Karhutla di Jawa Timur Bukti Bahwa Krisis Iklim Itu Nyata

Catatan Kritis WALHI Jawa Timur

Kami turut prihatin dan mengapresiasi BPBD Provinsi Jawa Timur serta seluruh elemen yang  tengah berjibaku mengerahkan tenaga, pikiran dan waktu untuk memadamkan api yang tengah melahap kawasan hutan di Jawa Timur.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Jawa Timur memasuki fase waspada. Tercatat ada hampir sekitar 13 kabupaten/kota yang mengalami kejadian ini, seperti Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Bojonegoro, Tuban, Mojokerto, Kota Batu, Ponorogo, Nganjuk, Kediri, Ngawi, Lumajang hingga Pasuruan. Mayoritas pusat kejadian ini berada di kawasan hutan, baik produksi, lindung maupun di area taman nasional. 

Peta titik karhutla Jawa Timur

Karhutla di Jawa Timur bukan yang pertama terjadi, kita bisa menelisik ke belakang sejenak. Merujuk pada data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tahun 2018 ada sekitar 8.886 hektar, lalu meningkat menjadi 10.508 hektar pada tahun 2019. Sementara di tahun ini diperkirakan lebih dari 5000 hektar hutan yang terbakar sejak bulan Juli hingga September 2023.

Meski tampaknya lebih rendah, tetapi yang perlu digaris bawahi adalah luasan hutan di Jawa Timur juga mengalami penurunan sejak 2019 lalu. Perkiraan ada sekitar 150-400 hektar hutan di Jawa Timur yang mengalami deforestasi pada 2022-2023 ini.

Sejak 2018-2019 Jawa Timur telah kehilangan hutan cukup luas yang mencapai 5.066 hektar, jika ditotal dengan area hutan rakyat dapat mencapai 5.804,7 hektar. Penurunan tersebut bukan pencapaian, melainkan memang kawasan hutan di Jawa Timur berkurang signifikan.

 

No Wilayah Karhutla Luasan
1 Situbondo 60 hektar
2 Probolinggo & Lumajang (TNBTS) 660 hektar
3 Batu, Mojokerto & Pasuruan (Arjuno Welirang)  3910 hektar
4 Tuban 30 hektar
5 Bojonegoro 100 hektar
6 Bondowoso  71,5 hektar
7 Kabupaten Mojokerto (Penanggungan) 59,27 hektar
8 Ngawi (Jogorogo, Lawu) 63,95 hektar
9 Probolinggo  45 hektar
10 Ponorogo  24 hektar
11 Kediri  20 hektar
12 Lumajang  5 hektar
13 Nganjuk  1,5 hektar
Total area karhutla 5,047.22 hektar

*Diolah dari laporan BPBD, kliping media & laporan masyarakat

Dari tabel di atas paling tidak menggambarkan jika dalam kurun waktu 3 bulan hampir keseluruhan hutan di Jawa Timur terbakar, salah satu penyebab yang sering disampaikan adalah sebagai dampak dari musim kemarau. Selain itu juga karena ada faktor el nino yang menghinggapi Indonesia. BMKG sendiri sejak awal tahun telah mengingatkan terkait musim kemarau yang cukup panjang serta potensi peningkatan karhutla dan kekeringan.

Krisis Iklim Ada di Depan Mata

Kejadian yang melanda Jawa Timur saat ini, mengingatkan atas pernyataan dari Sekjen PBB Antonio Guterres pada 29 Juli 2023 bahwasanya era global warming (pemanasan global) telah usai dan berganti menjadi global boiling (pendidihan global). Pernyataan ini tidak serta merta untuk menakut-nakuti tetapi memang berdasarkan fakta rill yang tengah dihadapi oleh seluruh belahan bumi. Seperti kejadian gelombang panas yang pernah menyapu hampir seluruh wilayah eropa, serta kejadian kebakaran hutan hebat di Amerika.

Berdasarkan peringatan dari banyak ilmuwan terutama yang terkoneksi dengan IPCC telah menyampaikan dalam laporannya bahwa pada tahun 2023 ini suhu telah mencapai 1.15  derajat celcius, serta diprediksi bahwa tahun 2050 dapat mencapai lebih dari 2 derajat celcius. Sementara di Indonesia peningkatan temperatur telah mencapai 1.3-1.4 derajat celcius. 

Merujuk pada pemantauan yang kam lakukan dengan bantuan aplikasi pemantau suhu dan observasi sehari-hari, telah terjadi peningkatan suhu harian rata-rata yang mulai meningkat, jika suhu rata-rata sejak 1901-2010 sekitar 25.62 derajat celcius, lalu meningkat perlahan 2010-2022 sekitar 26 derajat celcius. Lalu puncak suhu terpanas sejak tahun 2000-2010 sekitar 30-31 derajat celcius meningkat tajam hingga 34-36 derajat celcius pada tahun 2010-2023 ini.

Kejadian karhutla dan kekeringan telah menjadi penanda bahwa kita tengah berada dalam situasi krisis iklim. Kejadian-kejadian bencana iklim telah melanda Indonesia khususnya Jawa Timur dalam 10 tahun terakhir, sepanjang 2020-2023 tingkat kejadiannya semakin meningkat dan dampaknya juga meluas. Mulai dari banjir dan longsor sepanjang 2021-2022 lalu yang hampir melanda 15 kabupaten/kota. Pada tahun 2023 ini ada sekitar 15 kabupaten/kota yang hampir sebagian wilayah mengalami kekeringan serta krisis air, serta dilanda karhutla.

Selain juga kejadian karhutla hingga kekeringan pada banyak kasus juga dipengaruhi oleh kebijakan yang tidak sensitif iklim, seperti penataan ruang yang memfasilitasi alih fungsi kawasan. Selain itu juga ada faktor ekonomi, di mana ada upaya land clearing dengan metode membakar, serta lemahnya pengawasan dan penindakan atas bentuk-bentuk pelanggaran pemanfaatan kawasan khususnya wilayah hutan.

Perpaduan dampak perubahan iklim, fenomena alam seperti La Nina dan El Nino serta faktor sosial-ekonomi dan kelirunya kebijakan tata ruang yang sebelumnya sangat berdampak, kini menjadi semakin parah keadaannya. Kondisi ini akan semakin parah ke depan jika tidak ada konsensus untuk mengatasi bersama perubahan iklim ini, sebagaimana yang digaungkan oleh IPCC dan United Nation.

Perlu Kebijakan Lingkungan yang Serius di Jawa Timur

Menyelesaikan perubahan iklim dan aneka bencananya tidak bisa cepat dalam 3-5 tahun, bahkan 10 tahun tidak cukup. Tetapi melihat situasi demikian sudah seharusnya menjadi perhatian bersama, serta meningkatkan kemauan politis dan kesadaran politik lingkungan sebagai pijakan untuk membuat kebijakan yang lebih berkemajuan untuk mengatasi persoalan perubahan iklim.

Yang sudah seharusnya dilakukan adalah melakukan assessment mengenai kawasan mana saja yang mengalami degradasi serta problemnya apa saja untuk membiat kebijakan yang tepat sasaran. Dibutuhkan partisipasi oleh semua elemen untuk membuat assessment ini, agar dapat mengetahui titik mana yang perlu dipulihkan segera, sekaligus tingkat kesulitan dalam melakukan intervensi, semisal wilayah yang memiliki kompleksitas tinggi, seperti potensi konflik sosial ekonomi saat suatu kebijakan diterapkan.

Lalu, setelah proses assessment dilanjutkan sengan membuat kebijakan, tentu tidak sekedar operasional atau cara mengatasi problem, atau sekedar menanggulagi tetapi melampaui hal tersebut, yakni kebijakan pemulihan lingkungan hidup. Seperti mulai melakukan review kebijakan tata ruang yang ada, dengan memprioritaskan perlindungan kawasan seperti tidak menerbitkan izin tambang dan peruntukan lain di kawasan hutan, atau semacam moratorium. 

Karena yang kawasan hutan yang tersisa tidak boleh diubah hanya untuk kepentingan ekonomi semata. Justru konteks ekonomi harus mengikuti tata ruang yang ada, seperti ekonomi apa yang sesuai dengan perlindungan dan pelestarian kawasan hutan. Selain itu juga perlu diawasi dengan ketat mengenai alih fungsi kawasan sampai praktik land clearing terutama pada wilayah yang mengalami kejadian karhutla terus menerus.

Rekomendasi ini memang tidak spesifik soal karhutla, tetapi kami memandang lebih luas lagi, sebab kejadian tersebut merupakan dampak dari perubahan iklim yang berpadu dengan banyak faktor, seperti fakor sosial dan ekonomi. Sehingga ke depan kebijakan pro iklim ini sebagai investasi untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim, seperti banjir, longsor hingga karhutla ke depannya.

Narahubung

Wahyu Eka Styawan (Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur)

wahyuwalhijatim@walhi.or.id