*Pandangan WALHI Jatim & Themis Indonesia
Putusan Mahkamah Konstitusi 21 Maret 2024 dalam perkara Nomor 78/PUU 2023 yang mencabut secara keseluruhan Pasal 14 dan 15 tentang Penyebaran Berita Bohong dan Keonaran dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1946, yang merupakan pasal karet yang selama ini digunakan untuk mengkriminalisasi rakyat yang menyampaikan kritik atau memperjuangkan hak-haknya. Lalu, putusan tersebut juga menyatakan bahwa Pasal 310 (1) KUHP tentang pencemaran nama baik dan penghinaan inkonstitusional bersyarat.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 78/PUU-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa aturan mengenai larangan menyiarkan atau pemberitahuan bohong sehingga menimbulkan onar yang diatur dalam Pasal 14 dan 15 dalam UU No 1 Tahun 1946 telah nyata tidak memiliki tolak ukur yang atau disebut pasal karet sehingga MK menilai pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945.
Kasus penggunaan pasal karet ini telah menimpa tiga pejuang agraria di Desa Pakel. Tiga pejuang tersebut adalah Suwarno Kepala Dusun Durenan, Untung Kepala Dusun, Taman Glugo dan Mulyadi Kepala Desa Pakel. Mereka dikenakan pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946.
Sedikit melihat ke belakang, bahwa tiga warga Desa Pakel tersebut mengalami perlakuan tidak adil. Mereka ditangkap di tengah jalan tanpa prosedur oleh pihak berwajib. Alasannya adalah tiga warga Desa Pakel ini mangkir saat pemanggilan, padahal selama proses surat menyurat terdapat beberapa kejanggalan, salah satunya surat yang dikirim melalui jasa kurir sehari sebelum pemeriksaan.
Tiga warga Desa Pakel ini dituduh menyebarkan berita bohong sehingga menyebabkan keonaran. Tanpa melihat konteks persoalan konflik agraria, di mana 3 petani tersebut sedang berjuang untuk mendapatkan hak atas tanah, yang mana desanya tengah mengalami ketimpangan penguasaan lahan dan tumpang tindih izin, akibat HGU yang dikeluarkan sepihak oleh ATR/BPN Banyuwangi.
Padahal tiga warga Desa Pakel tersebut tengah berjuang untuk mendorong redistribusi tanah di desanya, karena wilayahnya mengalami kekurangan lahan, sehingga mengakibatkan banyak warga yang tak bertanah. Nahasnya mereka dilaporkan oleh sesama warga desa karena diduga menyiarkan berita bohong. Dengan terburu-buru dan gegabah pihak berwajib tidak melihat faktor konflik agraria serta persoalan yang terjadi, parahnya Kejaksaan pun melakukan hal serupa.
Penggunaan pasal berita bohong terlalu berlebihan, menganggap seolah-olah tiga petani ini adalah ancaman bagi Negara, padahal tidak seperti itu. Sehingga di sini perlu melihat konteks dan akar persoalan sosial menjadi kunci untuk memahami kejadian yang sedang terjadi.
Lalu dalam putusan pengadilan tanggal 26 Oktober 2023, petani Pakel ini divonis 5 tahun 6 bulan atas kasus ini, padahal persoalan ini tidak terlepas dari persoalan konflik agraria, sehingga menghambat penyelesaian konflik. Dari sini telah jelas bahwa Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi telah mengulangi kesalahan yang sama dengan kasus sebelumnya di mana gagal dalam melihat persoalan, sehingga menyebabkan seseorang yang memperjuangkan hak atas hidupnya dirampas kemerdekaannya.
Oleh karena itu melihat perkembangan hukum terbaru pasca putusan Mahkamah Konstitusi, dengan prinsip putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat, langsung berlaku pasca putusan itu dibacakan, maka dengan demikian aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian RI tidak boleh lagi menjerat warga negara, aktivis, pejuang lingkungan, pegiat demokrasi dan HAM dan pegiat pers ataupun jurnalis dengan pasal-pasal yang telah dinyatakan inkonstitusional.
Maka per-Jam 12.00, Kamis, 21 Maret 2024. Pasal tersebut tidak berlaku. Khususnya bagi pejuang agraria atau tengah memperjuangkan hak atas tanah, yaitu warga Pakel yang saat ini dijerat pasal-pasal a quo, dan sedang berjuang di tingkat Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia, maka Majelis Hakim Agung yang memeriksa perkara pejuang agraria warga Desa Pakel tersebut harus berpedoman pada Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023, perkara tersebut telah kehilangan objek, karena pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat warga pakel telah dinyatakan inkonstitusional.
Melihat perkembangan hukum, dan landasan sosiologi hukum, pada kasus ini dengan mempertimbangkan putusan MK, serta persoalan konflik agraria di Desa Pakel. Maka ketiga warga Desa Pakel ini harus bebas demi hukum dan keadilan.