Pada 26 September 2015, di Desa Selok Awar-awar Pak Salim Kancil menikmati pagi bersama cucunya, di Jawa Timur biasanya disebut sebagai “momong” atau menemani anak kecil bermain bisa juga saat belajar. Pagi syahdu tersebut dirusak oleh segerombolan orang gagah-gagahan berkonvoi mendekat ke rumahnya. Pak Salim membawa cucunya masuk ke dalam rumah, lalu bergegas ke depan untuk menemui para tamu yang tak diundang.
Para tamu tak diundang tersebut lalu menarik Pak Salim dan mengeroyoknya tanpa ampun, sampai diseret menggunakan motor bak bukan makhluk hidup. Hantaman demi hantaman membuat sekujur tubuh Pak Salim luka memar, sampai akhirnya tak mampu menahan rasa sakit dan menghembuskan nafas terakhirnya. Kejadian itu tidak hanya dialami oleh Pak Salim tetapi juga sahabatnya Pak Tosan, tetapi masih beruntung lolos dari maut meski harus mendapatkan perawatan intensif karena luka parah.
Peristiwa yang dialami oleh Pak Salim Kancil dan Pak Tosan memberikan luka traumatis bagi yang melihatnya tak terkecuali keluarga. Tidak hanya keluarga, penduduk di sekitar mereka tinggal juga ketakutan ketika mengetahui peristiwa jahanam tersebut. Segerombolan orang tersebut adalah preman-preman sewaan kepala Desa Selok Awar-Awar saat itu, ia dikerahkan untuk memberikan efek jera bagi mereka para pembangkang yang menghalangi kehendak kepala desa.
Saat itu memang kepala desa menjadi aktor utama yang sangat menginginkan adanya tambang pasir besi di kampungnya. Di balik kepala desa ada pengusaha tambang besar yang akan melakukan eksploitasi di sepanjang pesisir selatan Lumajang, termasuk di Desa Selok Awar-Awar.
Perusahaan yang bernama PT. Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS) tersebut telah mendapatkan penetapan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) seluas 8.350 hektar di pesisir Selatan, salah satunya meliputi Desa Selok Awar-Awar dan Desa Wotgalih, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.
Perusahaan tersebut dikuasai oleh pengusaha luar negeri asal China yang bermukim di Hongkong bernama Lam Chong San dan ditengarai ada keterlibatan stakeholder Kabupaten Lumajang saat itu, termasuk menyeret nama Bupati Sjahrazad Masdar yang bertanggung jawab memberikan izin pertambangan pada September 2013.
Proses pemberian izin tersebut bermasalah karena bertabrakan dengan aturan tata ruang serta aturan perlindungan sempadan pantai serta proses izin lingkungannya bermasalah dan tidak pernah melibatkan warga sekitar. Saat izin tambang muncul dan mengklaim hampir sepanjang Pesisir Selatan Lumajang hingga ke arah Jember, ada hampir 1000 hektar lebih pertanian yang terancam, lalu tambak tradisional, perkampungan dan tentu ekosistem pesisir termasuk gumuk-gumuk pasir.
Karena tak ingin lahan pertanian hancur, pesisir rusak, nelayan kehilangan pekerjaan dan aneka kerusakan lainnya, Pak Salim Kancil bersama 12 orang temannya membentuk organisasi bernama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-awar untuk menyuarakan penolakan terhadap pertambangan.
Suara penolakan tersebut kian hari semakin kencang, pengusaha semakin resah sampai akhirnya menggunakan kekuatan orang kuat lokal di Lumajang untuk membungkam suara warga yang menolak. Dari menggunakan jejaring politik yang terafiliasi dengan Bupati sampai terhubung dengan Kepala Desa Selok Awar-awar beserta preman-premannya untuk menghentikan penolakan.
Meski diancam, di intimidasi dan teror Pak Salim Kancil tetap tidak bergeming, sampai akhirnya pihak-pihak tambang menghilangkan nyawanya sebagai jalan terakhir menghentikan suara penolakan tambang.
Apa yang dialami oleh Pak Salim Kancil dan teman-temannya bukanlah hal baru, serta tidak serta-merta terhenti hanya karena viral lalu jadi perhatian publik. Sebelumnya kasus kekerasan bahkan sampai penghilangan nyawa kerap dihadapi oleh mereka yang menyuarakan kerusakan lingkungan atau menolak pertambangan. Tidak cukup di situ banyak di antaranya mengalami intimidasi, teror bahkan kriminalisasi.
Di Jawa Timur kasus pembungkaman suara-suara penolakan tambang sering disambut oleh aneka gangguan, dari ancaman jeruji besi sampai hilangnya nyawa.