Siaran Pers WALHI Region Jawa

Sepanjang tahun 2023, bahkan yang terbaru tahun 2024 ini bencana iklim kembali menghantam Pulau Jawa. Merujuk pada catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mereka mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 ini bencana iklim sebesar 5.365 bencana yang tersebar di seluruh Indonesia. Kejadian bencana tersebut yakni kebakaran hutan dan lahan sebesar 2.051 kejadian, cuaca ekstrim 1.261 kejasian, banjir 1.255 kejadian, longsor 591 kejadian, kekeringan 174 kejadian, terakhir abrasi dan gelombang pasang sekitar 33 kejadian.

Bencana tersebut telah memaksa 8 juta lebih penduduk mengungsi, 250 lebih meninggal dunia dan 5 ribu orang luka-luka, ini belum angka kehilangan harta benda dan sumber penghidupan sehari-hari. Kumpulan angka bencana di atas merupakan dari dampak dari krisis iklim yang didorong oleh faktor multidimensi, seperti faktor politis dalam hal ini kebijakan, lalu faktor ekonomis, yakni praktik eksploitasi sumber-sumber alam dan faktor sosial, seperti dalih investasi dan pembangunan. Beberapa daerah di Jawa mengalami persoalan tersebut, WALHI Region Jawa mencatata beberapa persoalan di antaranya:

  1. WALHI DKI Jakarta mencatat bahwa Jakarta telah mengalami banyak permasalahan lingkungan hidup akibat pembangunan yang tidak melihat kondisi ruang. Salah satu yang muncul dalam persoalan tersebut adalah penurunan permukaan tanah yang mencapai 12 cm per tahun, lalu krisis air bersih, polusi udara, pencemaran laut, sampah dan limbah yang tidak terkelola, serta tenggelamnya pesisir, banjir dan pulau-pulau kecil. Selama ini masyarakat harus terus merasakan dampak penurunan kualitas hidup, mulai dari banjir, polusi sampai tenggelamnya pesisir. Persoalan tersebut berakar pada ketidakadilan ruang akibat ketimpangan penguasaan agraria di Jakarta yang lebih dari separuhnya telah dikuasai korporasi sehingga menghambat pemenuhan 30% Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai amanat UU Penataan Ruang. Selain itu RDTR terbaru juga masih memfasilitasi reklamasi, bahkan rencana yang baru-baru ini sebagai respons atas perubahan iklim akan membangun giant sea wall sebagai solusi. Sebab dalam pembangunannya, tanggul laut justru merusak mangrove, mereklamasi pantai, sampai menggusur ribuan nelayan di Jakarta. Alih-alih menjadi proyek adaptasi iklim, tanggul laut justru menjadi maladaptasi iklim sebab dibangun dengan merusak ekosistem dan kehidupan masyarakat.
  1. WALHI Jawa Timur mencatat bahwa problem tata ruang di Jawa Timur telah mengakibatkan bencana yang tidak ada habisnya. Bencana demi bencana kian dihadapai oleh hampir setiap titik wilayah. Perpaduan antara perubahan iklim dengan kacaunya tata ruang dan ekspansi ekonomi telah memperentan kawasan, serta mendorong bencana kian masif. Bencana banjir yang terjadi sepanjang 2023 kemarin, hampir terjadi di seluruh wilayah Jawa Timur, lalu kebakaran hutan dan lahan juga hampir terjadi di seluruh wilayah, ditambah dengan kekeringan. Dampak dari hal tersebut adalah ancaman pangan, lalu air bersih dan menurunnya kualitas lingkungan yang berdampak pada terganggunya kehidupan warga. Persoalan ini disebabkan oleh problem tata ruang, termasuk kebijakan tata ruang di Provinsi dan Kabupaten/Kota Jawa Timur, di mana masih memfasilitasi alih fungsi kawasan, termasuk hutan, mata air dan kawasan pangan. Sebagai contoh di Kota Batu, Malang dan Surabaya, kini dilanda banjir, longsor dan semakin berkurangnya kawasan hijau. Rencana tata ruang masih memfasilitasi perluasan kawasan ekonomi, salah satunya tambang termasuk di Pesisir Selatan dan Utara seperti terjadi di Tumpang Pitu, Banyuwangi hingga Trenggalek yang kini bercokol tambang emas,  sampai perluasan perumahan di kawasan urban sebagaimana terjadi di Surabaya, Malang dan Batu. Bahkan perluasan wilayah ekonomi ini semakin memperentan kawasan, salah satunya hancurnya kawasan pesisir karena abrasi, ditambah dengan pembabatan mangrove yang terjadi di sepanjang Pesisir Utara Jawa, paling parah terjadi di Surabaya dan Pesisir Utara Madura.
  1. WALHI Jawa Tengah memandang bawH problem di Jawa tengah juga tidak terlepas dari persoalan tata ruang yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi saja.WALHI Jateng mencatat dalam revisi tata ruang Jawa Tengah 29 kabupaten dan 2 kota semakin luas wilayah pertambangannya bahkan beberapa kawasan lindung dirubah statusnya. Selain itu wilayah Jawa Tengah di bagi menjadi 9 kawasan ekonomi baru yang dimana semakin menambah persoalan dalam daya dukung lingkungan. Tidak lepas dari itu wilayah pesisir Utara Jawa tengah juga mengalami degradasi lingkungan yang semakin masih akibat pembangunan, bisa dilihat wilayah Pesisir Utara Jawa Tengah 2 tahun terakhir mengalami bencana ekologis yang terus menerus, seperti banjir rob, menurunnya muka tanah dan abrasi contoh Semarang, Demak dan Pekalongan. Personal pengaturan ruang yang tidak melihat daya tampung dan daya dukung wilayah dan ditambah lagi persoalan krisis iklim akan menambah kebencanaan di Jawa Tengah.
  1. WALHI Yogyakarta juga menilai tata kelola ruang yang serampangan membuat kondisi lingkungan di  Provinsi D.I Yoyakarta menjadi rentan. Tahun 2022-2026 menunjukkan data bahwa 3.675.662 jiwa masyarakat di DIY berpotensi terpapar bencana kekeringan. Di konteks pariwisata, pelanggaran tata ruang akibat ekspansi pariwisata ektraktif di kawasan karst D.I Yogyakarta mengancam kelestarian ekosistem karst sebagai serapan dan sumber air di wilayah D.I Yogyakarta. Selain itu pertamabangan yang masif di wilayah Daerah Aliran Sungai Progo membuat terdegradasinya daya dukung dan daya tampung sungai dan berdampak pada hilangnya akses air masyarakat disekitar lokasi tambang. Krisis iklim pada akhirnya menambah catatan buruk bagi kondisi lingkungan di D.I Yogyakarta, mulai dari meningkatnya intensitas banjir hingga dampaknya bagi nelayan di pesisir selatan dan petani di wilayah Provinsi D.I Yogyakarta.
  1. WALHI Jawa Barat memadang bawah Jawa Barat diambang kekacauan yang serius, angka yang tidak sedikit dari jumlah jenis kegiatan baik kegiatan yang di rencanakan pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Semua rencana tersebut telah mengakumulasikan kehancuran ekologis di tatar parahyangan, malah tidak menutup kemungkinan akan berujung pulau Jawa tenggelam karena berbagai bencana. Salah satu yang disoroti Walhi Jawa Barat dalam ancaman Java Collapse di antaranya, ribuan izin tambang masih terus keluar, kurang lebih terdapat 1000 izin penguasaan air/privatisasi air yang terus merajalela, Pencemaran DAS dan mikro DAS terus terjadi dan tak dapat ditindak secara tegas. Pembangunan yang tidak dapat terhindarkan banyak menggusur ruang kehidupan rakyat, tata kelola sampah yang buruk, Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin minim terus meningkat. Sekurang-kurang terdapat tiga kebijakan yang keluar pada era Jokowi, salah satunya Perpres No 15 tahun 2018 Tentang Percepatan, Pengendalian dan Pencemaran Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum, lalu Perpres Cekungan bandung No 45 tahun 2028 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung, Perpres  87 Tahun 2021 Tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Pembangunan Kawasan Bagian Selatan, tak berhenti di situ kebijakan pendukungnya pun telah disiapkan salah satunya adalah PERPU Cipta Kerja yang semakin memperburuk kerusakan ekologi di Jawa Barat. Situasi tersebut menyimpulkan bahwa kerusakan lingkungan semakin massif disebabkan ketidakbecusan pemerintah dalam melakukan pemanfaatan tata kelola ruang yang baik, mengedepankan pemulihan lingkungan serta keselamatan manusia tidak dipandang baik serta diletakan sebagai sikap serius yang semestinya langkah tersebut diambil oleh pemerintah, malah terkesan disengaja untuk dirusak dan diduga hanya menyelamatkan sebagian kelompok yang memiliki kepentingan untuk berinvestasi di bumi tatar parahyangan ini.

Melihat situasi di atas yang telah disampaikan oleh segenap ED WALHI Region Jawa bahwa Pulau Jawa sedang menuju situasi collapse dan krisis yang sudah terjadi akan semakin parah. Alih fungsi ruang, deforestasi, krisis air, krisis pangan, polusi, dan aneka kerentan akan terus menyapa Pulau Jawa. Tentu, kondisi ini juga telah ditunjukkan oleh bencana ekologis yang terjadi hampir di seluruh Jawa, nasib 150 juta lebih penduduk Pulau Jawa terancam untuk beberapa tahun ke depan.

Maka dalam melihat situasi ini, kami dari ED WALHI Region Jawa menyampaikan dan merekomendasikan pemerintah harus serius dalam menyikapi persoalan ini dengan membuat langkah dan kebijakan yang menjawab krisis ini. Mereview ulang setiap kebijakan dan aturan, termasuk PERPU Cipta Kerja, RTRW dan RZWP3K yang bertentangan dengan upaya penyelamatan dan pemulihan Pulau Jawa. Jika hal demikian masih dibiarkan maka tidak mungkin krisis di Pulau Jawa akan semakin menghancurkan ruang hidup dan memaksa warga menjadi korban. Kami juga menyerukan untuk segenap gerakan dan rakyat untuk terus berjuang serta menyuarakan tentang penyelamatan Pulau Jawa.

 

Narahubung:

Wahyudin, Direktur ED WALHI Jawa Barat

+6282129588964

Wahyu Eka Styawan, Direktur ED WALHI Jawa Timur

+6282141265128

Suci Fitriah Tanjung, Direktur ED WALHI DKI Jakarta

+62856111356

Fahmi Bastian, Direktur ED WALHI Jawa Tengah

+6285737371848

Dimas R Perdana, Deputi Direktur ED WALHI D.I Yogyakarta

+6281226743399

 

 


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *