Ini adalah catatan seri kedua yang mengisahkan tentang upaya warga negara ber-ktp Desa Alasbuluh, Wongsorejo, Banyuwangi dan Sumuragung, Baureno, Bojonegoro yang protes jalan rumahnya rusak, tiap hari disapa debu dan merasa was-was terdampak bencana, akibat hadirnya pertambangan. Tapi apa yang mereka suarakan justru menjadi petaka, mengapa? Niat baik menyuarakan, malah disambut kriminalisasi memakai UU Minerba Pasal 162. Pasal karet yang telah memakan banyak korban dan telah membungkam suara warga negara.
Menyuarakan tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tak semudah yang dibayangkan. Di Jawa Timur, menyuarakan tentang persoalan tersebut tidaklah mudah. Masyarakat seringkali menghadapi intimidasi sampai kriminalisasi, kala ingin mengatakan bahwa ruang hidupnya sedang tidak baik-baik saja, terutama akibat adanya pertambangan batuan atau yang akrab ditelinga dengan sebutan galian C. Meskipun mereka benar, tetapi kenyataan berkata lain, menyuarakan dampak tambang adalah keberanian tersendiri, karena resikonya yang besar.
Seperti yang telah dialami oleh tiga warga Baureno, Kabupaten Bojonegoro dan warga Alasbuluh, Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi. Meskipun mereka tidak bersalah, tetap saja harus diseret ke meja hijau bahkan divonis bersalah meski apa yang mereka lakukan dilindungi oleh konstitusi dan undang-undang, sebagaimana dalam pasal 66 Undang-undang PPLH Tahun 2009. Bahwa setiap orang yang menyuarakan lingkungan tidak boleh dipidana dalam kaitannya memperjuangkan hak atas lingkungan, seperti bebas dari pencemaran atau penolakan atas aktivitas ekonomi yang akan berdampak pada keberlanjutan kehidupan mereka.
Di Banyuwangi, pada 2021 lalu, warga Desa Alasbuluh, Wongsorejo bernama Ahmad Busi’in, Sugianto, dan Abdullah tengah berjuang untuk menegakkan hak mereka yang dirampas oleh tambang batuan bernama PT. Rolas Nusantara Tambang (PT. RNT). Mereka protes dengan melakukan demonstrasi hingga menutup jalan desa. Apa yang mereka lakukan merupakan akumulasi kekecewaan terhadap perusahaan dan pemerintah Kabupaten Banyuwangi, yang tidak pernah mendengar suara mereka dan membiarkan jalan desa dirusak oleh tambang, polusi hingga kerusakan ekosistem akibat tambang batuan tersebut. Salah satu yang dirasakan adalah risiko bencana banjir menjadi meningkat terutama saat musim penghujan.
Bukan respons baik yang didapatkan oleh ketiga warga tersebut, malah sebaliknya yakni perusahaan PT. RNT melaporkan ketiga warga tersebut ke pihak kepolisian, merekaa dituduh melakukan penghadangan moda transportasi pengangkut tambang galian C milik PT. RNT. Pasal yang dikenakkan pada ketiga warga tersebut adalah pasal karet kontroversial yakni 162 UU Minerba yang bermuatan pokok yakni hukuman bagi seseorang yang menghalang-halangi tambang yang berizin. Akhirnya mereka divonis bersalah dengan dikenakan hukuman tiga bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi.
Meski begitu mereka tetap mencari keadilan, lalu ketiga warga tersebut mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur. Tetapi upaya ini tidak membuahkan hasil, sebab PT Jawa Timur menolak banding mereka. Tak berhenti di situ, ketiga warga ini lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia. Sampai pada akhirnya pada tahun 2022, kasasi mereka diterima dan dibebaskan dari segala tuduhan berkaitan dengan pasal 162 UU Minerba.
Nasib serupa juga dialami oleh tiga warga Baureno, Bojonegoro, bernama Isbandi, Imron dan Parno . Pada 2023 lalu mereka dilaporkan ke POLDA Jawa Timur oleh perusahaan bernama PT. WIra Bhumi Sejati (PT. WBS). Laporan yang dibuat oleh PT. WBS berkaitan dengan aksi protes ketiga warga akibat dampak buruk pertambangan, seperti rusaknya jalan, paparan debu sampai tidak adanya tanggung jawab sosial perusahaan. Setali tiga uang dengan di Banyuwangi, ketiga warga tersebut dikenakan pasal 162 UU Minerba,
Laporan PT. WBS ke POLDA Jawa Timur, kemudian dinaikkan ke ranah pengadilan. Selama sidang berlangsung, pihak pelapor kesulitan membuktikan bahwa ketiga warga tersebut melanggar pasal 162 UU Minerba. Pada saat kriminalisasi tiga warga Bojonegoro, Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Jika merujuk pada pasal 48 mengenai perlindungan hukum bagi pejuang hak atas lingkungan beserta kriterianya yang sejalan dengan pasal 66 UU PPLH Tahun 2009. Di mana hakim dituntut untuk melihat konteks masalah dan mengutamakan aspek penegakkan hukum lingkungan, di mana setiap orang yang menyuarakan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dipidanakan.
Tetapi hasil akhirnya berkata lain, bahwa hakim Pengadilan Negeri Bojonegoro secara gegabah memvonis mereka bersalah dengan hukuman percobaan. Walaupun hukuman percobaan dan tidak harus ke penjara, tetapi vonis bersalah menambah rentetan panjang, bagaimana pasal 162, berpadu dengan minimnya keberpihakan hakim, telah membungkan mereka yang ingin menyuarakan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dari kedua kejadian yang serupa tetapi tak sama tersebut, telah menunjukkan bagaimana kuasa korporasi benar-benar dominan, ditambah miskinnya keberpihakan penegak hukum, melalui pasal 162 UU Minerba mereka dengan mudah membungkam warga yang merasakan ruang hidupnya terganggu dan mengalami degradasi kualitas lingkungan akibat pertambangan,
Perlu diketahui, bahwa Pasal 162 UU No. 4 Tahun 2009 yang kemudian berganti menjadi UU No 3 Tahun 2020, setidaknya mengalami 3 kali uji judicial review di Mahkamah Konstitusi. Dari hasil judicial review tersebut, Pasal 162 jo. Pasal 136 ayat (2) harus diletakkan dalam konteks pelepasan hak atas tanah yang dilakukan oleh pemegang IUP untuk digunakan sebagai wilayah usaha pertambangannya. Dalam konteks menghalang pertambangan, jika ada orang yang tanahnya akan ditambang oleh sebuah perusahaan, kemudian orang tersebut telah menerima ganti rugi atau kompensasi atas tanahnya, akan tetapi orang tersebut masih saja menghalang-halangi usaha pertambangan, maka orang itu barulah bisa dikenai Pasal 162.
Terakhir, bahwa aksi protes atau menyuarakan pendapat oleh ketiga warga di Banyuwangi dan Bojonegoro merupakan sebuah bentuk dari menyuarakan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, karena dilandasi oleh niat baik dan melindungi kepentingan masyarakat luas dari dampak pertambangan. Pemerintah harusnya merespons hal tersebut untuk melakukan penegakkan hukum lingkungan serta evaluasi atas aktivitas pertambangan, sebagai bagian dari penerapan prinsip perlindungan lingkungan hidup, sekaligus warga yang merasakan dampak, bukan malah mendiamkan dan menjadi pihak yang mewajarkan kriminalisasi pada warga pejuang lingkungan hidup.