Catatan WALHI Jatim dan MCW
Beberapa hari yang lalu, sekitar tanggal 26 November 2023 Kota Malang diguyur hujan deras, akibatnya banyak titik di wilayah Kota Malang terendam banjir. Menurut laporan dari media, terdapat kurang lebih 26 titik banjir. Titik tersebut di antaranya di sekitar Jalan Sulfat, Jalan Sunandar Priyo Sudarmo, Jalan Raya Tlogomas, Jalan Sudimoro, Jalan Raya Candi, Jalan Danau Toba, Jalan Danau Kerinci, Jalan Veteran, dan Jalan Sigura-gura. Jalan-jalan tersebut berada dalam wilayah kecamatan yang notabene mengalami peningkatan banjir yang cukup signifikan di antaranya, Lowokwaru, Dinoyo, Sukun dan Kedungkandang.
Banjir merupakan problem yang setia menghinggapi Kota Malang kala musim penghujan tiba, sejak 2003 silam atau sekitar 20 tahun lalu banjir memang sudah terjadi, namun dengan intensitas yang tidak separah 5 tahun terakhir ini. Terhitung sejak 2019 lalu, jika ditotal Kota Malang telah mengalami sekitar lebih dari 700 kejadian banjir di seluruh Kecamatan.
Bulan-bulan transisi atau pancaroba sekitar April dan Maret, kala hujan jatuh lebih dari 11 titik di wilayah Kota Malang tercatat mengalami banjir. Lalu pada bulan menuju musim penghujan sekitar September hingga November lebih dari 13 titik juga mengalami situasi serupa. Sebagai catatan pada tahun 2022 BPBD Kota Malang mencatat ada sekitar 18 kejadian banjir pada April 2022.[1] Lalu pada bulan November, Kota Malang Kembali dihantam banjir bahkan yang terparah ketinggiannya mencapai 50 cm di wilayah Jalan Danau Toba dan Ranu Grati, Kedungkandang.[2]
BPBD Kota Malang pun mencatat bahwa sepanjang 2022 telah terjadi sekitar 211 kejadian banjir.[3]Lalu pada awal tahun 2023 ini, sekitar bulan Maret, beberapa titik Kota Malang diterjang banjir salah satunya berada di wilayah Blimbing,[4] Sebagai catatan bahwa pada bulan transisi musim penghujan ‘pancaroba’ sekitar April-Maret dan memasuki musim penghujan sekitar Oktober-Desember, Kota Malang sejak 5 tahun terakhir paling tidak mengalami banjir rata-rata 20 kejadian.
Paling tidak rangkuman ini menegaskan bahwa Kota Malang sangat rawan dan rentan terhadap bahaya hidrometeorologis, di mana faktor anomali cuaca karena krisis iklim berpadu dengan kondisi eksisting struktur permukaan ruang yang mengalami degradasi fungsi, akan meningkatkan bencana. Kota Malang merupakan salah satu daerah yang mengalami fungsi penurunan ruang resapan dan tangkapan air, atau dalam isu yang lebih luas mengalami penurunan ruang terbuka hijau.
Persoalan Tata Ruang Belum Menjadi Fokus
Melihat problem tersebut Pemerintah Kota Malang ternyata belum memiliki sensitivitas perihal persoalan banjir yang menghinggapi wilayahnya. Pada banjir tanggal 26 November 2023, Pemerintah Kota Malang mengatakan jika banjir diakibatkan oleh saluran air yang mengalami penyempitan dan sampah rumah tangga.[5] Komentar ini tidak jauh beda dengan pernyataan Pemerintah Kota Malang dalam kurun waktu 5 tahun belakangan, semacam pengulangan alasan yang sama. Sebelumnya Pemerintah Kota Malang menggalakkan proyek normalisasi saluran air pada 2022 silam.[6] Proyek Pembangunan saluran air ini merupakan program tahunan yang memakan anggaran lumayan besar, namun dampaknya tidak terlalu signifikan. Sehingga komentar Pemerintah Kota Malang dapat dipastikan solusinya adalah normalisasi saluran air.
Walhi Jatim bersama Malang Corruption Watch pernah membuat brief berjudul Menggugat Permasalahan Banjir di Kota Malang pada tahun 2022 lalu. Dalam catatan tersebut kami menyampaikan bahwa persoalan banjir di Kota Malang bukan sekedar permasalahan sampah atau saluran, tetapi persoalan tata ruang yang kacau, di mana Kota Malang tidak memiliki ruang terbuka hijau khususnya kawasan hijau atau kawasan lindung yang menjadi serapan dan tangkapan air mumpuni. Hal ini terlihat dari pola ruang yang semrawut, banyak kawasan resapan dialihfungsikan menjadi peruntukan bisnis, seperti perumahan, ruko hingga institusi Pendidikan. Bahkan sempadan sungai yang seharusnya menjadi ruang resapan hari ini mulai dijejali aneka bangunan baru, dari apartemen, hotel dan bangunan lainnya.
Sebagai catatan, Kota Malang hari ini tidak memiliki data yang solid mengenai keberadaan dan luasan ruang terbuka hijau mereka. Sejak awal meski memilik pengaturan ruang, tetapi banyak di antaranya tidak ditegakkan, membiarkan bangunan tumbuh subur mengisi ruang-ruang hijau. Parahnya ini kemudian dianggap normal dan dibiarkan melalui legalisasi berupa izin, sampai beberapa diakomodir dalam revisi peraturan tata ruang terbaru. Sedikit mengulik sejarah, bahwa banyak ruang terbuka hijau di wilayah Kota Malang telah berubah menjadi peruntukan lain, salah satunya sempadan sungai sepanjang Soekarno-Hatta dan tapak berdirinya Malang Town Square. Berikut kami sajikan gambar perubahan ruang di wilayah tersebut.
Banjir di wilayah Kota Malang bukan sekedar masalah saluran atau sampah, tetapi persoalan yang lebih kompleks yakni persoalan tata ruang, termasuk di dalamnya degradasi ruang terbuka hijau. Sehingga solusi yang diambil sebagai tindakan bukan membangun, tetapi membenahi tata ruang yang ada, me-review izin yang melanggar tata ruang, serta mendorong perlindungan kawasan hijau yang belum dialihfungsikan menjadi kawasan lindung hijau.
Pemerintah Kota Malang Harus Memiliki Political Will
Kemaun politik dari pemegang tampuk kekuasaan Kota Malang masih rendah. Kami melihat semisal, pada revisi tata ruang terbaru juga tidak melibatkan publik baik dari KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) sampai uji Perda RTRW. Kalaupun dilakukan secara terbuka saran dari kami atau masyarakat Kota Malang juga sangat pesimis untuk diakomodir dan dijalankan. Karena sejak awal kami memberikan masukan mengenai persoalan banjir dan tata ruang tidak pernah dijadikan pertimbangan apalagi dijalankan. Hal inilah yang menjadi salah satu problem, bahwa Pemerintah Kota Malang memang dari sejak awal tidak memiliki komitmen untuk mendorong tata ruang yang lebih baik dan sensitif bencana, termasuk mendorong aspek lingkungan hidup dalam kebijakannya.
Ke depan untuk membenahi Kota Malang dibutuhkan kemauan untuk berubah dan lebih sensitif atas krisis yang terjadi. Salah satunya dengan menegakkan prinsip keterbukaan informasi serta partisipasi yang bermakna, termasuk membuka semua dokumen berkaitan dengan tata ruang, membuka ruang seluas-luasnya untuk memberikan masukan atau dalam kata lain melakukan review ulang Perda RTRW. Tidak cukup di situ, suara-suara masyarakat harus diakomodir dan menjadi pertimbangan.
Salah satu upaya dalam waktu dekat yang patut didorong adalah mendorong perlindungan kawasan hijau tersisa, melakukan moratorium izin pembangunan sementara waktu, lalu melakukan review izin-izin pembangunan baru dengan mecocokkannya dengan kesesuaian ruang. Sementara dalam jangka panjang adalah melakukan review ulang pola ruang di Kota Malang agar tahu problem alih fungsi ruang yang mendorong kerentanan wilayah.
Agar nantinya dapat membuat kebijakan yang lebih menekankan pada upaya pembenahan tata ruang serta berfokus pada alokasi ruang terbuka hijau termasuk kawasan lindung yang menjadi tempat resapan dan tangkapan air, sebagai suatu upaya pemulihan kawasan dan bagian dari menghadapai serta menagulanggi dampak dari krisis iklim.
Contact Person:
Wahyu Eka Styawan (Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur)
Ahmad Adi (Koordinator Malang Corruption Watch)
085831437530
Referensi
[1] https://www.detik.com/jatim/berita/d-6021257/bpbd-catat-ada-18-titik-banjir-di-kota-malang
[2] https://www.detik.com/jatim/berita/d-6398511/banjir-setinggi-50-cm-genangi-jalanan-kota-malang-banyak-pemotor-jatuh
[3] https://malangkota.go.id/2023/11/08/gelar-apel-kesiapsiagaan-bencana-banjir-dan-tanah-longsor-jadi-perhatian/
[4] https://malang.times.co.id/news/berita/4iqztgl9vp/Hujan-Lebat-Kota-Malang-Terkepung-Banjir
[5] https://elshinta.com/news/320956/2023/11/28/penyempitan-saluran-air-dan-sampah-rumah-tangga-pemicu-banjir-di-kota-malang
[6] https://malangkota.go.id/2022/07/07/cegah-risiko-banjir-pemkot-malang-lakukan-normalisasi-saluran-air/