Catatan kritis Hari Mangrove Sedunia
Mangrove Wonorejo, Surabaya
Merujuk pada data pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) luas mangrove Indonesia seluas 3.364.076 Ha. Sebaran mangrove tersebut teridentifikasi jika sekitar 2.261.921 Ha berada di dalam kawasan hutan dan seluas berada di luar kawasan hutan. Lalu dari total luasan mangrove Indonesia, KKP mengklasifikasikan lagi menjadi tiga kategori. Pertama mangrove lebat dengan luasan 3.121.239; Kedua mangrove sedang seluas 188.363, dan; Ketiga mangrove jarang seluas 54.474 Ha. Hal ini paling tidak menunjukkan bahwa hutan mangrove di Indonesia terbilang cukup luas dan tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Tetapi apakah kondisi tersebut benar-benar dalam keadaan baik? Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2020 melakukan ekspose data terkait kondisi mangrove di Indonesia, mereka menyebutkan jika dalam rentang waktu 1980 hingga 2020 luas hutan mangrove berkurang cukup drastis. Tercatat pada tahun 1980 luas hutan mangrove mencapai 9,36 juta Ha lalu pada tahun 2020 menyusut 3,31 Ha. Lalu melihat kenampakan mangrove saat ini persentase yang kondisinya baik saat ini mencapai 80,74 persen dan sekitar 19,26 persen kritis.
Bahkan menurut Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BGM) Hartono menyampaikan jika kondisi mangrove saat ini tengah mengalami penurunan hampir ribuan hektare setiap tahunnya. Ia kemudian memproyeksikan jika skenario kehilangan hutan mangrove yakni sekitar seluas 104.450 Ha pada tahun 2024, dan pada 2030 sebesar 261.000 Ha, dengan rincian rata-rata kehilangan sekitar 26.100 Ha per tahun.
Tentu kondisi di atas menunjukkan bahwa kondisi mangrove di Indonesia tengah kritis. Sebaran hutan mangrove perlahan mengalami penurunan cukup drastis sekitar 6 juta Ha selama hampir 40 tahun. Apalagi di tengah komitmen pemerintah dalam menjawab perubahan iklim. Kehilangan hutan mangrove akan menguji konsistensi pemerintah dalam upaya mereduksi perubahan iklim. Lantas bagaimana dengan Jawa Timur?
Kondisi Mangrove Di Jawa Timur Tertutup Selubung
Menurut Pemerintah Provinsi Jawa Timur saat ini luasan hutan mangrove di Jawa Timur mencapai 27.221 Ha. Tersebar di sepanjang pesisir selatan dan utara, dari Pacitan hingga Banyuwangi, dan Tuban sampai pulau Madura. Kemudian bagaimana kondisi hutan mangrove di Jawa Timur saat ini?
Menurut Giesen pada artikelnya pada 1993 berjudul “Indonesian mangroves: an update on remaining area and main management issues,” mangrove di Jawa Timur tercatat memiliki luas sekitar 57.500 Ha pada tahun 1985. Sejak lama memang telah mengalami penurunan drastis, karena berbagai faktor. Dari sekitar 57.500 Ha pada 1985 lalu menjadi 27.221 pada 2022 Ha, artinya selama hampir 40 tahun telah berkurang sekitar 30,279 Ha. Ini hitungan prediksi yang dihasilkan dari data yang tersedia. Karena tidak ada data yang pasti mengenai mangrove di Jawa Timur, yang ada adalah data luasan terkini dan glorifikasi penanaman mangrove serta potensi luasan yang mencapai 51.000 Ha.
Menjadi pertanyaan memang, potensi ini diukur dari apa? Apakah itu luasan eksisting sebelumnya? Jika memang iya berarti luasannya berkurang sangat drastis dan menegaskan prediksi kehilangan mangrove yang penulis sampaikan di atas. Tidak terbukanya mengenai informasi mengenai mangrove menjadi kendala bagi masyarakat untuk mengetahui sejauh mana keadaan mangrove saat ini, berapa luasan mangrove yang berkurang serta berada di titik mana saja.
Keterbukaan informasi ini menjadi sangat penting untuk mengetahui upaya apa yang dapat dilakukan dalam menyelamatkan mangrove, selain hanya tanam menanam seremonial. Karena solusi kerusakan mangrove sejatinya bukan sekedar menanam, tetapi tahu akar persoalannya. Seperti memantau dan mereview ulang eksisting mangrove dari tahun ke tahun. Kemudian mencari tahu mengapa berubah luasannya? Apa yang menyebabkannya? Siapa yang bertanggung jawab? Mengapa terjadi alih fungsi? Pertanyaan dasar ini akan membantu dalam melihat problem mangrove di Jawa Timur hari ini.
Mengenai kondisi terkini mangrove di Jawa Timur perlu sebuah pendekatan khusus, seperti menyajikan data tentang berapa luasan yang berkurang, lalu titiknya di mana, dan pada wilayah mana berkurangnya paling besar dan pada wilayah mana berkurangnya paling kecil. Hal ini menjadi penting untuk memetakan persoalan, mengenai pemulihan kawasan mangrove serta memproteksi kawasan yang belum rusak. Karena pada prinsipnya dasar lingkungan hidup adalah “mencegah.” Karena intervensi atas pemulihan kawasan mangrove perlu dipetakan persoalannya, lalu membuat road map solusi pemulihan secara bertahap, bukan sekedar kegiatan singkat sehari selesai.
Jika melihat dengan mata telanjang di sepanjang pesisir utara Jawa dari Tuban, Lamongan hingga Madura, telah mengalami kehilangan hutan mangrove. Ini terlihat dari sepanjang pantai yang tinggal tersisa pasir, mulai berkurang perlahan hingga merangsek ke daratan karena abrasi. Selain itu, banyak kawasan mangrove yang berubah menjadi tambak di Gresik, Madura dan Surabaya. Tidak hanya itu di Surabaya kawasan eksisting mangrove banyak yang beralih fungsi menjadi perumahan elite. Bahkan sepanjang pesisir Selatan Jawa seperti Jember dan Lumajang, banyak eksisting mangrove berkurang beralih fungsi menjadi tambak udang. Kondisi ini menunjukkan bahwa mangrove di Jawa Timur tidak sedang baik-baik saja. Lantas bagaimana seharusnya?
Upaya Ekstra Menyelamatkan Mangrove Jawa Timur
Perlu upaya ekstra untuk menyelamatkan hutan mangrove di Jawa Timur, salah satunya dengan melakukan assessment menyeluruh pada setiap titik sebarang mangrove di Jawa Timur, guna mengetahui persoalan mendasarnya. Seperti penyebab alih fungsi mangrove yang di setiap wilayah memiliki corak yang berbeda. Sehingga nantinya dapat disiapkan strategi tepat guna untuk mengintervensi pemulihan kawasan mangrove.
Selain itu, perlu juga melakukan reviu ulang tata ruang Jawa Timur untuk memastikan tidak ada tumpang tindih alokasi penggunaan lahan, lalu memerinci wilayah mana saja yang tidak boleh dialihfungsikan, agar jelas nantinya saat memberikan izin dan lain-lainnya, pemerintah daerah memiliki cantolan, agar tidak salah dalam memberikan izin. Hal ini sudah terjadi pada beberapa kasus, di mana kawasan mangrove bermunculan izin perumahan hingga tambak.
Kemudian, perlu melibatkan masyarakat dalam upaya penyelamatannya. Assessment yang dilakukan dapat menjadi panduan bagi pemerintah untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat, sehingga nantinya dapat disiapkan program yang tepat sasaran dalam upaya melibatkan masyarakat pada penyelamatan mangrove. Semisal penguatan ekonomi berbasis pemanfaatan kawasan mangrove tanpa melakukan alih fungsi, seperti ekonomi berbasis budidaya dan ekowisata.
Terakhir, perlu upaya ekstra seperti melibatkan seluruh elemen di Jawa Timur untuk menyelamatkan mangrove. Selain itu perlu sains, sensitivitas krisis dan kehendak politik dalam penataan ruang dan implementasinya sehingga tidak ada alih fungsi kawasan mangrove ke depannya. Karena mangrove di Jawa Timur tengah terancam, jika tidak segera diselamatkan maka kepunahan bukan lagi sekedar kalimat prediktif tapi akan benar-benar terjadi.
Narahubung:
Wahyu Eka Styawan (082145835417)
Direktur ED WALHI Jatim