Jawa Timur mengalami degradasi ekologis yang semakin mengkhawatirkan. Dalam situasi krisi iklim ini kami mencatat secara manual dan kami validasi dengan data dari BNPB serta BPBD kabupaten/kota di Jawa Timur bahwa sepanjang tahun 2023 terdalat 165 kejadian bencana iklim, dengan rincian 41 kejadian banjir, 59 cuaca ekstrem, 27 karhutla, 10 tanah longsor dan 22 kejadian kekeringan. Korban diperkirakan mencapai kurang lebih dari 500 ribu jiwa penduduk, baik terdampak langsung maupun tidak langsung.

Krisis iklim ini pun juga berdampak pada produksi pangan yang kian menurun akibat gagal panen, maupun musim tanam yang mundur. Merujuk pada data BPS untuk satu jenis komoditas pangan yakni padi, terdapat penurunan yang signifikan, dari luas panen padi sekitar 1,68 juta hektare pada tahun 2023 mengalami penurunan sebanyak 7,65 ribu hektare atau 0,45 persen jika dibandingkan dengan luas panen padi pada tahun 2022 sebesar 1,69 juta hektare.

Produksi pangan yang semakin menurun juga tidak sekedar diakibatkan oleh faktor tunggal bernama krisis iklim. Tetapi juga dikarenakan salah urus tata ruang yang memantik penurunan luas areal pertanian. Dalam sebuah riset dari Firmansyah Dkk (2021) berjudul Luas Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur, didapatkan sebuah temuan bahwa telah terjadi penurunan lahan sawah seluas 650 ribu hektar lahan sawah, semula tahun 2013 seluas 7,75 juta hektar, lalu menjadi 7,1 juta hektar pada tahu  2018.

Sayangnya data terbaru lagi-lagi sulit didapatkan karena minimnya dokumen terkait.
Penurunan tersebut salah satunya diakibatkan oleh alih fungsi lahan-lahan produktif menjadi kawasan real estate, kawasan industri hingga pertambangan. Bahkan pada wilayah kota besar seperti Surabaya, lahan pertanian dihilangkan dalam rencana tata ruangnya. Untuk wilayah kabupaten dan kota lainnya banyak ditemukan tumpang tindih peruntukan, seperti di Sidoarjo, Gresik, Mojokerto dan Malang Raya. Sementara itu untuk wilayah seperti Trenggalek, Blitar, Lumajang, Jember dan Banyuwangi banyak ditemukan tumpang tindih dengan konsesi pertambangan.

Perluasan ruang geografis kapital melalui ekspansi pertambangan, kawasan industri, infrastruktur dan zonasi-zonasi bisnis yang merampas ruang hidup rakyat kian bertambah. Catatan ini berasal dari perencanaan tata ruang yang termaktub dalam revisi peraturan tata ruang Jawa Timur  yakni PERDA no 10 Tahun 2023 yang menyebutkan alokasi ruang untuk pertambangan mineral, minyak bumi, serta gas dan geothermal sekitar 67 ribu hektare lebih.

Pada tahun 2018 kami mencatat ada sekitar 376 IUP dan 268 WIUP tambang mineral dan logam. Lalu dari pengamatan citra satelite per 2023 lalu luasan pertambangan sejak 2018 diperkirakan bertambah menjadi 500 ribu-600 ribu hektar izin tambang. Perlu diketahui, kami dari WALHI Jawa Timur sejak 2023 lalu mencoba meminta data perbaruan izin pertambangan ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui PPID dan Dinas ESDM hingga hari ini tidak ada jawaban. Padahal merujuk pada UU PPLH No 32 Tahun 2009 dan UU KIP No 14 Tahun 2008 seharusnya itu menjadi informasi publik yang wajib dibuka.

Sementara untuk kawasan industri, kawasan ekonomi khusus dan infrastruktur sudah mulai diakselerasi. Seperti pembangunan tol terintegrasi antara koridor pantura, tengah dan  pesisir selatan mulai dibangun. Dalam pembangunan tersebut didapati penetapan kawasan ekonomi khusus dan industri, serta beberapa proyek energi seperti geothermal dan migas. Semua itu muncul bukan karena permintaan rakyat, tetapi lebih kepada memfasilitasi bisnis agar semakin masif eksploitasinya. Apalagi pasca UU Cipta Kerja disahkan melalui cara-cara inkonstitusional.

Catatan ini paling tidak akan mengajak kita untuk sedikit merenungkan bagaimana pola perampasan ruang di Provinsi Jawa Timur sepanjang 2023 dan tentunya sebagai akumulasi darir 10 tahun terakhir. Kami telah merangkum pada beberapa bagian catatan yang akan membawa kita sedikit untuk mengetahui bagaimana perampasan ruang hidup terjadi di Jawa Timur melalui instrumen kebijakan yang tidak lain merupakan bentuk imperatif kapital.

Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Derek Hall, Philip Hirsc dan Tania Li dalam Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia, di mana kami memakai kuasa eksklusi pendekatan dari cara baca mereka, yakni dengan komponen, power atau kekuasaan yang dominan terutama dalam membuat kebijakan pro perampasan dan pengerdilan warga, forced bagaimana pola paksaan dalam perampasan, market, bagaimana kapital dan pasar memegang kendali atas ruang hidup dan legitimation terkait bagaimana pola normalisasi atas perampasan ruang hidup.

Selengkapnya unduh pada link di bawah ini:

http://bit.ly/refleksi2023walhijatim


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *