Konflik Agraria yang Tak Kunjung Usai di Jawa Timur, Petani Semakin Menderita dan Nelangsa

Surabaya, 27 September 2023

63 Tahun sudah Undang-undang Pokok Agraria lahir sebagai semangat untuk mengusir kolonialisme dan membawa perubahan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. UUPA membawa semangat perubahan atas penguasaan lahan melalui landreform demi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran petani sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) di mana “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Namun hingga saat ini cita-cita itu urung terwujud, khususnya di wilayah Jawa Timur.

Rumitnya persoalan agraria yang terus dilanggengkan dapat dilihat dari potret konflik agraria di Jawa Timur, menurut catatan kami ada sekitar hampir 50 lebih kasus konflik agraria yang masih berjejal di Jawa Timur dari wilayah Mataraman, Malang Raya, Tapal Kuda, Pesisir Selatan, Pesisir Utara, Surabaya Raya, Madura dan Kepulauan. Konflik pun beragam mulai dari kasus perkebunan, hutan, peternakan, tambang, tanah negara, energi, wisata, tempat latihan militer, tambak sampai proyek strategis nasional. Konflik tersebut bukan tanpa korban, hampir separuh dari kasus tersebut memunculkan sekitar 30 kasus korban kriminalisasi, intimidasi hingga kekerasan. 

Salah satu potret ketidakadilan tersebut dapat dilihat dari tiga kasus di Jawa Timur yakni Kabupaten Banyuwanngi dan Kabupaten Pasuruan. Di Banyuwangi ada dua kasus besar yang dapat dilihat yakni kasus ketimpangan dan konflik akibat HGU perkebunan yang terjadi di Desa Pakel, Kecamatan Licin. Sementara di Desa Alasbuluh dan Desa Wongsorejo di Kecamatan Wongsorejo, pasca HGU sudah mati warga tidak kunjung diakui hak atas tanahnya, bahkan kini terancam pembangunan kawasan industri. Lalu kasus klaim sepihak militer atas lahan 10 Desa di Pasuruan bagian timur untuk dijadikan pangkalan militer, belakangan tidak hanya pangkalan militer ada wacana menyulapnya menjadi kawasan industri.

Pada kasus di desa Pakel, Banyuwangi para petani harus berhadapan dengan perusahaan perkebunan PT Bumi Sari karena secara sepihak BPN Banyuwangi menerbitkan HGU tanpa proses keterbukaan, partisipatif dan melihat kondisi sosial ekonomi warga. Ketimpangan tersebutt terlihat dari warga Pakel yang hanya menguasai 318,2 hektar dari 1.304,9 hektar luas wilayahnya. Perhutani menguasai lahan seluas 729,5 hektar dalam bentuk penetapan kawasan hutan dan PT Bumi Sari secara sepihak menguasai 257,1 hektar dalam bentuk HGU. 

Hampir 70% warga Desa Pakel yang tergabung dalam Rukun Tani Sumberjo Pakel merupakan tunakisma di mana mereka terpaksa menjadi buruh tani dan pekerja serabutan, bahkan tidak jarang mereka harus pergi dari luar desa untuk mencari pekerjaan demi menyambung hidup keluarga. Perjuangan mendapatkan hak atas tanah warga Desa Pakel juga diwarnai dengan adanya intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap para petani, setidaknya dalam 2023 kami mencatat sudah ada 12 petani yang mengalaminya, bahkan 3 di antaranya sudah dijadikan terdakwa dan sedang dalam proses persidangan di PN Banyuwangi.

Selain warga Desa Pakel, warga kampung Bongkoran yang terletak di Desa Alasbuluh dan Wongsorejo, Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi juga harus mengalami penderitaan pahit akibat adanya konflik agraria yang tak kunjung selesai. Para petani yang tergabung dalam Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi hampir lebih dari satu dekade memperjuangkan pengakuan atas tanah. Mereka memperjuangkan sekitar 231 hektar lahan, lahan tersebut merupakan lahan pertanian dan permukiman, dengan rincian 220 hektar lahan pertanian dan sebelas hektar pemukiman –, sejak tahun 1930-1940an. Total ada sekitar 900 jiwa/287 KK yang mendiami wilayah tersebut.

Dalam perjalanannya warga Kampung Bongkoran dihadapkan dengan munculnya HGU atas nama PT Wongsorejo yang akan mengusahakan perkebunan kapuk seluas 603 hektar pada tahun 1988. Selekas HGU PT. Wongsorejo habis pada tahun 2012, BPN malah menerbitkan HGB kepada PT Wongsorejo dengan luasan 487 hektar dan 60 hektar untuk mantan pekerja perkebunan. Lahan petani Bongkoran seluas 231 hektar juga masuk dalam izin pengusahaan tersebut. Pemberian HGB ini memicu konflik antara petani dan perusahaan. Imbasnya satu petani terkena tembakan dan empat petani dipenjara selama dua hingga 20 hari tanpa proses persidangan pada tahun 2001. Lalu pada tahun 2014, bentrokan kembali terjadi dan mengakibatkan tiga petani bongkoran ditangkap dan dijatuhi hukuman empat bulan dan 15 hari penjara. Hingga saat ini petani yang tergabung dalam OPWB selalu berusaha keras mendapatkan pengakuan dari menyampaikan ke presiden sampai audiensi berkali-kali dengan BPN. Terakhir kasus mereka sampai ke tangan menteri ATR/BPN, mulai ada perhatian dan memasukan kasus tersebut dalam skala prioritas. Tetapi praktik di lapangan kembali mengecewakan tim GTRA Jawa Timur yang ditugaskan tidak menghubungi petani dan berjalan sendiri, sehingga petani kembali menyampaikan keluh kesahnya ke ATR/BPN, sampai saat ini penyelesaian masih berjalan.

Konflik tak kunjung selesai juga terjadi di Pasuruan. Klaim sepihak TNI AL atas wilayah 11 desa di tiga kecamatan yakni Grati (Desa Sumberagung), Nguling (Desa Sumberanyar) dan Lekok (Desa Branang, Balunganyar, Gejugjati, Wates, Semedusari, Jatirejo, Tampung, Pasinan, Alastlogo) telah mendorong pengusiran warga. Akar konflik bermula saat TNI AL mengklaim atas wilayah tersebut sebagai kawasan yang diperuntukkan untuk latihan tempur. Mereka berpandangan sejak tahun 1960 kawasan tersebut dijadikan tempat mereka latihan, dan telah membeli tanah tersebut. Namun di satu sisi warga 11 desa juga mempunyai hak atas tanah, berupa penguasaan tanah secara turun temurun sebelum adanya Pusat Latihan Tempur TNI AL. Jika merujuk kronologi kasus yang mana pada tahun 1960 saat itu TNI AL masih bernama KKO secara sepihak mengambil paksa tanah warga di 11 Desa dengan luasan 3.569.205 hektar untuk dijadikan lokasi latihan tempur.

Klaim atas lahan sebagai tempat latihan tempur dan permukiman TNI AL, secara hukum dilegitimasi sepihak oleh BPN Jawa Timur dengan surat nomor 278/HP/35/1992 tertanggal 8 Juli 1992, yang memberikan hak pakai Departemen Pertahanan dan Keamanan permukiman. Selain klaim penguasaan, TNI AL juga pernah menyewakan lahan untuk perkebunan kepada BUMN PT. Rajawali Nusantara.  Bahkan dalam seiring waktu, di lahan sengketa tersebut juga berdiri pembangkit listrik tenaga gas uap dan tambang galian C yang dioperatori oleh PT. Winona.

Warga telah melakukan aneka perjuangan untuk mendapatkan kembali hak atas tanahnya, sejak era Presiden Abdurrachman Wahid hingga Presiden Joko Widodo, dari satu lembaga negara ke lembaga negara lain, hingga munculnya Perpres No. 88 Tahun 2017 tentang penyelesaian konflik agraria, sampai detik ini rasa keadilan atas warga 11 Desa di Pasuruan belum terpenuhi. Bahkan yang terbaru kawasan di tapak 11 Desa tersebut ke depan akan didorong menjadi kawasan industri melalui rencana tata ruang Kabupaten Pasuruan.

 

Ketimpangan Langgeng Karena Negara Tidak Berpihak

Persoalan ketimpangan penguasaan lahan, pencaplokan, penggusuran bahkan kekerasan dan kriminalisasi masih menjadi momok yang harus dihadapi oleh para petani. Gunawan Wiradi dalam bukunya Reforma Agraria Perjalanan Belum Berakhir telah menyampaikan bahwa persoalan agraria terutama menghilangkan ketimpangan penguasaan lahan harus berakar dari kehendak politik negara dan benar-benar menjalankan UUPA beserta instrumen penunjangnya secara konsekuen.

Namun yang terjadi adalah sebaliknya, Negara hingga saat ini tidak memiliki kehendak bahkan bertindak sebagai aktor utama dalam memperluas jurang ketimpangan. Melalui serangkaian kebijakan seperti penetapan ruang yang meminggirkan petani, melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) hingga memberikan izin berupa HGU, HGB hingga IUP yang tidak melihat kondisi struktural rakyat. Sehingga terjadi incompatibility atau ketidaksesuaian realitas di lapangan dengan kebijakan dan tindakan yang diambil oleh Negara. Kondisi tersebut semakin melanggengkan konflik agraria yang ujungnya adalah peminggiran rakyat dari ruang hidupnya.

Potret ini semakin menjadi-jadi tatkala persoalan penyelesaian persoalan agraria masih setengah-setengah, melalui kebijakan yang hanya sebatas memenuhi janji politik tapi tidak jelas arah dan orientasinya seperti Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang jauh dari semangat menyelesaikan konflik agraria dan menjalankan landreform, karena tidak pernah spesifik membahas penyelesaian konflik dan landreform. Kondisi ini ditambah runyam dengan munculnya Undang-undang Cipta Kerja yang secara pola membuka pola perampasan baru dengan dalih investasi, hal ini ditunjukkan dengan keberadaan bank tanah yang semakin memperumit konflik agraria dan merupakan wadah untuk mengkonsolidasikan tanah demi kepentingan investasi.

Tanah adalah jantung bagi Negara dan rakyatnya, seperti yang dikatakan Moch Tauchid dalam bukunya Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia mengungkapkan bahwa siapa yang menguasai tanah maka ia akan menguasai kehidupan. Bagi mereka yang menguasai tanah secara luas dengan wujud HGU, HGB hingga IUP maka secara tidak langsung ia juga menguasai kehidupan rakyat di sekitarnya, menciptakan ketergantungan dan menguasai secara sosial-politis. Tauchid telah menjelaskan secara dalam jika penyelesaian konflik agraria harus dilihat dari akarnya, bukan sekedar permukaaa. Karena hasilnya masih banyak kebijakan dan implementasi yang melenceng, hasilnya konflik agraria semakin langgeng.

Kembali ke Konstitusi dan Konsekuen Dengan UUPA

Sekelumit kasus di atas menunjukkan jika negara masih belum bisa menjamin hak hidup warga yang terangkum secara utuh dalam pasal 28 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan secara umum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berwujud UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Lebih khususnya lagi, apa yang dimaksud hak atas tanah untuk menopang keberlanjutan hidup rakyat dan mendorong kesejahteraan rakyat dalam pasal 33 ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diwujudkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria tidak dijalankan oleh pengurus Republik Indonesia ini.

Menjalankan UUPA secara penuh adalah keharusan sebagaimana mandat dari konstitusi, serta bagian dari mengamalkan cita-cita kemerdekaan yang salah satunya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, melalui reforma agraria dari landreform sampai mendukung usaha ekonomi petani. Tetapi semua itu masih dalam angan-angan, sebab Negara hadir bukan untuk menjalankan mandat konstitusi tapi sebaliknya. Munculnya UU Cipta Kerja sampai pemberian izin HGU, HGB hingga IUP secara besar-besaran tanpa melihat kondisi rakyat telah melenceng jauh dari konstitusi, bahkan boleh dikatakan melanggar.

Peringatan hari tani ini kami mendorong semua elemen untuk bergerak, bersuara dan menyampaikan kepada pengurus Negara untuk menjalankan mandat konstitusi, mendorong penerapan UUPA dan segera menyelesaikan konflik agraria. Karena kesejahteraan akan semakin jauh tatkala konflik agraria tidak segera diselesaikan dan hak-hak rakyat tak kunjung dipenuhi. Semoga apa yang kami sampaikan menjadi catatan positif untuk perbaikan bersama republik ini. 

 

Salam Hormat

Surabaya, 27 September 2023

Yang menyusun catatan hari tani:

  • WALHI Jawa Timur (Wahyu Eka Styawan)
  • LBH Surabaya (Jauhar Kurniawan)
  • Paguyuban Petani Jawa Timur (PAPANJATI) (Yatno Subandio)
  • Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) (Arna Dwi)
  • Forum Komunikasi Tani Sumberanyar (FKTS) Pasuruan (Susanto)