Banyuwangi akan kembali menjadi saksi bagaimana konflik agraria yang tak kunjung jadi prioritas penyelesaian akan kembali memakan korban. Setelah sebelumnya pada tahun 2017 akibat konflik agraria sektor pertambangan 4 orang warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi dikriminalisasi, karena menolak tambang emas di bukit Tumpang Itu. Kriminalisasi tersebut menyebabkan salah seorang warga mendekam di jeruji besi atas suara lantangnya menolak pertambangan. Nahasnya hakim memilih menjatuhkan vonis meski bukti kurang kuat.
Kriminalisasi kembali terjadi pada 2018, di mana petani hutan polos yang tidak tahu apa-apa dituduh merusak hutan di kampungya Desa Bayu, Kecamatan Songgon. Ia difitnah oleh pihak pengelola hutan dan dilaporkan ke polisi saat itu. Hampir kasus berjalan tanpa pendampiang hukum, lalu beruntung di petani mendaptkan pendampingan dari pengacara publik LBH Surabaya saat itu. Beruntung saat di pengadilan ia bisa lolos dari jerat aturan perusakan hutan, karena secara sah ia tidak terbukti.
Peristiwa serupa kembali terulang pada tahun 2021 lalu, saat 3 orang warga Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo dituduh menghalangi pertambangan dengan dikenakan pasal 162 UU Minerba. Pelaporan oleh perusahaan direspons cepat oleh pihak berwajib hingga ke fase persidangan. Saat itu 3 orang warga tersebut diputus bersalah oleh Hakim PN Banyuwangi, meski apa yang mereka lakukan berada di luar konsesi dan bentuk protes atas rusaknya jalan sampai penurunan kualitas lingkungan akibat tambang. Baik pengadilan maupun kepolisian tidak pernah melihat konteks mengapa orang protes, apalagi dampak pertambangan, sehingga 3 orang tersebut divonis bersalah. Beruntung saat kasasi di Mahkamah Agung mereka diputuskan tidak bersalah.
Kini peristiwa kriminalisasi kembali terjadi sejak februari 2023 lalu, 3 petani Desa Pakel, Kecamatan Licin ditangkap di tengah jalan tanpa prosedur oleh pihak berwajib. Alasannya adalah 3 petani ini mangkir saat pemanggilan, padahal selama proses surat menyurat terdapat beberapa kejanggalan, salah satunya surat yang dikirim melalui jasa kurir sehari sebelum pemeriksaan. 3 petani ini dituduh menyebarkan berita bohong sehingga menyebabkan keonaran. Tanpa melihat konteks persoalan konflik agraria, di mana 3 petani tersebut sedang berjuang untuk mendapatkan hak atas tanah, yang mana desanya tengah mengalami ketimpangan penguasaan lahan dan tumpang tindih izin, akibat HGU yang dikeluarkan sepihak oleh ATR/BPN Banyuwangi.
3 petani tersebut tengah berjuang untuk mendorong redistribusi tanah di desanya, karena wilayahnya mengalami kekurangan lahan, sehingga mengakibatkan banyak warga yang tak bertanah. Nahasnya mereka dilaporkan oleh sesama warga desa karena diduga menyiarkan berita bohong. Dengan terburu-buru dan gegabah pihak berwajib tidak melihat faktor konflik agraria serta persoalan yang terjadi, parahnya Kejaksaan pun melakukan hal serupa. Penggunaan pasal berita bohong terlalu berlebihan, menganggap seolah-olah tiga petani ini adalah ancaman bagi Negara, padahal tidak seperti itu. Sehingga di sini perlu melihat konteks dan akar persoalan sosial menjadi kunci untuk memahami kejadian yang sedang terjadi.
3 petani Pakel ini divonis 5 tahun 6 bulan atas kasus ini, padahal persoalan ini tidak terlepas dari persoalan konflik agrari, sehingga menghambat penyelesaian konflik. Dari sini telah jelas bahwa Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi telah mengulangi kesalahan yang sama dengan kasus sebelumnya di mana gagal dalam melihat persoalan, sehingga menyebabkan seseorang yang memperjuangkan hak atas hidupnya dirampas kemerdekaannya.
Hari ini vonis bersalah kepada 3 petani Pakel merupakan bukti bahwa Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi tidak berpihak pada rakyat dan keputusan tersebut akan semakin memperpanjang konflik agraria. Tentu hal ini menambah catatan hitam Pengadilan Negeri Banyuwangi.