, serta konservasi (Rachman, 2013). Diketahui bahwa 800-an Kepala Keluarga (KK) yang turut berjuang dalam organisasi Rukun Tani Sumberejo Pakel, sebagian besarnya adalah warga yang tidak memiliki lahan pertanian sama sekali (buruh tani).
Dalam praktiknya, konflik agraria yang kronis dan laten, akan memicu perluasan konflik menjadi konflik-konflik lain, misalnya menciptakan krisis sosial-ekologi, termasuk yang mendorong penduduk desa bermigrasi ke wilayah-wilayah baru untuk mendapatkan tanah pertanian baru, atau pergi dan hidup menjadi golongan miskin kota. Hal ini memicu tumbuhnya sumber masalah baru di kota-kota (Rachman, 2013).
Maka dengan pendekatan di atas, (baca: kasus Desa Pakel merupakan “konflik agraria struktural”), penyelesaiannya harus mengacu dan merujuk pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), Nomor 5 Tahun 1960. Bukan sebagai “konflik sosial” sebagaimana pendekatan yang digunakan oleh TIMDU Banyuwangi dengan merujuk pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012.
Penyelesaian Konflik Agraria
Merujuk pada UUPA pasal 13 ayat (2), seharusnya dalam kasus Pakel ini: pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
Melalui pasal 13 ayat 2 tersebut, dapat membuka ruang keadilan untuk menjadi legitimasi bagi warga Pakel dalam mendapatkan hak atas tanah yang mereka perjuangkan. Terlebih perjuangan hak atas tanah yang mereka lakukan tercatat secara baik sudah berumur hampir 1 abad.
Selain itu, negara seharusnya juga dapat memberikan kemudahan dan perlindungan hukum atas persoalan tanah dan ruang hidup yang dihadapi warga Pakel, seperti yang telah diatur dalam UUPA, pasal 9 ayat 2, yang berbunyi: “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi sendiri maupun keluarganya”.
UUPA sejatinya bertujuan untuk melindungi dan menjamin hak rakyat, khususnya rakyat miskin, atas lahan dan pemanfaatan kekayaan alam sebagai upaya menciptakan keadilan sosial, salah satunya melalui program land reform (reforma agraria). Landreform yang dimaksud, ditujukan untuk melindungi dan menghormati kepentingan petani: petani kecil, ataupun buruh tani.
Dalam pasal 13 ayat 1 UUPA, juga telah ditegaskan bahwa: pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Penting untuk menggarisbawahi kembali sebuah pertanyaan kunci yang diajukan oleh ahli hukum agraria Prof. Maria S.W Sumardjono, dalam bukunya Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (2009, 20-21), yang sangat relevan dengan situasi di Desa Pakel saat ini:
“Bagaimana sebenarnya makna untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang menjadi landasan UUPA itu dipahami dan dan diterjemahkan secara benar dalam berbagai kebijakan yang mendukung atau relevan dengan bidang pertanahan yang dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat?”.
Salah satu jawaban kunci atas pertanyaan tersebut adalah politik pertanahan harus mencegah perbuatan yang bersifat memperkaya diri secara tidak adil bagi sebagian kecil masyarakat.
Maka dengan meletakkan kasus yang dialami oleh warga Desa Pakel melalui pendekatan “konflik sosial” sebagaimana yang digunakan oleh TIMDU Banyuwangi, jelas-jelas telah mengaburkan “konflik agraria” dan ketimpangan struktural serta fakta historis yang telah terjadi hampir 1 abad.
Lebih jauh, penyelesaian konflik agraria ini juga diakomodir dalam Perpres Nomor 62 Tahun 2023, yang secara khusus mengamanatkan bahwa penyelesaian konflik agraria harus dibentuk dan diselesaikan secara partisipatif melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dari tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten/kota. Oleh karenanya, Pemkab Banyuwangi menjadi salah langkah, apabila menempuh penyelesaian konflik yang terjadi di Desa Pakel hanya dengan membentuk TIMDU Pemkab Banyuwangi, terlebih juga hanya merujuk pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012.
Pandangan WALHI Jawa Timur
Lensa “konflik agraria struktural” menjadi sangat berguna dan penting dalam membaca, mengurai, sekaligus menyelesaikan kasus-kasus konflik agraria serupa di wilayah Banyuwangi lainnya, misal: Desa Alasbuluh dan Wongsorejo, Kecamatan Wongsorejo antara Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) dengan PT. Wongsorejo. Kami ingin menegaskan bahwa jika konflik-konflik agraria struktural, dipahami hanya sebatas problem kriminalitas rakyat, maka pendekatan agresif yang diterapkan sebagai konsekuensi dari pemahaman itu berakibat pada semakin rumitnya konflik-konflik agraria tersebut.
Situasi terkini di Pakel: kriminalisasi, intimidasi, dan kasus pembakaran pondok-pondok milik warga yang terus terjadi, akan semakin meruncing dan memperkeruh keadaan serta menjauhkan prinsip-prinsip keadilan pada hidup harian masyarakat.
Melalui pernyataan sikap ini kami, menyampaikan kepada Pemkab Banyuwangi untuk:
- Mencabut surat edaran bernomor 545/901/TIMDU/429.206/2024 yang berisikan tentang Penjelasan dan Penegasan Sertifikat HGU PT. Bumisari Maju Sukses di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi.
- Selesaikan konflik agraria Desa Pakel dengan menggunakan UUPA 1960, TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 dan PERPRES Nomor 62 Tahun 2023.
- Alihkan penyelesaian konflik agraria dari TIMDU ke GTRA Kabupaten Banyuwangi, sesuai dengan amanat aturan yang berlaku.
- Buka akses ruang partisipasi sebesar-besarnya dalam penyelesaian konflik agraria di Desa Pakel dengan melibatkan warga Desa Pakel, ahli agraria dan organisasi masyarakat sipil yang bekerja di isu agraria dan lingkungan.
- Libatkan Kementerian ATR/BPN, GTRA pusat dan Provinsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam penyelesaian konflik agraria di Desa Pakel.
Narahubung:
Wahyu Eka Styawan
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur
Wahyuwalhijatim@walhi.or.id