Kota Batu dan Kota Surabaya yang menjadi tapak dari assessment awal ini merupakan dua wilayah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Meski secara problem jelas berbeda, di mana Kota Batu akan berkutat dengan persoalan deforestasi, semakin menurunnya sumber mata air baik kuantitatif maupun kualitatif sampai persoalan semakin menyusutnya lahan-lahan pertanian apel. Sementara Surabaya akan lebih banyak persoalan semakin banyaknya bangunan pusat bisnis, pencemaran sungai, sampah sampai polusi.
Meski berbeda, tetapi Kota Batu dan Surabaya memiliki irisan yang tidak bisa dipisahkan, jika memakai pendekatan administrasi sungai, maka kedua kota ini memiliki keterhubungan yang sangat erat. Kota Batu sebagai hulu dari DAS Brantas sementara Surabaya sebagai hilir dari DAS Brantas. Jika hulu DAS Brantas rusak, maka hilir akan merasakan dampaknya, apalagi konsumsi air di Kota Surabaya masih bergantung pada sungai dan sumber-sumber mata air yang berasal dari lereng Arjuno Welirang yang menjadi hulu DAS Brantas.
Koneksi antara Kota Batu dan Surabaya sangat tampak dari relasi antar kawasan dalam konteks ekonomi. Kota Batu adalah tempat di mana hampir setiap akhir pekan orang-orang yang berasal dari Kota Surabaya yang mayoritas pekerja menghabiskan waktu luangnya untuk menyembuhkan diri dari kepenatan riuh perkotaan. Sementara Kota Surabaya adalah tempat di mana sumber penghasilan utama di wilayah Kota Batu berasal. Hubungan antara Batu dan Surabaya dikuatkan dalam konteks relasi ekonomi spasial, di mana jasa lingkungan yang berupa keasrian alam dalam hal ini berwujud ekonomi pariwisata.
Hubungan dari kedua kota ini sangat spesial, karena semakin menyusutnya ruang-ruang di wilayah Kota Batu berupa alih fungsi kawasan merupakan imbas dari meningkatnya wisatawan yang salah satu asalnya dari Surabaya. Banyak ruang-ruang hijau di wilayah Kota Batu berupa lahan pertanian apel, sawah yang secara masif beralih fungsi menjadi pertokoan, hotel, vila, perumahan, restoran, kafe dan wisata buatan.
Alih fungsi tersebut juga memicu alih fungsi di kawasan hutan yang kini secara masif berubah menjadi lahan-lahan pertanian. Selain itu, imbas dari alih fungsi ini adalah semakin menurunnya kuantitas dan kualitas sumber mata air, baik dikarenakan wilayah resapannya rusak maupun eksploitasi besar-besaran. Sementara itu warga dari Kota Surabaya semakin memenuhi Kota Batu setiap akhir pekan karena semakin berkurangnya ruang terbuka hijau, meski banyak taman yang terbangun, hal tersebut tersebut belum cukup, pasalnya kawasan-kawasan hijau di wilayah Kota Surabaya semakin menyusut akibat ekspansi masif pembangunan properti.
Kali ini banyak menyasar ruang terbuka seperti waduk alami hingga hutan kota bahkan kawasan mangrove di pesisir. Ketimpangan ekonomi di perdesaan Jawa Timur telah mendorong banyak orang memilih Surabaya sebagai destinasi dalam menyambung hidup, sehingga kebutuhan akan pusat bisnis dan perumahan semakin tinggi. Semakin sesaknya pusat Kota Surabaya telah mendorong pembangunan yang masif pada wilayah pinggiran, sehingga ruang-ruang yang semula merupakan lahan hijau mulai banyak beralih fungsi.
Problem di Kota Batu dan Surabaya jika dilihat dari kebijakan memiliki kesamaan yakni adanya alih fungsi ruang yang diawali dari pelanggaran tata ruang dan perencanaan ruang yang memfasilitasi ekspansi ruang-ruang ekonomi ke wilayah ruang-ruang hijau. Hal ini dibuktikan dengan aneka alih fungsi kawasan yang dilakukan secara sengaja, seperti menerbitkan izin usaha di atas kawasan yang seharusnya tidak diperbolehkan. Kemudian membiarkan hal tersebut, dan akhirnya dilegalisasi melalui perubahan aturan tata ruang.
Apa yang terjadi di wilayah Kota Batu dan Surabaya merupakan praktek dari bagaimana pola ruang yang mengikuti ekonomi, padahal seharusnya ekonomi yang seharusnya mengikuti pola ruang. Kedua kota ini pun kini mengalami aneka persoalan, salah satunya mulai dilanda bencana, seperti banjir, sampah, peningkatan suhu dan persoalan penurunan kualitas udara.
Link download laporan:
https://bit.ly/WALHIJATIM2023