Meila Nurul Fajriah, perempuan pembela HAM dan pendamping korban kekerasan dilaporkan sebagai tersangka atas pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Ibrahim Malik (IM), pelaku kekerasan seksual. Kasus Meila menunjukkan bagaimana pembela hak asasi manusia (HAM) dapat menjadi korban kriminalisasi, yang pada gilirannya mengancam integritas sistem hukum dan hak-hak korban. Penetapan Meila terjadi saat ia melakukan pendampingan terhadap 30 korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Ibrahim Malik (IM).
Diawali pada April 2020, salah seorang penyitas yang meminta bantuan LBH Yogyakarta untuk menjadi kuasa hukumnya dikarenakan pihak kampus yang terkesan lamban dalam menyelesaikan permasalahn tersebut. Bersama dengan LBH Yogyakarta, Meila membentuk posko pengaduan bertujuan untuk memberikan akses keadilan yang layak bagi para korban, dikarena kan semakin banyaknya korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Ibrahim Malik (IM). Akan tetapi, langkah berani Meila dalam membela hak-hak para penyitas justru berujung membuat ia dikriminalisasi. Ia, dilaporkan oleh Ibrahim Malik (IM) atas tuduhan pencemaran nama baik dalam pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meila dilaporkan berdasarkan video youtube yang isinya adalah diskusi dan pembahasan tentang kekerasan seksual.
Penentapan Meila menjadi tersangka merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak perlindungan yang dijamin oleh hukum sebagai pembela HAM dan pendamping korban kekerasan seksual. Penetapan ini terkesan mengabaikan fakta-fakta yeng telah ditemukan terhadap 4 korban kekerasan seksual berdasarkan proses investigasi internal Universitas Islam Indonesia (UII) yang dilakukan oleh Ibrahim Malik. Rektor UII bahkan mencabut gelar mahasiswa berprestasi Ibrahim Malik setelah bukti-bukti kekerasan seksual yang dilakukannya terkuak.
Tindakan ini seharusnya memperkuat kedudukan Meila sebagai pendamping korban kekerasan seksual yang berjuang untuk memperoleh keadilan, bukan malah dikriminalisasi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Selain itu pasal 27A atas perubahan kedua UU ITE menyatakan perbuatan pencemaran nama baik tidak dapat dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau jika dilakukan karena terpaksa membela diri. Dalam hal ini, Meila adalah seorang yang memiliki kepentingan umum yaitu membela hak para korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Ibrahim Malik (IM).
Kriminalisasi terhadap Meila sebagai tersangka atas tuduhan pencemaran nama baik tersebut mengabaikan hak imunitas advokat. Pasal 16 Undang-Undang Adovokat menyatakan bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. Menggunakan pasal pencemaran nama baik untuk menuntut pembela HAM dan juga pendamping korban kekerasan seksual, adalah pelanggaran terhadap hak imunitas advokat.
Selain itu juga, kriminalisasi ini juga mengabaikan pasal 28 dan 29 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang mengatur hak pendampingan korban kekerasan seksuan untuk memperoleh perlindungan hukum. Pasal-pasal tersebut dirancang guna memastikan bahwa pendamping kroban kekerasan seksual, dapat bekerja tanpa takut terhadap tindakan balasan yang dapat menghambat proses dan upaya meraka dalam memperoleh keadilan. Menetapkan Meila sebagai tersangka menunjukan ketidakpedulian terhadap hak-hak pendamping korban kekerasan seksual. Penetapan ini justru membuat ancaman terhadap seluruh pembela HAM dan pendamping korban kekeresan seksual untuk memperoleh keadilan.
Kriminalisasi terhadap Meila memperlihatkan bahwa terdapat kecacatan sistem hukum negara kepada para pembela HAM dan pendamping korban kekerasaan dalam menegakkan keadilan. Tindakan kriminalisasi ini jelas merugikan individu, serta mengancam keberanian dan integritas seluruh sistem hukum di negara dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual.
Maka atas dasar tersebut kami menganggap bahwa Kriminalisasi terhadap Meila merupakan contoh nyata dari ketidakadilan sistem hukum negara terhadap pembela HAM dan pendamping korban kekerasan. Di mana upaya untuk membela korban kekerasan seksual harus didukung dan dilindung, bukan diancam dengan tindakan kriminalisasi ini. Kasus kriminalisasi terhadap Meila menciptakan preseden yang berbahaya di mana pembela HAM diperlakukan tidak adil hanya karena melaksanakan tugasnya.
Oleh karena itu, kami meminta agar Polda DIY segera menghentikan kriminalisasi terhadap Meila dan memastikan bahwa hak-hak pendamping korban kekerasan seksual ini dihormati dan dilindungi.
Narahubung
Wahyu Eka Styawan (Direktur ED WALHI Jatim)
wahyuwalhijatim@walhi.or.id
Penulis Narasi: Ririn (Internship WALHI Jatim)