Seri kali ini adalah narasi terakhir yang coba kami sampaikan, setelah sebelumnya menceritakan tentang kriminalisasi dan upaya menyuarakan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pada narasi ini kami ingin menunjukkan bagaimana dampak industri ekstraktif yang daya destruksinya benar-benar besar, sampai mengeksklusi orang dan mendorong degradasi penghidupan dengan hancurnya jaring-jaring ekonomi. Lumpur Lapindo adalah contoh nyata, di mana sampai semburan belum selesai, semakin meluas area terdampak dengan diiringi degradasi ekosistem yang kian buruk menuju terpuruk. 18 tahun sudah lumpur Lapindo hadir, yang keberadaannya sudah seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua, agar tindak mengulangi kesalahan yang sama.
18 tahun sudah peristiwa nahas tragedi bencana korporasi lumpur panas Lapindo terjadi. Namun hingga saat ini, lumpur panas tersebut terus menyemburkan material berupa cairan bercampur lumpur yang panas, berwarna hitam dan berbau gas menyengat. Lumpur Lapindo adalah contoh bagaimana industri ekstraktif pertambangan memiliki daya hancur yang luar biasa, karena mampu mengusir paksa hampir 45 ribu jiwa yang menghuni sekitar 10.426 unit rumah dan tersebar di 16 desa di 3 kecamatan yakni Porong, Jabon dan Tanggulangin.
Semburan lumpur panas Lapindo disebabkan oleh eksploitasi perusahaan Lapindo Brantas Inc yang merupakan unit usaha bersama Bakrie Group, Medco Group dan Santos dari Australia. Semburan lumpur tersebut bermula ketika lumpur panas mulai mengucur dari sumur migas Banjar Panji 1, peristiwa tersebut disebabkan oleh aktivitas pengeboran migas yang menyebabkan ledakan dan selanjutnya mengeluarkan lumpur panas.
Lumpur panas lapindo hingga saat ini masih mengeluarkan materialnya, sehingga menyebabkan kerusakan masif berupa degradasi ekosistem di sekitarnya. Kerusakan tersebut dapat dilihat dengan menurunnya kualitas udara, air dan tanah. Tidak hanya itu 18 tahun setelah tragedi tersebut hadir, sampai saat ini komunitas terdampak masih merasakan kesusahan untuk pulih, baik secara ekonomi maupun sosial. Mulai dari gangguan terkait penghidupan sehari-hari, tempat tinggal, akses pendidikan dan beberapa diskriminasi saat mereka menempati kampung barunya.
Kerusakan ekosistem akibat lumpur panas Lapindo tidak dapat dipungkiri, terutama menurunnya kondisi sekitar situs atau area terdampak. Berdasarkan pemantauan udara di sekitar lokasi oleh Posko Korban Lumpur Lapindo, menemukan jika udara di sekitar situs lumpur Lapindo tercemar oleh PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) dengan konsentrasi 14.620 mikrogram/m3. Selain itu juga ditemukan beberapa kandungan logam berat lain seperti, Cu (cuprum) dengan kandungan sebesar 24,5 ppm, sedangkan untuk kandungan logam berat sejenis Pb (timbal) sebesar 17,8 ppm.
Melalui pemantauannya untuk aspek kesehatan, Posko Korban Lumpur Lapindo juga menemukan jika kualitas kesehatan warga mengalami penurunan. Data yang mereka temukan bahwa terdapat peningkatan penderita Infeksi Saluran Penafasan Akut (ISPA) di tiga kecamatan yakni Porong, Jabon dan Tanggulangin sebanyak 4.892 orang. Selain itu ancaman lain adalah kualitas air yang kian memburuk dapat mempengaruhi kondisi kesehatan, termasuk ditemukannya kasus stunting di Kecamatan Porong, terutama Desa Glagaharum.
Berdasarkan penelitian dari Dita Putri dkk (2023) berjudul “Komparasi Kualitas Air Tanah dengan Metode Indeks Pencemar serta Storet pada Musim Pancaroba (Studi Kasus : Desa Glagaharum, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo)” menemukan bahwa kondisi air di Desa Glagaharum yang notabene wilayah terdampak Lapindo mengalami penurunan. Pertama metode yang digunakan adalah dengan menggunakan metode indeks pencemaran di Dusun Mrisen, Kwaron serta Buaran hasilnya masuk dalam kategori tercemar ringan. Lalu mereka menggunakan metode storet pada titik sampling 1 di Dusun Mrisen dan 2 di Dusun Kwaron masuk dalam kategori tercemar sedang, lalu titik sampling 3 dan 4 di Dusun Kwaron serta titik sampling 5 di Dusun Buaran dikategorikan tercemar berat.
Kondisi di atas paling tidak sudah memberikan sedikit gambaran mengenai penurunan kualitas ekosistem pada wilayah terdampak Lapindo. Hal ini belum termasuk bagaimana kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Sebagai temuan kami, ada sekitar 15 pabrik yang terendam Lapindo dengan jumlah buruh sekitar 2000 orang. Buruh dari pabrik tersebut kehilangan mata pencahariannya, beberapa di antaranya kesulitan menemukan pekerjaan, karena faktor usia yang rata-rata 35 tahun ke atas, serta minimnya lapangan pekerjaan sesuai skill mereka.
Lumpur panas Lapindo juga berdampak pada sektor UMKM, di mana ada sekitar 400 lebih harus gulung tikar karena tragedi tersebut. UMKM ini juga menjadi tumpuan hidup sekitar 1000 orang di tiga kecamatan yang terdampak lumpur panas Lapindo. Tidak hanya UMKM, sektor pangan pun terdampak, sekitar 600 hektar sawah terendam. Jika setiap sawah dalam 1 hektar menghasilkan sekitar 7 sampai 8 ton padi dalam satu kali panen, maka tragedi lumpur panas Lapindo telah menghilangkan kemampuan produksi padi sekitar 4800 ton. Ini belum termasuk jenis komoditas lain seperti jagung dan kacang-kacangan.
Belum lagi, kerugian negara atas keberadaan bencana ini. Akibat dari negara yang mengambil alih tanggung jawab penyelesaian dampak sosial ekonomi dari Lapindo Brantas Inc. Pada tahun 2007 kerugian negara mencapai 27,4-33 triliun rupiah menurut Bappenas. Total APBN yang terkuras untuk tragedi akibat ulah korporasi ini mencapai 11triliun rupiah. Angka tersebut hanya yang tersaji dalam laporan resmi. Namun, kami memperkirakan uang negara yang terkuras untuk tragedi korporasi ini dapat mencapai lebih dari 60 triliun rupiah, mengingat tidak hanya soal ganti rugi saja, tetapi juga kebutuhan lain, seperti pembuatan dan perawatan tanggul, penanggulangan dampak bencana sampai biaya-biaya berkaitan dengan penanganan lumpur panas, selama hampir 18 tahun lumpur Lapindo meletus.
Dampak-dampak yang kami sampaikan di atas adalah wujud bagaimana berbahayanya industri ekstraktif, karena menghancurkan ekosistem secara masif dan dalam jangka panjang, tidak hanya satu dimensi saja, tetapi multidimensi, yakni ekologis, ekonomi, sosial dan psikologis. Tragedi lumpur panas Lapindo adalah bencana akibat rakusnya korporasi yang mengakibatkan penghancuran ekosistem perlahan (long Term), mengusir orang dari tempat tinggalnya, menghancurkan ruang hidup dan masa depan (massive destruction).
Hari anti tambang, atau sebuah upaya untuk mengingat tragedi bencana korporasi yang meluluh lantahkan kehidupan. Sebuah peringatan atas banalnya industri ekstraktif yang mengundang bencana kemanusiaan dan ekosistem, mengingatkan pada kita bahwa tragedi bencana korporasi, kriminalisasi warga pejuang lingkungan hidup dan aneka gangguan hidup lainnya, adalah dikarenakan abainya negara dalam menjamin hak warga negara.
Lumpur Lapindo adalah contoh nyata bagaimana pelanggaran HAM terjadi, terjadi secara masif dan meluas dalam merampas hak hidup dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Atau dalam kata lain tragedi lumpur Lapindo dapat dikatakan sebagai ecocide.