Mangrove Di Jawa Timur Kian Terancam: Mempertanyakan Komitmen Pemerintah Dalam Pemulihan Kawasan Mangrove

 

Pada perhelatan Asean Senior Official on Forestry (ASOF) ke-27 yang diadakan di Bogor pada 16-19 Juli 2024 para delegasi Negara-negara ASEAN secara resmi menunjuk Indonesia sebagai ketua baru ASOF, nantinya Indonesia akan  memimpin berjalannya program kerja sama antar-negara Asean dalam Pengelolaan Hutan Lestari ini. Dalam pidato yang disampaikan oleh delagasi dari Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) secara khusus memberikan perhatian pada pengelolaan kawasan mangrove di Indonesia.

Hal ini tentu harus disambut secara serius, terutama dalam mengawal komitmen Pemerintah Indonesia dalam tata kelola kawasan mangrove yang selama ini dari tahun ke tahun selalu mengalami kemunduran. Dengan komitemen ini pemerintah harus diingatkan untuk berhenti melakukan alih fungsi lahan yang membabat kawasan mangrove, mengingat kondisi mongrove berada pada kondisi kritis, di mana dalam kurun waktu 40 tahun telah terjadi deforestasi kawasan mangrove sebesar 6,05 juta Ha (66%), dari yang sebelumnya seluas 9,36 juta Ha pada tahun 1980 menjadi hanya 3,31 juta Ha pada 2020. Alih fungsi lahan pada kawasan mangrove umumnya diubah menjadi perumahan, area tambak, maupun mengalami reklamasi. 

WALHI Nasional menemukan bagaimana tumpang tindih peraturan menjadi masalah utama dalam carut marutnya pemulihan dan pengelolaan kawasan mangrove, terutama setelah terbitnya UU Cipta Kerja dan PP 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan yang dalam beberapa pasal memperbolehkan kawasan ekosistem mangrove diubah untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional. 

Peraturan ini bertentangan dengan rencana kebijakan pemulihan mangrove yang terdegradasi atau kritis melalui percepatan rehabilitasi oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove dalam Perpres No 120 Tahun 2022, sehingga komitmen Pemerintah dalam pemulihan dan pengelolaan mangrove perlu dipertanyakan.

Mangrove di Jawa Timur Semakin Kritis

Dalam Peta Mangrove Nasional 2021 Provinsi Jawa Timur menjadi wilayah dengan luasan mangrove terbesar di Pulau Jawa dan Bali dengan total hutan mangrove mencapai 27.221 ha yang tersebar di sepanjang pesisir utara dan selatan dengan komposisi 47,26% merupakan mangrove kerapatan lebat, 46,08% mangrove kerapatan sedang dan 6,66% mangrove kerapatan jarang. 

Namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang patut di banggakan, dalam catatan walhi Jawa Timur “Hutan Mangrove di Jawa Timur Dalam Ancaman” berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wim Giesen Indonesian mangroves: an update on remaining area and main management issues, mangrove di Jawa Timur pada tahun 1985 memiliki luas sebesar 57.500 ha artinya ada degradasi sebesar 30.279 ha dalam kurun waktu 36 tahun apabila di kalkulasikan kawasan mangrove di Jawa Timur mengalami degradasi sebesar 841 Ha tiap tahun. 

Merujuk pada hasil pemantauan WALHI Jawa Timur di dua tempat yakni Madura dan Surabaya. Kami memperkirakan pada wilayah Madura pada 2023 terdapat penurunan kawasan mangrove  sekitar 3000 – 5000 Ha, hal ini dapat dilihat dari semakin berkurangnya sebaran hutan bakau di empat kabupaten di Madura.  Dari total 15.118,1 Ha yang tersebar di empat kabupaten kini tersisa sekitar 10.000 Ha saja. Merujuk pada hasil riset yang dikeluarkan oleh program studi kelautan Universitas Trunojoyo Madura dari total 15,118,1 Ha sebesar 6.324 Ha (41,8%) kawasan mangrove dalam kondisi rusak. 

Di Surabaya menurut laporan yang dirilis oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Timur kawasan mangrove di pantai timur surabaya (PAMURBAYA) lalu kami elaborasikan dengan temuan lapangan, keadaan mangrove di Surabaya terus mengelamai penyusutan dari yang sebelumnya seluas 3.300 Ha pada 1978 menyusut menjadi 2.504 pada 2020, dan kami memperkirakan kini mungkin tersisa 1.500- 2000 Ha. Penyusutan ini terjadi akibat alih fungsi kawasan mangrove menjadi perumahan. Sampai saat ini pun alih fungsi lahan menjadi masalah utama degradasi kawasan mangrove yang ada di Jawa Timur.

Menjawab Tantangan Degradasi Mangrove di Jawa Timur 

Kendati berbagai upaya pemulihan dan pengelolaan mangrove telah dicanangkan oleh pemerintah provinsi, pemerintah kota dan kabupaten namun nyatanya degradasi kawasan mangrove masih terus terjadi, apabila ditelaah lebih dalam kesalahan mendasar  ada pada level kebijakan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Timur hasil dari integrasi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K) bahkan RTRW di level daerah yang berantakan ditambah regulasi yang tumpang tindih menjadi faktor utama sulitnya pelaksanaan pemulihan dan perlindungan kawasan mangrove. 

Sebagai contoh penetapan kawasan strategis nasional (PSN) seperti di Surabaya yang baru-baru ini ditetapkan sebagai kawasaj Proyek Starategis Nasional (PSN) waterfront city, sangat bertentangan dengan status kawasan lindung pesisir, karena akan memicu degradasi pesisir serta rusaknya kawasan mangrove di Surabaya. Apa yang terjadi di Surabaya merupakan bentuk kebijakan salah arah dari pemerintah nasional yang dilegitimasi oleh penataan ruang di daerah. Sehingga lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi daripada pemulihan kawasan pesisir.

Implikasi dari bermasalahnya aneka regulasi ini menyebabkan banyak sekali penerbitan izin pembangunan secara sembarangan di kawasan mangrove yang seharusnya menjadi kawasan lindung. Salah urus pada level kebijakan ini ditanggulangi dengan program yang tidak tepat sasaran, seringkali fokus pemerintah ada pada penanaman kembali (reboisasi) hutan mangrove, masalahanya adalah alih fungsi kawasan mangrove terus terjadi setiap tahun artinya penanaman kembali hanya jadi kebijakan tambal sulam padahal yang dibutuhkan adalah menghentikan alih fungsi kawasan mangrove terus berlangsung. 

Untuk menangani masalah ini bukan hanya dibutuhkan komitmen yang serius oleh pemerintah, namun lebih dari itu perlu ada kesadaran ekologis, pemahaman yang menempatkan pelestarian lingkungan sebagai hal utama dalam kebijakan pembangunan, kehendak politik dalam penataan ruang sehingga praktik alih fungsi kawasan mangrove bisa dihentikan, dan regulasi yang ketat dalam pengelolaan kawasan lindung dengan prinsip penanggulangan bencana dan krisis iklim. 

Contact Person:

Lucky Wahyu Wardhana (Staf Kampanye dan Jaringan WALHI Jatim)

lukiwalhijatim@walhi.or.id