Pada hari air sedunia yang jatuh pada tanggal 22 Maret 2024. Perlu diketahui bahwa kualitas dan kuantitas air di Jawa Timur secara bertahap mengalami penurunan cukup siginfikan, hal ini dapat terlihat dari sungai-sungai yang berada di wilayah Jawa Timur, rata-rata mengalami penurunan kualitas. Hampir sangat jarang kita menemukan sungai yang masih bersih, rata-rata menunjukkan kondisi tercemar, indikatornya adalah warna air, bau air dan menurunnya ekosistem sungai yang ditandai dengan mulai hilangnya beberapa hewan endemik. Sebagai contoh kita bisa melihatnya pada sungai-sungai dalam naungan DAS Brantas dan DAS Bengawan Solo. 

Pada penelitian yang dilakukan oleh Achmad dkk (2021) berjudul “Diversity of Fish Species in Several Sites Along the Brantas River East Java Indonesia,” mereka menemukan bahwa dari 57 spesies ikan asli yang berada di Sungai Brantas mengalami penurunan secara signifikan, hal ini ditemukan dalam penelitiannya yang menyebutkan bahwa keberagaman ikan menurun. Pada tahun 1998 ditemukan sekitar 53 spesies, lalu pada tahun 2008 ditemukan sekitar 9 spesies, terakhir pada 2019 ditemukan sekitar 12 spesies. 

Kualitas air di Sungai Brantas, Rolag, Ketintang, Surabaya

Kualitas air di Sungai Brantas, Kediri

Kualitas air di Sungai Brantas, Ngantru, Tulungagung

Kualitas air di Sungai Brantas, Sudimoro, Megaluh, Jombang

Kualitas air di Sungai Brantas, Tjiwi Kimia, Mojokerto

Kualitas air di Sungai Brantas, Tjiwi Kimia, Mojokerto

Ecoton pun juga mengungkapkan hal yang sama, melalui sensus ikan di Sungai Brantas, mereka mengungkapkan bahwa sejak tahun 1962 ikan di Brantas berjumlah 87 spesies, lalu tersisa 50 pada tahun 1998, lalu pada tahun 2011 tersisa menjadi 30 spesies. Hasil dari penelitian tersebut mengungkapkan  bahwa keberagaman spesies ikan di Sungai Bantang mengalami penurunan. Ikan-ikan seperti ikan Sili, lalu Wader, Benthik, Cucut, Jendil, Keting, Belida kini mulai sulit ditemukan. Penyebab dari penurunan ini adalah menurunnya kualitas air sungai, salah satunya disebabkan oleh pencemaran terutama dari industri maupun rumah tangga.

Selain menurunnya kualitas air di sungai, Jawa Timur juga tengah terancam kehilangan sumber mata air di kawasan hulu. Banyak mata air di kawasan hulu seperti pada kawasan Arjuno Welirang yang mengalami penurunan debit dan beberapa mati. Sebagai contoh di Kota Batu dari 111 mata air kini tersisa separuhnya sekitar 57 mata air, hal ini kami temukan berdasarkan penelusuran sumber mata air di wilayah Kota Batu.

Pada mata air yang tersisa tersebut mulai mengalami penurunan debit. Sebagai contoh  Sumber Samin, Sumber Darmi dan Sumber Binangun yang mengalami penurunan debit. Lalu di Pasuruan dari 471 sumber mata air, sekitar separuhnya mulai mengalami penurunan debit, sebagai contoh yang teridentifikasi yakni Sumber Umbulan, Sumber Bendo dan Banyubiru yang kondisinya kini mengalami penurunan debit.

Ironi Pemanfaatan Air di Jawa Timur

Kondisi menurunnya kualitas dan kuantitas air di Jawa Timur begitu mengkhawatirkan. Bencana kekeringan semakin sering menghinggapi Jawa Timur, beberapa waktu lalu BPBD Jawa Timur mengungkapkan jika hampir 500 desa di Jawa Timur mengalami kekeringan. Salah satu wilayah yang kami identifikasi yakni pada wilayah Kabupaten Malang dan Kabupaten Pasuruan.

Kami melihat di wilayah Pasuruan, merupakan kawasan yang memiliki sebaran mata air yang cukup banyak. Tetapi, saat kemarau banyak desa yang mengalami kesulitan mengkases air bersih. Sebagai contoh wilayah Winongan, Gempol dan Grati. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Malang, wilayah seperti Singosari, Lawang dan Sumbermanjing Wetan juga mengalami situasi serupa. Meski sebaran mata air cukup, tetapi tidak semua bisa mengaksesnya. Bahkan yang paling ironis adalah Winongan, di sana ada Sumber Umbulan dan Banyubiru tetapi warganya mengalami kesulitan mengakses air. Ini juga terjadi di Kecamatan Singosari terutama di Desa Klampok dan Desa Jabung di Kecamatan Jabung.

Lokasi kekeringan di Klampok, Singosari dan Jabung, Kec Jabung

Lokasi kekeringan di Desa, Kedungrejo, Sumberejo, Jeladri, Kec Winongan, Kab Pasuruan

Terkait pemanfaatan air dari Sumber Umbulan, juga Wendit dan Sumber Pitu tidak sepenuhnya untuk menopang kehidupan warga, bahkan saking mirisnya warga di sekitar mulai mengeluhkan kekurangan air. Seperti rencana SPAM Umbulan, dalam dokumen yang kami temukan, pembangunan SPAM ini secara distribusi tidak merata untuk warga Kota Surabaya, justru didistribusikan ke kawasan elit seperti di kawasan Surabaya Barat.

Hal yang sama juga terjadi untuk Sumber Pitu dan Wendit yang beberapa alirannya mengarah ke perumahan elit di Kota Malang. Bahkan di Sumber Pitu terjadi konflik antara warga Desa Duwetkrajan, Kecamatan Tumpang dengan PDAM Kota Malang pada tahun 2022. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana air telah menjadi komoditas barang mewah yang hanya bisa diakses dengan harga pas, tidak ada pemerataan akses terhadap pemanfaatan air secara adil. Bahkan tidak ada jaminan ketersediaan air bagi warga masyarakat yang hidup di sekitar sumber mata air, akibat adanya pemanfaatan berskala besar yang menggusur hak atas air warga setempat.

Lalu problem yang kami temukan terkait penurunan debit sumber mata air di wilayah tersebut diakibatkan oleh rusaknya kawasan hutan di Arjuno Welirang sebagai tangkapan dan resapan air, serta eksploitasi air yang berlebihan dari perusahaan penyedia air minum, hotel dan perumahan elit.

Sebagai contoh mata air Umbulan selain diekstraksi oleh perusahaan air minum, juga menopang kehidupan sebagian warga Kota Surabaya. Hampir mayoritas warga Kota Surabaya atau sekitar 90 persen warganya mengonsumsi air dari wilayah luar. Artinya Kota Surabaya bergantung pada air dari luar daerah, baik sifatnya kemasan maupun pipa dari sumber mata air langsung. Kondisi ini diakibatkan sumber air di Surabaya baik dari sumber air tanah maupun sungai yang semakin memburuk, terutama karena pen cemaran e-coli dan aneka unsur kimia lainnya seperti timbal. Contoh lain yakni Kota Malang yang sumber airnya bergantung pada wilayah Kota Batu seperti Sumber Binangun dan Kabupaten Malang yakni Sumber Pitu dan Wendit.

Ini hanya secuil temuan pada wilayah yang dapat kami jangkau, bahkan kami yakin persoalan serupa juga terjadi di banyak wilayah. Karena kita tahu banyak wilayah yang mulai rentan terhadap akses atas air. Sebagaimana di Kawasan Pantura dan Pulau Madura, banyak sumber mata air yang mengecil dan mati, seperti yang kami temukan di Sumenep. Bahkan ke depan sumber-sumber mata air di kawasan tersebut terancam mengecil lalu mati, salah satu penyebabnya adalah maraknya tambang pada kawasan karst yang selama ini menjadi tempat sumber mata air dan kawasan resapan serta tangkapan air. Bahkan konflik mata air ke depan akan semakin besar potensinya, terutama sejak proyek energi baru versi pemerintah yakni geothermal mulai diakselerasi, wilayah seperti Arjuno Welirang dan Wilis berpotensi mengalami situasi tersebut.

Air Sebagai Hak Dasar

Melihat kondisi yang sedemikian rupa di Jawa Timur, kami kembali mengingatkan pada pemangku kepentingan dan segenap masyarakat luas di Jawa Timur khususnya, bahwa air merupakan hak dasar, itu telah tertulis dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Meski air sebagai hak dasar, justru yang terjadi sebaliknya, kini air telah menjadi komoditas dan dinikmati begitu saja oleh segelintir orang. Kondisi tersebut turut difasilitasi dengan keberadaan Undang-undang Nomor UU No. 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air dan Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang kemudian menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan dikuatkan melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Merujuk pada kajian IPB University dengan judul “Tinjauan Kritis IPB terhadap Undang Undang Cipta Kerja: Suatu Perspektif Agromaritim 2020,” dan Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) berjudul “Tak ada Rakyat di dalam Omnibus Law/ RUU Cipta Kerja.” Bahwa privatisasi air memang samar dalam aturan, tetapi problemnya adalah munculnya sentralisasi kewenangan atas air yang kini ditetapkan dan dikendalikan oleh pemerintah pusat. Lalu, keberadaan perubahan kata izin menjadi perizinan berusaha serta kemudahan investasi telah membuka gerbang eksploitasi atas air semakin besar, sebagai contoh kini telah banyak bermunculan air kemasan berbagai merek yang semakin besar-besaran mengeksploitasi sumber mata air, lalu perumahan elit juga setali tiga uang. Ditambah juga persolan AMDAL yang tidak menjadi lagi syarat wajib berusaha, menambah catatan hitam mengenai eksploitasi air ke depan.

Mengembalikan hak atas air sesuai dengan nilai dan semangat yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi PR bersama, dimana negara hadir dalam penguasaan sumber daya air untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan sebaliknya. Penegasan penguasaan dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa negara hadir dalam hal melakukan perlindungan hak-hak asasi atas air yang bersifat kodrati. Pemaknaan menguasai dalam Pasal 33 ayat (3) telah ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau UUPA bahwa hak menguasasi negara bukanlah dimiliki melainkan adalah mengatur, menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, serta perbuatan-perbuatan hukumnya dengan tujuan mencapai kemakmuran rakyat. Keberadaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara filosofis merupakan penjelmaan dari Sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dimana air menjadi asset utama bangsa yang wajib dikelola oleh negara untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Maka, jika merujuk bahwa air sebagai hak dasar, lalu kondisi terkini yang memperlihatkan bagaimana praktik eksploitasi dan pencemaran air semakin masif, maka dapat dikatakan telah terjadi perampasan hak atas air secara laten dan sistematis, terutama merujuk pada aturan dan praktik di lapangan. Dampaknya tentu warga yang nantinya menjadi korban, dimana hak atas airnya terampas, secara lebih besar adalah hak atas hidupnya terancam tidak berkelanjutan. Maka pada hari air sedunia ini, kami mengingatkan dan mengajak segenap warga Jawa Timur untuk menyuarakan dan menyerukan perlindungan mata air dan menolak segala bentuk eksploitasi air di Jawa Timur, karena air adalah hak dasar.

Penyusun:

Wahyu Eka Styawan
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur

Pradipta Indra Ariono
Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum WALHI Jawa Timur

Contact Person:
Call Center: 085808739095 atau email walhijatim@walhi.or.id


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *