Catatan WALHI Jawa Timur: Merespons Banjir di Kota Batu di Penghujung Tahun 2023

Persoalan banjir di Kota Batu seakan menjadi pola yang berulang, setelah sebelumnya terjadi pada bulan November 2021, lalu disusul sekitar bulan Oktober-November 2022, kini kembali terjadi dipenghujung tahun yakni bulan Desember. Banjir berulang ini kerap terjadi pada wilayah Kecamatan Bumiaji, titik kampung yang kerap menjadi sasaran banjir yakni Desa Bumiaji dan Desa Bulukerto.

Situasi ini memang tak lepas dari persoalan alih fungsi. Kota Batu merujuk pada data BPS memiliki hutan pada kawasan hutan lindung seluas 3.340 hektar lalu kawasan suaka alam dan pelestarian alam seluas 5.013 hektar,  kemudian sekitar 2.985 hektar merupakan hutan produksi tetap, sehingga total luasan kawasan sekitar 11.338 hektar.

Kawasan hutan tersebut mengalami penurunan cukup signifikan, merujuk hasil analisis melalui citra satelit Global Forest Watch, tutupan hutan yang berada di Kota Batu mengalami penurunan signifikan sebesar 352 hektar selama hampir dua dekade, yakni dari 2001-2021. Secara keseluruhan hampir 1.295 hektar hutan di Kota Batu hilang, termasuk 113 hektar diantaranya hutan lindung. 

Selain itu, data dari pemberitaan warta lokal serta dipadukan dengan analisis citra satelit mengungkapkan fakta, bahwa luas lahan hijau di Kota Batu menyusut dari 6.034,62 hektar menjadi 5.279,15 hektar dalam kurun waktu 2012 sampai 2019.

Alih fungsi tersebut semakin masif dalam 10 tahun terakhir semenjak fokus di Kota Batu didorong sebagai kawasan ekonomi. Sebagai catatan, merujuk data BPS tahun 2023 bahwa terdapat sekitar 1085 hotel dan 60 objek wisata buatan. Beberapa bangunan, baik wisata maupun hotel berada di dekat kawasan lindung mata air dan beberapa menyalahi tata ruang dengan membangun di atas kawasan mata air serta kawasan lindung.

Data di atas semakin menunjukkan bahwa perubahan ekonomi telah mendorong alih fungsi kawasan, salah satunya pertanian menjadi peruntukan lain seperti perumahan, wisata buatan, hotel dan lain-lain. Imbasnya adalah perubahan ruang di bawah ternyata mendorong pembukaan lahan di kawasan hutan untuk pertanian. Sehingga perubahan kawasan hulu tidak bisa dipisahkan dari kawasan hilir.

Banjir yang terjadi tempo hari merupakan akumulasi alih fungsi dan ketidakmampuan pemerintah Kota Batu dalam membaca problem ini. Banjir dan longsor yang intensitasnya semakin sering merupakan dampak dari krisis iklim yang hadir dalam cuaca ekstrem yang berpadu dengan perubahan topografi kawasan. Hasil perpaduan tersebut adalah meningkatnya bahaya hidrometeorologi yang mendorong bencana semakin masif.

Persoalan ini pun disambut bukan dengan kebijakan yang kontekstual berbasis pada problem. Salah satunya adalah munculnya aturan revisi peraturan tentang tata ruang dan tata wilayah “PERDA RTRW” terbaru. Disusun secara tergesa-gesa, tidak terbuka ke publik, informasinya tertutup dan partisipasinya terbatas merupakan kecatatan dalam peraturan tersebut, selain substansi yang secara general memfasilitasi alih fungsi ruang, mengurangi perlindungan kawasan hulu dan mata air demi syahwat ekonomi wisata “ekstraktif.”

Kami pun mendorong untuk membuat PERDA RTRW yang sejalan dengan kondisi di Kota Batu saat ini. Sedikit menginformasikan, jika PERDA RTRW terdahulu lebih menjawab persoalan meski harus disempurnakan dibandingkan dengan yang terbaru. Karenanya kami mendorong untuk melalukan review dan melakukan revisi sesuai dengan kondisi terkini seperti situasi kerentanan wilayah dan sejalan dengan pelestarian kawasan. Tetapi, pihak pemegang mandat kekuasaan di Kota Batu malah menerbitkan RDTR yang berasal dari PERDA RTRW terbaru yang bermasalah.

Terhitung sejak tahun 2021, kami juga mendesak Pemerintah Kota Batu untuk melakukan assessment mendalam mengenai persoalan banjir yang terjadi. Memetakan berapa luasan yang rusak, titiknya di mana saja, berada di kawasan mana dan bagaimana kondisi sosial ekonominya untuk mendapatkan gambaran bagaimana nantinya kebijakan dibuat serta roadmap penanganan bencana bisa dijalankan.

Hal itu menjadi sangat penting selain melakukan normalisasi sungai yang sifatnya jangka pendek, atau sekedar seremonial menanam pohon, tetapi beberapa tidak tepat sasaran. Pemulihan kawasan sangat bergantung dengan pembacaan atas situasi bencana yang terjadi. 

Alih fungsi bukan sekedar hilangnya kawasan hutan, tetapi juga berbanding lurus dengan persoalan sosial ekonomi masyarakat. Sehingga hal tersebut tidak boleh dilepaskan atau diabaikan. Pemulihan harus sejalan dengan bagaimana memperhatikan, memberikan pengetahuan serta mengawal ekonomi masyarakat agar sejalan dengan semangat pemulihan.

Sebagai penutup dalam catatan ini, perlunya Pemkot Batu untuk melibatkan lintas stakeholder dalam upaya mengatasi persoalan ini. Salah satunya dengan melibatkan pemangku kepentingan kawasan seperti Dinas Kehutanan, Tahura Raden Soerjo, Perhutani, BPBD, Jasa Tirta, Pemerintah Desa, masyarakat Kota Batu dan kelompok masyarakat sipil lainnya termasuk sivitas akademik. Agar membangun forum demokratis, duduk bersama dan menyusun langkah strategis maupun taktis untuk menyelesaikan persoalan bencana di Kota Batu.